Komisioner Kompolnas: Waktunya Polri Hentikan Kekerasan Sekaligus

Komisioner Kompolnas: Waktunya Polri Hentikan Kekerasan Sekaligus

Polri telah menerima kritikan keras selama beberapa tahun terakhir. Berbagai insiden kekerasan, pelecehan seksual, dan layanan publik yang tidak memuaskan turut menggerogoti reputasi mereka. Data dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bahkan mencatat bahwa pada tahun 2024, Polri merupakan lembaga dengan jumlah pengaduan tertinggi. Dalam catatan tersebut, ada 1.227 laporan keseluruhan, di mana 350 di antaranya berkaitan langsung dengan Polri.

Masyarakat pun semakin kurang mempercayai performa dari lembaga tersebut. Karenanya, diperlukan adanya Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) untuk membantu dalam menggerakkan transformasi budaya polisionya. Bila ingin reputasinya tidak semakin hancur, sekarang adalah waktu bagi Korps Bhinneka Tenterama Laksana (Polri) untuk menghapus metode penyelesaian masalah berbasis kekerasan yang seringkali digunakan oleh personel mereka selagi bertugas.

Komisioner dari Kompolnas, Yusuf Warsyim, menyebutkan bahwa pengawasan internal yang kritis dan adil sangat diperlukan agar dapat menghindari pelanggaran dalam organisasi polisi. Ini disebabkan oleh salah satu hambatan utama bagi kepolisian yaitu menegani manajemen personel mereka sendiri.

“Melindungi dengan cara menghapuskan kekerasan merupakan tujuannya. Kekerasan yang dirasakan oleh warga dan juga tindak kekerasan yang kadang dilancarkan oleh sebagian orang. Jadi, individu-individu tersebut yang seringkali berpotensi melakukan kekerasan harus dieliminasi dari budaya penegak hukum sebagai pemberi perlindungan bagi masyarakat,” jelas Yusuf kepada

Tirto

.

Perhatikan ulasan tambahan dari Yusuf Warsyim pada wawancara spesial di bawah ini.


Apa pandangan Anda tentang keadaan dan posisi Kepolisian Republik Indonesia saat ini?

Selama dekade terakhir, institusi polisi kita telah menghadapi perhatian yang intensif serta berbagai kritik. Reformasi dalam tubuh Kepolisian Republik Indonesia menurut pendapat kami hanya mencapai dua aspek utama: pertama adalah pengaturan struktural, meliputi pemisahan antara Tentara Nasional Indonesia dan Korps Bhayangkara Polri dengan pembubarannya Angkatan Bersenjata RI. Sehingga, Kepolisian Republik Indonesia tak lagi berada di bawah kendali angkatan bersenjata.

Yang kedua adalah reformasi instrumenalis, yakni berkaitan dengan pengembangan dogma-polisi yang berbeda dari militer melainkan polisi sipil. Dogmanya tersebut dikonstruksi untuk membentuk suatu profesion.

Bagian yang belum mencapai hasil dan tetap stagnan adalah reformasi budaya. Hal ini akan selalu menjadi fokus jika perbaikan dan penataan ulang dalam budaya polisi tidak sepenuhnya diterapakan.

Dalam aturan dasar kepolisan, di samping tanggung jawab untuk menjamin keselamatan dan ketertiban publik, aparat penegak hukum juga berkewajiban melindungi, mendukung, serta membantu warga negara. Hal ini mencerminkan budaya kepolisian yang berfokus pada perlindungan dan pelayanan kepada rakyat.

Sementara kultur tersebut belum memberikan perlindungan atau pelayanan yang nyata bagi publik, Polri akan tetap menghadapi kritikan yang semakin meningkat.

Tidak hanya itu, tugas untuk menerapkan hukum pun perlu diperhatikan. Menerapkan hukum dalam perspektif teori mencakup tiga elemen utama: dampak dari struktur sistemnya, isi atau substansi hukum tersebut, serta cara penerapan norma-norma hukumnya.

Hukum kita pada dasarnya sudah cukup baik. Kemudian hal itu terpengaruh oleh aspek-aspek seperti struktur, lembaganya, dan aparaturnya.

Selanjutnya, terpengaruh oleh sistem hukum. Oleh karena itu, dalam kerangka sistem hukum tersebut, peran kepolisian harus berfungsi sebagai

role model

-nya. Namun, ternyata Polri belum bisa menjadi

role model

di dalam praktik hukum sampai-sampai konsekuensinya mendapat sorotan kritis.

Apa yang diinginkan pada kondisi saat ini secara keseluruhan adalah agar kepolisian dapat berperan sebagai

role model

budaya hukum di dalam penegakan hukum.


