Saya janji tidak akan merawat kucing lagi setelah dipaksa pindah-pindah karena keinginan cinta ibu saya. Pupu, si kucing terakhir yang dirawat, ditinggalkan di dekat tong sampah pasar, tempat tikus besar seperti anjing berebut atas kepala ikan tuna yang sudah dimakan belatung kelaparan.
KARENA
Demikian juga, saya enggan mengenal nama para teman sekelasku dan tidak tertarik untuk bersapa-sapuan dengannya, sama seperti bagaimana saya acuh terhadap seekor kucing jalanan yang kelaparan minta makan di tepi jalan. Suatu hari nanti, ketika akhirnya kami harus berpisah – baik itu dengan kucing ataupun manusia – saya yakin hal tersebut tidak akan membuat hatiku hancur.
Pada masa lalu, sebelum keluarga kami pindah ke Kota Labubu, ibuku mirip dengan Hera, dewi utama dalam mitologi Yunani, yang setia pada Zeus. Aku membacanya dari buku perpustakaanku yang sudah tertutup debu. Sama seperti Hera, ibuku menghubungkan kegembiraannya dengan seorang pria, yakni ayahku. Saat kita masih hidup bersama di rumah yang sama, ibuku sering kali memasak kerang cangkringan serta bebek bumbu hitam—masakan favorit ayahku tersebut. Menurut kata-kata ibu, dia merasa gembira apabila membuat ayahnya bahagia, meskipun hal ini kadang menyebabkan saya mual atau alergi sehingga timbul benjolan-benjolan saat mencicipi masakan tersebut. Oleh karena itu, daripada ikutan makan, biasanya saya hanya makan roti tawar sendirian sementara Pupu asik menyeret camilan kesukaannya: biskuit kucing.
Disasters datang mendatangi kami saat bapak menikahi secara diam-diam anak magang di kantor yang belum genap berumur dua puluh tahun. Semestinya ibu tidak perlu mengetahuinya, namun saya terlampau polos, memberitahu bahwa lihatlah mobil bapa ada didepan pondok kecil di tepian danau. Padahal pada hari tersebut bapa telah minta cuti untuk bekerja diluar kota. Mengenakan gaun tidur warna merah serta rambut acak-acakan, sang ibu langsung merebut kunci kendaraan. Dia mendorong gas hingga mencapai batasan maksimum seperti Pegasus yang sedang diserbu roh Medusa. Ketika sampai lokasi, ibu menjumpai bapa masih bertudungi sapu tangan tipis didalam ruangan yang berbau asing akibat berkeringat beserta jejak cecairan hubungan intim, seraya gadis pengganti baru ini baru-baru keluar dari bilik mandi hanya menggunakan selimut violet satu lembar sebagai penutup tubuh.
Tidak marah pada bapak, ibu malah menarik remaja perempuan itu keluar dari kosan. Dia melemparkan handuk ungunya ke jalan dan mencabuti rambut ikalku, kemudian menusukkan kukunya keras-keras ke wajah gadis tersebut. Saksi mata ini, sang bapa segera turun tangan untuk memisahkan mereka, merengkul anak perempuan itu dalam pelukan, membungkus tubuhnya dengan selimut adat, memberi semangat supaya tetap tegar, lalu mendorong ibuku sehingga dia tersandung pohon sumbing di halaman belakang rumah. Karena panik—melihat penduduk desa mulai berkumpul—bapak pun buru-buru menggendong remaja itu menggunakan kendaraannya, sedangkan ibumu masih berteriak-teriak di depan rumah.
Besok pagi, sang ayah akhirnya tiba di rumah dengan penampilan yang acak-acakan—bajunya berantakan dan rambutnya tampak seperti semak belukar. Sementara itu, ibu sudah siap dengan hidangan kerang cangkring dan bebek bumbu hitam. Meskipun suasananya tidak kondusif karena ayah terlihat sangat tertegun, ibu menyapa dia sebagai jika dia baru saja datang dari perayaan di seberang jalan. Sang ayah malahan melupakan ucapan selamat datang tersebut; langsung menuju kamarnya untuk membawa beberapa pakaiannya ke dalam tas. Dia buru-buru meninggalkan tempat itu meski ibu terisak-isak minta dirinya bertahan. Setelah satu bulan lamanya, ibu mendapat kabar lewat telepon genggam bahwa hubungan perkawinannya resmi dikalaikan oleh sang ayah secara hukum agama.
Ibuku sedih mendalam. Beberapa hari berlalu, dia tak mau memakan apapun sementara saya cuma menyantap roti putih. Hari ketujuh, ibu membuka pintu kamar kami dan memberitahu bahwa dia sudah mengetahui identitas gadis tersebut. Tanpa diketahui bagaimana caranya, ibunya berhasil mencari tahu detail-info tentang wanita itu. Dia menjelaskan kalau wanita tersebut adalah seorang perempuan tanpa nilai moral. Pendidikan wanita tersebut hanyalah setingkat sekolah menengah atas, jauh dibandingkan dengan gelar universitas milik sang ibu sendiri. Wanita ini berasal dari latar belakang keluarga kurang mampu yang hidup dekat aliran sungai sehingga perilaku mereka tentunya kasual. Saat ini, ternyata pasangan suami-istri tersebut telah pindah ke Kota Labubu untuk merumahi rumah sewaan. Oleh karena itu, ibumu ingin kita juga pindahkan diri menuju Kota Labubu. Sebagai hasilnya, aku dipaksa meninggalkan anjing kesayangkan Pupu bersama tupai-tupai serta serangga-serangga lain dalam tempat pembuangan sampah pasar.
