news  

Marry My Husband: Dua Wajah Balas Dendam Budaya

Marry My Husband: Dua Wajah Balas Dendam Budaya

Perbedaan Budaya dalam Adaptasi Drama “Marry My Husband” Versi Jepang

Drama “Marry My Husband” yang tayang di tvN pada tahun 2024 menjadi salah satu karya yang mencuri perhatian dunia. Dengan premis utama tentang seorang wanita yang dibunuh lalu kembali ke masa lalu untuk membalas pengkhianatan, drama ini menggabungkan elemen romansa, hukum, dan fantasi. Kesuksesannya mendorong produksi versi Jepang dengan judul “Watashi no Otto to Kekkon Shite”, yang mulai tayang di Prime Video Jepang sejak 27 Juni 2025.

Meskipun berangkat dari bahan dasar yang sama, versi Jepang dan Korea memiliki nuansa yang sangat berbeda. Hal ini disebabkan oleh perpaduan budaya, pilihan kreatif, serta strategi produksi lintas negara. Premis cerita keduanya berasal dari novel web Korea “Nae Nampyeon-gwa Gyeolhonhaejwo”, yang kemudian diminati oleh CJ ENM dan Studio Dragon. Novel tersebut juga populer di Jepang sebelum drama Korea dirilis, sehingga membuat versi Jepang menarik perhatian.

Versi Korea tayang dari Januari hingga Februari 2024, sedangkan versi Jepang diproduksi selama 2024–2025 dan mulai tayang pada 27 Juni 2025 via Prime Video. Kolaborasi internasional melibatkan sutradara Korea Ahn Gil-ho, yang terkenal lewat “The Glory”, serta penulis skenario Jepang Satomi Oshima, pencipta “1 Litre of Tears”. Produksi ini disebut sebagai “drama Jepang yang dibuat oleh kreator K-drama”, menjadikannya bukan sekadar remake, tetapi reinterpretasi lintas budaya.

Pemeran utama versi Korea adalah Park Min-young dan Na In-woo dalam peran Kang Ji-won dan Yoo Ji-hyuk. Sementara itu, versi Jepang menghadirkan Fuka Koshiba sebagai Misa (kemungkinan karakter yang setara dengan Ji-won), dan Takeru Satoh, dikenal lewat “Rurouni Kenshin”, berperan sebagai romansa dan penyeimbang emosional utama. Ini menegaskan bahwa Jepang ingin tetap menjaga daya tarik dramatis dengan aktor papan atas lokal.

Durasi episode antara kedua versi juga berbeda. Versi Korea berdurasi 16 episode, cukup panjang untuk membangun ketegangan psikologis dan intrik legal dengan tempo dramatis yang perlahan berkembang. Sebaliknya, versi Jepang hanya memiliki 10 episode dengan alur yang lebih cepat dan emosional langsung. Penyelesaian ini bertujuan menjaga momentum agar penonton tidak kehilangan ketegangan, sesuai cita rasa drama Jepang yang ringkas dan intens tetap menyisakan ruang untuk penyesuaian budaya.

Produser versi Jepang bekerja erat dengan Studio Dragon dan CJ ENM, guna menjaga roh cerita yang sama—namun melakukan adaptasi lokal. Satomi Oshima mempromosikan pendekatan karakter yang lebih dalam, dengan nuansa budaya Jepang yang membumi. Pada saat bersamaan, Ahn Gil-ho memastikan bahwa ketegangan balas dendam dan perjalanan waktu tetap terasa intens, seperti di versi Korea.

Strategi ini menunjukkan kesadaran bahwa pendekatan psikologis karakter dalam budaya Jepang lebih terpusat kepada nuansa emosional, bukan aksi dramatis. Alhasil, versi Jepang masih mempertahankan premis inti, namun mengangkat suasana, ritme, dan dialog dengan nuansa yang khas lokal.

Para produser melihat bahwa keberhasilan global “Marry My Husband” versi Korea membuka peluang baru: adaptasi yang tak hanya reproduktif, namun kreatif. Kolaborasi lintas negara ini bukan sekadar memanfaatkan popularitas, tetapi juga memperkaya narasi melalui pembauran budaya dan gaya bercerita. Di Jepang, cerita ini tidak lagi dianggap eksotik, melainkan menjadi “kisah balas dendam universal” yang dinarasikan sesuai nilai emosional lokal.

Tantangan utamanya adalah menjaga keseimbangan: tidak kehilangan identitas cerita asli sekaligus tidak terjebak bayangan versi Korea. Sutradara dan penulis Jepang harus memastikan tokoh utama Misa tidak sekadar menggantikan Ji-won, tetapi hadir dengan motivasi, faktor budaya, dan perkembangan karakter yang masuk akal di konteks Jepang.

Jumlah episode yang dipadatkan menjadi tantangan lain: tiap plot twist, seperti adegan perjalanan waktu dan balas dendam, harus dieksekusi lebih intens tanpa mengorbankan kedalaman.

Perbedaan versi Jepang dan Korea dari “Marry My Husband” bukan sekadar adaptasi ulang, melainkan dialog budaya antara kreativitas Korea dan Jepang. Di satu sisi, versi Korea menawarkan drama psikologis dengan alur panjang. Di sisi lain, versi Jepang memilih intensitas emosional dalam durasi ringkas, dibekali gaya naratif lokal.

Kolaborasi lintas negara ini menunjukkan bahwa adaptasi bukan hanya soal menyalin, melainkan merekonstruksi dengan hati dan budaya masing-masing, sebuah refleksi bahwa kisah universal dapat beresonansi lebih kuat jika disesuaikan dengan konteks budaya lokal.