news  

KPK Dianggap Mampu Gunakan Pasal TPPU Usut Aliran Uang Kasus Korupsi Haji Era Jokowi

KPK Dianggap Mampu Gunakan Pasal TPPU Usut Aliran Uang Kasus Korupsi Haji Era Jokowi

Lembaga Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) mengajak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggunakan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam upaya memulihkan keuangan negara, dalam penyelidikan dugaan korupsi kuota haji tahun 2024. Langkah ini dilakukan setelah KPK meningkatkan status penyelidikan dugaan korupsi kuota haji menjadi penyidikan.

“Harus diberlakukan TPPU terhadap pihak-pihak yang terlibat agar dapat mengetahui ke mana aliran uang tersebut pergi dan bisa diambil, serta diserahkan kepada negara,” ujar Koordinator MAKI Boyamin Saiman kepada wartawan, Senin (11/8).

Dugaan tindak pidana korupsi mengenai kuota haji terkait dengan tambahan kuota yang diperoleh dari pertemuan Presiden ke-7 RI Joko Widodo dengan Pemerintah Arab Saudi, yaitu sebanyak 20 ribu kuota.

Tolong support kita ya,
Cukup klik ini aja: https://indonesiacrowd.com/support-bonus/

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2018 mengenai Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, alokasi kuota haji ditentukan sebesar 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen untuk haji khusus.

“Tapi tampaknya pembagian itu dilakukan secara merata 50-50. Jelas ini melanggar hukum, saya juga melaporkan hal tersebut terkait kuota tersebut, karena dari penelusuran saya, setiap orang yang mendapatkan kuota tambahan dikenakan biaya 5 ribu dolar. Artinya hampir 75 juta per orang. Jadi ada biro perjalanan yang bergabung lalu diatur dalam konsorsium tersebut, dan diduga uang itu juga mengalir ke oknum,” kata Boyamin.

Aktivis anti-korupsi memperkirakan kerugian keuangan negara dari dugaan kasus korupsi kuota haji mencapai sekitar Rp 750 miliar atau hampir Rp 1 triliun. Namun, ia menyerahkan sepenuhnya kepada KPK dalam menentukan besaran kerugian negara dari kasus dugaan korupsi kuota haji tersebut.

“Karena diduga per orang 5 ribu dolar, jadi kalau dikali 10 ribu itu sudah berapa, karena ini sebenarnya 20 ribu. Yang 10 ribu itu diberikan khusus, jika dijual 5 ribu dolar semua, 5 ribu dikali 10 ribu berapa, artinya 7,5 yaitu Rp 750 miliar,” kata Boyamin menduga-duga.

Boyamin mengira, kuota haji dimanfaatkan oleh pihak penyelenggara negara serta berpindah ke perusahaan-perusahaan travel. Oleh karena itu, KPK harus melakukan penyelidikan mendalam mengenai aliran dana yang diduga terkait korupsi kuota haji tersebut.

“Harapan saya KPK melakukan pencegahan pencucian uang. Karena uang tersebut mengalir ke mana-mana, kepada siapa saja. Selain itu juga digunakan oleh travel tertentu untuk kebutuhan,” katanya.

Sementara itu, sampai saat ini KPK mengacu pada Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengenai Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Pelaksanaan hukum berkaitan dengan tindakan yang melanggar hukum, memperkaya diri sendiri atau pihak lain serta merugikan keuangan negara atau stabilitas ekonomi negara.

“Kemudian, nanti siapa yang akan diuntungkan dengan pasal ini, apakah itu menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau sebuah perusahaan,” kata Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Sabtu (9/8) dini hari.

Meski telah meningkatkan penyelidikan dugaan korupsi kuota haji ke tahap penyidikan, KPK belum mengungkap secara rinci pihak-pihak yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut. KPK akan menuntut pihak-pihak yang diuntungkan dari dugaan korupsi kuota haji 2024 tersebut.

“Kemudian, nanti siapa yang akan diuntungkan dengan pasal ini, yang diuntungkan adalah tadi, menguntungkan diri sendiri, orang lain atau sebuah perusahaan,” katanya.

Menurutnya, tindakan tersangka tersebut bisa saja menargetkan pejabat negara di Kementerian Agama (Kemenag) maupun perusahaan yang merasa diuntungkan dari penyelewengan kuota haji tambahan tahun 2024.

“Di sini, individu yang terlibat adalah orang-orang yang menerima aliran dana, aliran dana yang berasal dari pembagian kuota, misalnya dari pihak pemerintah, oknum dari pemerintah atau Kementerian Agama yang karena keputusan mereka memberikan kuota haji tidak sesuai dengan aturan, lalu menerima sejumlah uang,” katanya. (*)