Di kediaman baruku yang sempit serta beraroma lembab, sang ibu terus menyiapkan hidangan cumi dengan cangkang dan bebek bumbu hitam. “Berhati-hatilah apabila papaku datang,” ujar sang ibu. Jika menjadi diriku sendiri sebagai seorang ibu, pastinya kumasak camilan favoritku sendiri, tak perdulikan selera orang lain mana pun. Namun, aku hanyalah anak biasa ini, sehingga saat pergi ke sekolah hanya bisa menguyah roti putih polos tanpa isi. Bahkan belum separuh makannya, lambungku sudah merasa tidak enak.
Saat melewati lorong sempit berbau ammonia di sekitar sekolah, sebuah kucing putih dengan ekspresi seperti penjahat—kepalanya dipenuhi coretan dan badannya penuh debu—menyodorkan tatapan menusuk padaku. Aku tidak peduli, namun hewan itu langsung melompat ke arah kakiku kanan yang telanjang. Tanpa sadar, kukocok kaki seraya membentak, “Bodoh!” Alih-alih kabur, dia hanya mendecih di tengah jalanan sambil masih menyaksikan rotimu. Sementara kutahu bahwa kucing tersebut kelaparan, tatapannya mirip dengan bagaimana ibuku menatap ayah saat merindukan perhatian; rasa lapar akan cinta. Akhirnya kupbuang roti tawarmu ke tempat sampah, mengolok-olog kucing itu, kemudian melanjutkan langkah menuju sekolah.
Sesampainya pulang dari sekolah dan ingin memasuki rumah, kuketahui ibuku juga baru kembali tidak jelas darimana. Dia keluar dari kendaraannya dengan tampang gembira. Tanpa harus bertanya kepadanya, ibu langsung berkisah bahwa dia barusan datang dari pemimpin RW tempat sang ayah menetapkan diri. Disitu, ibu menceritakan panjang lebar tentang gadis tersebut yang hidup bersama sang ayah merupakan penyokong agama terlarang serta pengejar roh setan. Wanita jahanam ini merancangkan untuk mendapatkan pendukung dari antar tetangganya, dan kemungkinan besar satu orang diantara mereka bisa menjadi korban dalam upacara ritual pesugihannya.
Esok hari, ketika saya melihat muka ibu yang baru saja keluar dari kamarnya terlihat segar bagai bunga rampai yang baru ditata di belakgrond: berseri-seri. Dia memberitahu bahwa kedua orang tersebut -bapak dan perempuan nakal itu- sudah dikeluarkan dari rumah sewaan, dan hal ini menurut ucapan ibu, berarti tidak lama kemudian bapa akan pulang ke pelukan kita.
Namun tentu saja bapak tidak pernah pulang. Justru kami yang pada akhirnya harus pindah lagi ketika ibu mendapatkan informasi tentang dimana bapak beserta selingkuhannya tersebut menetap. “Mereka bertempat di Kota Saiba, kurang lebih dua jam jaraknya dari sini. Saya telah menyewakan sebuah rumah yang cukup dekat dengan lokasinya,” ungkap ibu dengan pandangan marah mengilat dalam matanya. Seolah-olah bukan menjadi sosok putus asa layaknya Dementor atau Persephone, namun dapat kuamati bahwa ibu tampak serupa dengan dewi Hera yang dipenuhi kebencian. Selanjutnya, ibu mulai mencecar gadis itu dengan beragam istilah merendahkan hewan reptil tanpa satu kalipun membicarakan kesalahannya kepada bapak. Bapak tetap suci bagai Zeus, raja para dewa. Meski begitu, semua salah ini mestinya sepenuhnya membuat kedua tangannya bernoda hitam.
Segera setelah itu, kita pindah ke sebuah kontrak rumah terbaru di Kota Saiba. Ibu masih sering memasak bebek hitam serta kerang berselongsong seperti suatu pertanda bahwa ayah mungkin akan pulang pada tengah hari. Sementara itu, saya tidak perduli asalkan ada roti putih untuk mengenyangkan perut saya. Yang mencengangkan adalah saat saya melintasi jalan menuju sekolah baru, di pinggiran kanal dengan aroma busuk tersebut, saya bertemu lagi dengan seekor kucing yang tampak kasar itu.
