.CO.ID, SERANG — Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia Naswardi, menyampaikan bahwa tingkat literasi sensor di kalangan penonton Indonesia tergolong rendah dan perlu terus dilakukan sosialisasi.
Hal ini berdasarkan hasil survei nasional yang dilakukan LSF, di mana hanya 46 persen masyarakat yang memperhatikan klasifikasi usia saat menonton film.
“Survei nasional kita, baru 46 persen masyarakat penonton di Indonesia yang memperhatikan klasifikasi usia dalam menonton. Jadi, ini perlu kerja keras kita semua untuk meningkatkan kualitas literasi menonton,” ujar Naswardi di Kota Serang, Kamis (12/6).
Ia menegaskan pentingnya menonton film sesuai klasifikasi usia. Pasalnya, setiap kategori usia memiliki konten dan pesan yang berbeda, dan tidak tepat bila ditonton oleh kelompok usia yang tidak sesuai.
“Kalau untuk dewasa, 21 atau 17 misalnya, pasti tidak cocok untuk anak-anak usia 13 atau usia di bawah 13. Jadi, penting menonton sesuai usia,” ujarnya.
Naswardi menjelaskan bahwa rendahnya literasi penonton disebabkan oleh minimnya pengawasan orang tua, kurangnya pemahaman terhadap klasifikasi film, dan kebebasan akses anak terhadap konten digital melalui perangkat pribadi.
“Pengawasan orang tua, kemudian kualitas literasi orang tua, kemudian juga anak yang diberikan kebebasan untuk mengakses materi-materi tontonan, terutama yang melalui smartphone, melalui internet. Nah, ini menjadi penyebab. Salah satu yang menjadi faktor dari kualitas literasi itu masih rendah,” kata dia.
Dalam rangka meningkatkan literasi sensor di masyarakat, LSF secara aktif menjalankan program sosialisasi melalui berbagai pendekatan langsung ke publik. Program ini dijalankan melalui komunitas, sekolah, kampus, hingga kegiatan berbasis keluarga.
“Upaya yang harus dilakukan itu adalah melalui sosialisasi yang berkelanjutan. Jadi, turun ke masyarakat, turun ke penonton, di bioskop, di rumah, melalui kampus, sekolah, program-program yang berbasis komunitas. Nah, itu perlu kita tingkatkan melalui yang kita sebut dengan Sahabat Sensor Mandiri,” ujarnya.
Menurut Naswardi, masyarakat pedesaan menjadi kelompok yang paling membutuhkan perhatian dalam hal literasi sensor. Hal ini berkaitan dengan pola konsumsi tontonan yang lebih banyak dilakukan melalui ponsel pintar dan internet.
“Kalau di sisi demografi ya, di penelitian yang kita lakukan itu, masyarakat pedesaan yang menjadi bagian dari yang literasinya juga perlu kita tingkatkan. Karena masyarakat pedesaan itu kan akses utama penontonannya itu melalui internet, melalui smartphone,” jelas pengurus LSF tersebut.
Ia menyoroti bahwa banyak masyarakat belum menyadari keberadaan fitur parental guidance pada perangkat digital yang sebenarnya bisa digunakan untuk mengatur tayangan sesuai usia anak.
“Jarang dari masyarakat kita yang paham bahwa di HP itu bisa diatur parental guidance-nya. Jadi, mana yang boleh untuk anak-anak, mana yang tidak. Nah, ini yang menjadi fokus kita,” ujar Naswardi.
Terkait konten film yang ditonton melalui layanan digital atau OTT (over-the-top), ia menyebutkan bahwa film-film tersebut tidak melalui proses sensor resmi karena belum diatur dalam undang-undang. Namun, para penyedia konten umumnya menerapkan sistem klasifikasi internal.