Kultur kepolisian apa yang masih menjadi masalah saat ini?

Ada masih petugas polisi yang terlibat dalam tindakan kekerasan saat menjalankan tugas mereka. Bahkan ketika diberi senjata, pendekatan mereka cenderung lebih represif. Kasus-kasus tertentu, misalnya di Semarang dan Sumatera Barat, yang berhubungan dengan penggunaan senjata api telah mendorong permintaan untuk reformasi. Polisi seharusnya mengembangkan budaya perlindungan tanpa harus menggunakan kekuatan atau kekerasan.

Anggota kepolisian dengan tendensi kekerasan perlu dibersihkan dari budaya polisi yang bertugas melindungi warga. Selanjutnya adalah memperkuat budaya layanan. Misalkan kasus laporan pekerja toko roti kepada petugas di Jakarta Timur; sepertinya mereka tak mendapat bantuan apa pun.

Tagar tentang pelaporan gratis ke polisi sempat populer. Ini menunjukkan kritik yang mengatakan layanan yang tidak memadai seharusnya dihindari, sementara polisi sebenarnya harus berperan sebagai pengabdi kepada masyarakat.


Mengenai insiden pertarungan ayam di Lampung, apakah Korps Polri menganggap bahwa operasi intelejen kepolisian telah berfungsi dengan tepat?

Kejadian yang terjadi kemarin di Way Kanan tentunya mencerminkan bagaimana kita menerapkan hukum. Mengejawantahkan aturan hukum di tempat nyata bukanlah hal sepele layaknya mengubah kain penutup meja. Ini berarti selalu ada rintangan-rintangan, seperti tindakan petugas polisi yang terjadi di Way Kanan beberapa hari lalu. Tujuannya adalah untuk mendobrak praktik-praktik yang diduga sebagai judi sabung ayam.

Berdasarkan pengawasan kami, benar bahwa ada beberapa keluhan dari publik. Sepertinya polisi tidak melihat masalah tersebut. Masyarakat berharap agar pihak kepolisian dapat bertindak dengan keras dalam hal penegakan hukum. Kemarin, tiga anggota tim sayangnya telah meninggal karena insiden tersebut. Ini mencerminkan cara polisi merespons praktik sabong ayam ilegal yang sedang berlangsung.


Bagaimana menurut Anda jika polisi sering mengambil keuntungan yang tidak semestinya dari warga?

Berbicara tentang budaya, reformasinya tampaknya belum berjalan maju. Harapan kami adalah terbentuknya budaya layanan yang berkualitas. Kepolisan harus dapat memberikan pelayanan pada masyarakat dengan cara profesional dan tanpa mengharap imbalan apapun. Ini merupakan suatu kebutuhan mutlak.

Oleh karena itu, apa langkahnya untuk mempercepat proses transformasi budaya tersebut? Di titik ini, dibutuhkan peranan pengawasan. Para pengawaslah yang akan mendukung percepatan reformasi dalam budaya institusi polisi. Sebelum terjadi pelanggaran, Kompolnas berupaya melakukan pencegahan sehingga aturan tetap dipatuhi.

Dalam institusi kepolisan ini, menurut pendapat saya terdapat lima fondasi utama yang membentuk karakter seorang pegawai polisi.

Pertama, proses perekrutan yang efektif. Perekrutan yang kurang tepat bisa menghasilkan anggota dengan budaya kerja buruk. Oleh karena itu, diperlukan perekrutan yang mampu mendatangkan calon-calon anggota polisi berkualitas tinggi.

Kedua, aspek pendidikan dan pelatihan sangat penting. Kepolisian perlu mendapatkan pendidikan secara berkala serta terus melakukan latihan. Sama seperti seorang petarung yang selalu meningkatkan kemampuannya, mereka juga harus senantiasa mempertajam keprofesionalan, etika, dan integritas diri dalam tugas-tugaskan mereka.

Ketiga, kita memiliki pilar kepemimpinan. Kepemimpinan ini amat vital sebab Korps Polisi Republik Indonesia merupakan sebuah organisasi dengan susunan hierarkis. Di setiap tingkatan dan strukturnya terdapat pemimpinnya. Pilar ketiga ini menuntut para pemimpin untuk menjadi

role model

.

Keempat, hal ini berkaitan dengan pengawasan. Ada jenis pengawasan lain yang dikenal sebagai pengawasan melekat, dipimpin langsung oleh atasan. Dalam kepolisian RI, sistem pengawasannya bersifat bertingkat. Setiap pemimpin ditugaskan untuk memantau kinerja bawahannya.