Pandangan tajamnya sekali lagi menusuk punggungku. Kukepalkan tangan dan berbalik badan, kemudian aku lemparkan sepotong roti tersebut ke arah parit. Namun beda dengan biasanya; dia melompat untuk menggapai roti tersebut tapi malah terselip dan jatuh ke dalam parit. Sambil maki-memakinya karena ketidaksengajaannya, kukeluarkan sang kucing yang basah kuyup itu dari parit dan membuangnya di atas rerumputan. Tentu saja hal ini sangat tidak mujur, sebab aroma amis pada tanganku tetap bertahan meski telah ku bersihkan menggunakan tanah dan air. Sungguh perilaku seperti seekor anjing oleh si kucing itu!
Saat saya kembali dari sekolah pada sore hari, melihat ibu duduk di meja makan sambil memandangi ponselnya. Dia tersenyum-nyengir sendiri. “Aku baru saja mengungkapkan tingkah laku nakal gadis bodoh itu di TikTok dan ternyata menjadi video untuk Anda,” ujar ibu seraya tunjukkan gambar perempuan tersebut yang cukup jelek di layarnya; bersanding dengan foto seluruh keluarga kita. Muka bapak digores-gores hitam-hitmannya, namun wajah sang gadis nampak begitu jernih—tidak berdandan serta berjerawatan—seterang kedua orang lain dalam foto ini, tentunya setelah disentuh oleh efek penghalusan filter.
Dapat kulih banyak sekali komentar berserakan di situ. Komentar paling atas yang kubaca membuatku jijik, ia memuji butiran pasir emas hanya untuk mencaci maki sesuatu sekejap.
Kamu sedang kelaparan? Ibumu memasak kerang dan bebek.
Saya tidak menanggapi, tetap saja mengambil sepotong roti putih.
Pada malam tersebut ponsel saya terus berbunyi. Banyak pesan masuk dari para sahabat lama sekolah. “Bukan ayahnya orang yang sedang menjadi perbincangan?” tanyakan Salima. “Iya, dia adalah gadis hina dan murahan,” balas Rubi. Ada juga ratusan kata-kata kasar lainnya. Akhirnya, saya memutuskan untuk memblokir semua kontak mereka serta menghapusnya dari buku telepon.
Tidak peduli telah tersebar kemana-mana rumor tersebut, namun rasanya seperti setiap orang yang kutemui tampak mengamatiku dengan seksama mulai dari poni hingga ujung sepatuku. Oleh karena itu, kuambil langkah-langkahku sambil fokus pada sebuah titik samar di kejauhan.
Tiba-tiba saja saya melihat seorang pria diujung gang sempit yang ingin ku lintasi. Semakin mendekati dia, ternyata itu adalah ayah saya. Dia memandangku dengan kesedihan.
Abaikan saja berita yang menyebar dengan cepat itu?
Saya ingin mengatakan akan pergi ke Tartarus saja, tapi saya hanya terdiam. Ayah mendekati saya, memegangi bahu saya, lalu meletakkan selembar uang di dalam saku saya.
“Ibumu gila, namun ayah tidak akan memarahimu,” ujarnya, dan haruskah Sisyfos menghimpitnya dengan bebatuan besarnya?
“Kupikir kamu mungkin kesal dengan bapaku. Namun, perkawinan merupakan sesuatu yang kompleks. Nanti saat telah beranjak dewasa, kamu pasti akan memahaminya.” Setelah mendengarnya, aku bertekad tidak ingin mencapai kedewasaan.
Saat aku tiba di rumah, ibu telah menantiku. Berbeda dengan hari sebelumnya, kali ini ekspresinya suram.
“Suami menginginkan hak asuh atas dirimu,” kata istri sambil gemetaran.
“Dia masih menginginkan perceraian. Namun, dia menuntut agar itu datang dari dirimu. Bukan dariku,” jelas sang ibu kembali.
“Jadi kelak kamu akan hidup bersamanya. Jadi kelak kalian berdua akan bahagia. Sedangkan aku sendirian. Aku tidak mau dia bahagia. Seharusnya ia juga merasakan penderitaan seperti yang kulalami,” kata ibu sambil terisak, namun kali ini dengan mengacungkan pisau potong buah ke lehernya.
Saya mengingat kisah tentang Medea yang membunuh anak-anaknya untuk membalas dendam pada suaminya, dan bisa jadi ibu saya seperti tersihir oleh dewa tersebut. Saya hanya diam dan menantikan pisau itu melukai pembuluh darah di leher saya karena pikiranku saat itu bahwa hal itu mungkin lebih baik, apalagi setelah merasa muak dengan hanya makan roti.
Tapi, tiba-tiba saya mendengar suara menggemaskan dari luar rumah. Bunyi tersebut semakin keras sementara saya merasakan guncangan pada tangan ibu. Pedang itu jatuh bersiul di ubin dan ibuku tersandung serta mulai menjerit. Suara kucingnya makin meninggi hingga membuat saya beranjak untuk memeriksanya lebih lanjut. Saat mencapai halaman depan, mata sang anjing menyala dalam pandangannya saat dia bertemu dengan saya. Dia kemudian jongkok dan meletakkan ular besar berwarna hijau di tikar selamat datang kami. Lalu, tanpa ragu lagi, dia melompat pergi menuju semak-semak. Sekarang, saya sungguh-sungguh merasa lapar.
(jpg)