PIKIRAN RAKYAT SULTENG
– UU Republik Indonesia tentang Negara Kesatuan Pasal 1 Ayat 3 menggarisbawahi bahwa Indonesia merupakan negara hukum, di mana semua sisi kehidupan bermasyarakat dan bernegara didasari oleh aturan hukum.
Kehadiran negara hukum mencolok dengan adanya pembentukan tatanan sosial yang rapi serta proteksi bagi hak-hak publik, hal ini dilaksanakan lewat sejumlah regulasi formal.
Tindakan yang melanggar kepentingan publik serta merusak keteraturan masyarakat sebagaimana ditentukan dalam undang-undang pidana bisa disampaikan kepada pihak berwajib.
Negara bertanggung jawab serta memastikan perlindungan bagi setiap warga negara dalam pelaporannya terkait adanya indikasi tindakan kriminal. Menurut Pasal 108 Ayat 1 dari UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP (Kitas Hukum AcaraPidana), disebutkan bahwa siapa pun yang telah menyaksikan, melihat langsung, merasakan sendiri, atau menjadi korban suatu kejahatan berhak untuk meneruskan informasi tersebut dengan cara membuat laporan atau komplain kepada petugas penyelidik ataupenyidik, bisa lewat tulisan maupun ucapan langsung.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 108 Ayat 2 Kode Penegakan Hukum Acara Pidana (KUHAP), setiap orang wajib melaporkan dengan cepat kepada penyidik atau petugas investigasi apabila ia menemukan atau menjadi korban dari suatu konspirasi buruk yang membahayakan kedamaian dan keamanan publik, nyawa, ataupun hak kepemilikan.
Pasal 1 Ayat 1 dan 4 dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menggambarkan penyidik sebagai bagian dari kepolisian atau pegawai negeri sipil (PNS) yang telah diamanahi oleh peraturan perundangan untuk menjalankan tugas penyidikan, sementara itu penyelidik merujuk pada personel polisi.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat keterlibatan publik di Indonesia dalam melapor tentang pelanggaran hukum yang mereka lihat atau alami tergolong rendah, kurang dari 25% selama periode antara 2015 sampai 2020.
Walaupun jumlah melaporkan kasus kriminal masih rendah, negeri ini tetap berkomitmen untuk menyediakan perlindungan bagi para pengadu dari kemungkinan ancaman yang bisa muncul karena laporan mereka.
Undang-undang No. 31 tahun 2014 mengubah UU No. 13 tahun 2006 tentang Pelindungan Saksi dan Korban (UU Perlindungan Saksi dan Korban). Di dalamnya, Pasal 5 Ayat 1 sampai dengan 3 menjelaskan secara rinci hak pemberi informasi terkait kasus pidana untuk memperoleh pengawasan atau garansi keselamatan baik dirinya sendiri, anggota keluarganya maupun hartanya sesuai Putusan dari Lembaga Pengayoman Saksi dan Korban (LPSK) Republik Indonesia. Tambahan lagi, aturan tersebut pun memberikan jaminan akan kerahasiaan data pribadi para pemberi laporan.
Meskipun demikian, Pasal 28 Ayat 3 Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban menetapkan bahwa LPSK memberikan perlindungan kepada pelapor yang layak, yakni berdasarkan kepentingan kesaksian mereka serta tingkatanancaman yang serius.
Walau begitu, proses pelaporan kejahatan juga memiliki potensi risiko tersendiri. Orang-orang yang menjadi objek laporan namun nantinya divonis bebas oleh putusan pengadilan dengan efektivitas hukumnya sudah final, bisa membalas dengan cara menuntut sang pelapor di meja hijau atau bahkan membuat laporan kembali atas tuduhan baru.
Artikel ini akan menguraikan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI terkait gugatan ganti kerugian yang diajukan oleh pihak terlapor tindak pidana yang dinyatakan tidak terbukti bersalah melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, terhadap pelapor yang mengakibatkan terlapor menjalani proses hukum pidana sebagai tersangka dan terdakwa.