“Di handphone, materi film itu belum termasuk yang melalui proses sensor. Karena undang-undangnya belum mengatur begitu. Biasanya masing-masing media, penyedia konten itu kan ada parental guidance. Jadi, bisa dikunci, bisa dikasih password, mana yang bisa diakses untuk anak, mana yang tidak,” jelasnya.
LSF mendorong masyarakat untuk semakin melek sensor, terutama dalam mengarahkan tontonan anak-anak agar tidak terpapar konten yang tidak sesuai usia dan nilai budaya.
Perfilman, bukan sekadar
box office
Kebaruan genre dan tema memegang peranan krusial dalam pertumbuhan industri perfilman Indonesia, demikian diungkapkan seorang sineas terkemuka Angga Dwimas Sasongko dari Visinema Picture.
“Jangan semata mengejar ‘box office’. Kebaruan itu yang penting,” kata Angga saat ditemui di acara diskusi panel mengenai masa depan sinema Indonesia yang diinisiasi Motion Picture Association (MPA) bersama pemangku kepentingan perfilman nasional di Kebon Sirih, Jakarta, Rabu.
Turut hadir dalam diskusi itu, Direktur Film, Musik, dan Seni Direktorat Jenderal Pengembangan, Pemanfaatan dan Pembinaan Kebudayaan, Kementerian Kebudayaan Syaifullah Agam.
Angga menjelaskan, penonton di mana pun selalu mencari hal baru dari yang diputar sinema. “Karena kan bayangin, kalau misalnya kita makan produk yang sama terus-menerus, kan kita pasti pingin diversifikasi,” jelasnya.
Industri perfilman nasional saat ini sebetulnya baru tumbuh, menurut Angga. “Masih ada di ‘early stage’ dan yang dibutuhkan sekarang untuk memperkuat dan menumbuhkan industri ini adalah visi dari kita semua sebagai filmmaker, apa yang mau kita kasih ke penonton, apa yang pingin kita lihat terjadi di perfilman Indonesia lima sampai 10 tahun mendatang”.
Untuk audiens global, cerita lokal Indonesia akan selalu menjadi sesuatu yang baru bagi mereka. Sementara itu, audiens lokal membutuhkan inovasi untuk tetap terhubung dengan jalan cerita.
Karena itu, Angga percaya bahwa cerita bermuatan lokal dan inovasi dengan cerita tersebut adalah kunci yang dibutuhkan untuk membuka pintu peluang perfilman nasional menembus global.
“Jadi, inovatif sama percaya sama ‘local story’ kita. Kalau digabungin, kita jadi (punya film-film nasional berskala global),” tambahnya.
Angga menyampaikan Visinema hingga kini memiliki pencapaian distribusi internasional film “Jumbo” ke 30 negara, dan jumlah tersebut masih diusahakan terus bertambah, berpartner dengan agen penjualan internasional di Prancis, Magic Fair.
Menatap masa depan, Angga mengungkapkan proyek-proyek ambisius Visinema lainnya, termasuk film laga terbaru garapan Angga sebagai sutradara berjudul “Ratu Malaka” yang kemungkinan akan menggandeng partner dari Korea Selatan dan Amerika. Ia juga menyebut film “Panggil Aku Ayah,” adaptasi lokal dari film Korea “Pawn”.
Mengenai “Ratu Malaka”, tantangan terbesar dalam genre film aksi itu adalah bagaimana membuat cerita fantasi yang seringkali “lebay” dapat diterima oleh penonton Indonesia yang cenderung menyukai cerita yang lebih relevan atau dekat dengan realitas mereka.
Untuk itu, Angga bermaksud membangun dunia cerita yang berbeda, sehingga meskipun penonton sudah familier dengan debu, pencahayaan, dan latar lokasi yang serupa, tetap dapat menerima bahwa dunia dalam film “Ratu Malaka” berada di luar dunia nyata.
Dengan demikian, inovasi untuk film “Ratu Malaka” yang berlatar pesisir atau pelabuhan dengan sentuhan mistis itu dapat direalisasikan.