Semua kelima poin tersebut sangat penting untuk membentuk percepatan reformasi budaya yang mendukung perlindungan, pelayanan, pengawasan, serta penegakan hukum dengan etika.


Masalah apa yang menjadi fokus pengawasan Kepolisian Nasional saat ini?

Kompolnas tetap menjaga pengawasan serta mengevaluasi pelaksanaan kode etik dalam kasus pungli di DWP sebab proses banding belum usai. Mereka juga secara aktif memantaunya pada kasus perampokan yang mencakup AKBP Bintoro dari Polres Jakarta Selatan. Kita harap semuanya dapat ditangani dengan teliti hingga ke akar-nya.

Ketiga, tentang kasus mantan Kapolres Ngada di NTT yang saat ini sedang diproses secara etis di PTDH. Mereka telah menempuh langkah hukum dengan mengajukan banding sesuai regulasi yang ada dan kami tetap memantau perkembangannya terus-menerus.

Saat ini, regim telah dikirimkan ke Lampung. Pertama-tama, mereka menyalurkan bela rasa secara langsung kepada keluarga dari ketiga petugas kepolisian yang gugur dalam penjarahan lokasi perjudian sabung ayam. Kedua, mereka melaksanakan pemeriksaan lebih lanjut tentang berbagai langkah-langkah yang telah dipraktikkannya sampai pada titik pelaksaan operasi tersebut.


Bagaimana Pandangan Kompolnas Terhadap Performa Kapolri?

Umumnya, Bapak Sigit telah mengimplementasikan berbagai terobosan berkaitan dengan perubahan Polri yang tepat sasaran. Sudah ada banyak inovasi. Secara keseluruhan, kinerja kepolisian di bawah kepemimpinannya Bapak Listyo Sigit bisa dikatakan positif.

Meskipun demikian, hal itu sangat dipenuhi oleh berbagai tantangan serta kritik yang mengharuskan adanya beberapa perbaikan dalam kebijakannya. Tak mungkin bertindak secara ideal seperti apa yang telah diumumkan ketika sedang melaksanakannya.

fit and proper test

pada Januari 2021 di Komisi III DPR RI.

Dengan pendekatan yang obyektif, Kami sebagai Kompolnas menunjukkan fokus besar terhadap kebijakan pengawasan yang sebenarnya memerlukan peningkatan ketahanan. Partisipasi Kompolnas di dalam pemantauan institusi polisi harus mendapatkan tempat yang sesuai untuk mewujudkan sifatnya yang semakin transparan dan adil.

Kapolri memang selalu mencakup Kompolnas dalam setiap langkahnya. Kami terus mendukung dan mengevaluasi apakah keputusan Kapolri telah diterapkan dengan tepat dari tingkatan atas hingga jajaran Polsek.


Kepala Kepolisian Nasional dianggap sebagai cap saja oleh Korps Polisi Militer. Apa pendapat Anda tentang hal ini?

Baru-baru ini, Kepolisian Republik Indonesia juga sempat menerima kritik pedas. Terkait insiden Sambo, kita tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa kami dijuluki sebagai pembicara resmi dari Polri. Ini merupakan kritik yang patut untuk diterima. Untuk merespons hal tersebut, kami melakukan evaluasi dan peningkatan diri.

Sebagai bagian dari Kompolnas periode 2024-2028 dan merupakan masa jabatan kedua saya, saya bersumpah akan bertindak sebagai pengawas eksternal yang kuat.

Saat kita mengemukakan pendapat di arena umum, bukan hanya sebagai perwakilan dari Polri. Meskipun dengan wewenang-wewenang yang terbatas, upaya kami adalah agar tetap netral. Acuan utamanya ialah prinsip-prinsip hukum.

Terkait investigasi, kita mendorong para penyidik yang profesional mengacu pada SOP. Harapannya pelapor tidak merasa penangkapan dilakukan tanpa pedoman prosedural. Apabila sudah sesuai dengan aturan, maka disampaikan demikianlah adanya. Namun jika ternyata ada ketidaksesuaian dalam penerapan prosedur, perlu segera ditingkatkan dan dibenahi.

Terjadi ketidakdisiplinan, perlu diambil tindakan. Terdapat pelanggaran terhadap kode etika, wajib dipertimbangkan untuk penanganan lebih lanjut.


Bagaimana harapan Anda terhadap lembaga polisi?

Yang paling penting dan sungguh sangat dibutuhkan sekarang ini adalah permintaan untuk menerapkan hukum secara adil. Keberadaan keadilan perlu ditinggikan nilainya. Agar hal tersebut dapat dicapai, maka para pekerja dalam bidang penegakan hukum mutlak harus mengamalkan kode etik dengan serius.

WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com