Aturan Hukum Prinsip Perkara MK RI Tentang Tuntutan Terdakwa terhadap Pengadu Kasus Dugaan Kejahatan
Ketakutan menghadapi kemungkinan gugatan hukum kembali, entah itu pidana ataupun perdata, oleh pelaku dugaan tindakan ilegal tersebut kerapkali menjadi alasan warganet ragu untuk melaporkan kejahatan, terlebih apabila bukti atas tuduhan tak cukup kuat dalam persidangan. Hal ini lebih disoroti saat insiden tersebut tidak memberikan dampak langsung pada individu bersangkutan atau anggota keluarganya.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, lewat yurisprudensinya dengan nomor 808 K/Pdt/1989 dan disampaikan saat sidang publik pada 20 Oktober 1990, menyediakan pedoman hukum signifikan. Dalam hal ini dikatakan bahwa pihak yang sebelumnya melapor atau menuntut ke polisi karena mencurigai adanya pelaku tindak kriminal, tetapi kemudian hakim bersikeras membebaskan tersangka/dakwa setelah persidangan, tak bisa diajukan gugatan perdata guna mendapatkan kompensasi dari jalannya proses peradilan pidana tersebut.
Pada kasus yang mendasari yurisdiksi Mahkamah Agung itu, tersangka/dakwah yang dijatuhi vonnis bebas kemudian mengajukan tuntutan perdata guna mendapatkan kompensasi atas kerugiannya sepanjang persidangan pidana. Akan tetapi, hakim majelis menolak permohonan tuntutan tersebut. Alasan tolakan ini ialah karena meskipun ada putusan dalam sidang pidana yang menyatakan tersangka/dakwah bebas, pada prinsipnya aturan hukum menjunjukkan bahwasanya kerugian yang dialami oleh tersangka/dakwah tak bisa ditimpakan kepada pemohon sebagai pelapor atau pengadu tentang kecurigaan perkara pidana.
Mahkamah Agung Republik Indonesia menyatakan bahwa dalam tahap investigasi, penuntutan, serta sidang di ranah peradilan, apabila hal itu berujung pada dampak negatif untuk tersangka/pelaku, maka otoritas dan beban tersebut menjadi tugas dari lembaga atau petugas yang sedang melaksanakan urusan hukum; tidak termasuk sebagai bagian tanggung jawab atas laporan atau tuduhan miring tentang kejadian pidana kepada pihak pelapor. Prinsip hukum ini dibacakan oleh Dewan Hakim Mahkamah Agung RI dipimpin oleh Poerbawati Djoko Soedomo, SH, bersama anggotanya yaitu Firdaus Chairani, SH, dan Achmad Rusli Dermawan, SH.
Oleh karena itu, menurut prinsip-prinsip yurisdiksi Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 808 K/Pdt/1989, gugatan perdata tidak bisa dilayangkan terhadap pelapor atau pihak yang menduga adanya tindakan pidana berkaitan dengan kerugian yang muncul dari proses hukum pidana yang dihadapi tersangka. Apabila ada gugatan serupa dalam ranah perdata, hakim memiliki wewenang untuk mengabaikkannya. Ini selaras dengan aturan UU Perlindungan Saksi dan Korban, lebih spesifik lagi pasal 10 ayat 1, yang telah efektif sejak 2006 dan direvisi pada tahun 2014, yang menyediakan jaminan hukum bagi para pelapor, kecuali apabila laporan mereka bukan berasal dari niat baik.
Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 808 K/Pdt/1989 tertuang di dalam kumpulan buku dengan judul ‘Kompilasi Aturan Hukum dari Keputusan Mahkamah Agung RI: Tahap Setengah Abad pada Bidang Hukum Acara Perdata’, penulisnya adalah M. Ali Boediarto, SH.
Aturan yurisdiksi Mahkamah Agung Republik Indonesia ini ditujukan untuk memberikan panduan kepada hakim-hakim dalam menangani kasus yang mirip, sekaligus menyumbangkan pembaruan pada wawasan ilmu bagi para ahli dan profesional hukum lainnya. Tujuannya adalah agar proteksi terhadap pelapor atau korban tuduhan kejahatan bisa semakin terjamin dengan baik. ***