Berita  

KPU Harus Buka Dasar Aturan Rahasiakan Dokumen Capres-Cawapres yang Dibatalkan, Kredibilitas Terancam

KPU Harus Buka Dasar Aturan Rahasiakan Dokumen Capres-Cawapres yang Dibatalkan, Kredibilitas Terancam

PIKIRAN RAKYAT – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia secara resmi mencabut Keputusan Nomor 731/2025 yang sebelumnya memicu perdebatan karena membatasi akses masyarakat terhadap 16 dokumen persyaratan calon presiden dan wakil presiden. Meski tindakan ini dianggap sebagai langkah positif, KPU diminta untuk memberikan penjelasan yang lebih lengkap mengenai keputusan tersebut.

Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi), Jeirry Sumampow, menyatakan bahwa pembatalan tersebut belum memberikan jawaban atas pertanyaan mendasar yang masih tergantung di tengah masyarakat. “Mengapa keputusan itu dikeluarkan dari awal, padahal tahapan pemilu sudah selesai? Itu adalah pertanyaan yang hingga kini belum terjawab,” ujar Jeirry di Jakarta, Rabu (17/9/2025).

Menurutnya, keputusan tersebut sejak awal terasa tidak wajar karena muncul di luar proses tahapan pemilu. Tanpa adanya penjelasan resmi dari KPU, ruang untuk spekulasi dan ketidakpercayaan masyarakat justru semakin meluas. “Wajar jika masyarakat mulai mempertanyakan, apakah ada permintaan atau tekanan dari pihak tertentu, baik dari partai politik, kandidat, maupun kekuatan politik lain?” katanya.

Tolong support kita ya,
Cukup klik ini aja: https://indonesiacrowd.com/support-bonus/

Jeirry menambahkan, KPU juga harus memberikan jawaban mengapa mereka mengambil tindakan terhadap tekanan atau permintaan tertentu, jika memang ada, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap integritas lembaga. Menurutnya, ketidaktelitian ini berisiko menciptakan kesan bahwa KPU pernah melanggar prinsip kesetaraan dalam pemberian perlakuan kepada peserta pemilu.

“Transparansi KPU dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ini sangat penting, bukan hanya untuk mengurangi perselisihan, tetapi juga untuk memulihkan kepercayaan masyarakat,” katanya.

Ia menegaskan, pencabutan keputusan tidak boleh dianggap sebagai penutup dari masalah tersebut. Kontroversi ini, katanya, justru menyentuh eksistensi dan kredibilitas KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang seharusnya bersifat independen, profesional, dan dapat dipertanggungjawabkan.

“Integritas KPU tidak hanya dinilai dari keberanian mengambil keputusan yang salah, tetapi juga dari kemauannya untuk menjelaskan asal-usul keputusan tersebut,” kata Jeirry.

Menurutnya, tanpa kejelasan, anggapan masyarakat bahwa KPU pernah melanggar prinsip pemilu akan terus menghantui.

Ia menekankan bahwa masyarakat berhak mendapatkan jawaban yang lengkap agar tidak muncul asumsi-asumsi yang tidak jelas, sekaligus menjadi pelajaran agar tindakan serupa tidak terjadi lagi.

“Secara singkat, pembatalan merupakan langkah awal, namun pertanggungjawaban publik tetap perlu diselesaikan. Masyarakat masih menantikan penjelasan lebih lanjut dari KPU,” katanya.

Meskipun demikian, Jeirry tetap mengapresiasi keberanian KPU dalam mencabut keputusan 731/2025. Menurutnya, tindakan tersebut setidaknya menunjukkan adanya perbaikan di dalam sistem.

“Itu juga mungkin dapat mengurangi sebagian kritik masyarakat terhadap KPU,” katanya.