news  

Koalisi Sepakat UU Kehutanan Harus Direvisi Total

Koalisi Sepakat UU Kehutanan Harus Direvisi Total

Perubahan Total UU Kehutanan Diperlukan untuk Menjaga Keadilan dan Keberlanjutan

Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi UU Kehutanan yang terdiri dari 27 organisasi masyarakat mengusulkan perubahan menyeluruh terhadap UU Kehutanan. Mereka menilai undang-undang ini sudah tidak relevan dengan tata kelola hutan, lahan, dan lingkungan saat ini. Alasan utama perubahan ini meliputi aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis.

Aspek Filosofis: Tidak Sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945

Menurut Anggi Patra Prayoga, Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI), UU Kehutanan atau UU 41 Tahun 1999 tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, khususnya pada bagian huruf (a) yang menggunakan frasa “merupakan kekayaan yang dikuasai negara”. Hal ini dianggap bertentangan dengan prinsip dasar negara yang menjunjung hak-hak rakyat.

Selain itu, UU tersebut juga merujuk pada Pasal 33 UUD 1945 dan UU 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria. Konsep hak menguasai negara dan frasa “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” sering kali tidak terlaksana secara nyata. Paradigma hak tanah dikuasai negara ini dipengaruhi oleh teori politik hukum kolonial Belanda, yang menganggap seluruh tanah milik raja dan kemudian menjadi milik negara.

Pemerintah kolonial sering kali mengusir atau mengkriminalisasi masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut tanpa memperhatikan hak dan hukum yang berlaku dalam masyarakat setempat. Akibatnya, sistem ini telah menciptakan korporasi besar yang mengakses pengelolaan hutan, namun gagal mencapai tujuan kemakmuran rakyat seperti yang diharapkan.

Aspek Sosiologis: Pengabaian Hak Masyarakat Adat

UU Kehutanan dinilai tidak mempertimbangkan aspek sosial, budaya, dan sejarah masyarakat adat dan petani yang hidup dan bergantung pada hutan. Selama 26 tahun pelaksanaannya, banyak hal yang diabaikan, seperti pemaknaan hutan bagi masyarakat adat, pengabaian keberadaan masyarakat lokal, serta konflik agraria yang terjadi di wilayah adat.

Data menunjukkan bahwa luas kawasan hutan yang dibebani izin korporasi mencapai 37,6 juta hektare, sedangkan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan mencapai 8.514.921 hektare hingga 2022. Namun, pemberian izin akses masyarakat atas hutan melalui skema perhutanan sosial hanya mencapai 5.415.122 hektare atau 9.472 unit yang tersebar kepada 1.232.961 kepala keluarga.

Perbandingan ini sangat jauh dengan pemberian status melalui hutan adat, hanya 332.505 hektare atau 156 unit SK saja, setara dengan 1,3 persen dari potensi hutan adat yang terdata. Capaian ini dinilai terlalu kecil dan terlambat, sehingga tidak mampu mendorong kesejahteraan masyarakat.

Aspek Yuridis: Masih Banyak Kekosongan Hukum

Secara yuridis, UU Kehutanan dinilai belum mampu mengatasi masalah hukum yang ada. Bahkan setelah tujuh kali direvisi, masih banyak kekosongan yang belum terselesaikan. Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Muhammad Arman menyebutkan bahwa UU ini memiliki pengalaman terkait keterlibatan militer dalam perampasan hak masyarakat, seperti kasus Rempang dan berbagai konflik lahan lainnya.

Selain itu, perluasan teritorialisasi hutan melalui kebijakan transisi energi dan pangan juga memberikan dampak signifikan, termasuk konsolidasi lahan yang berujung pada pemanfaatan kawasan hutan dengan skala besar. Agenda iklim yang dijalankan juga berdampak pada deregulasi perizinan dan fasilitasi proyek energi dan ketahanan pangan di kawasan hutan.

Ketimpangan Gender dan Eksklusi Sosial

UU Kehutanan juga dinilai masih mengandung ketimpangan gender dan eksklusi sosial dalam tata kelola kehutanan. Direktur Eksekutif Women Research Institute (WRI) Sita Aripurnami menyebutkan bahwa kriminalisasi masyarakat adat berdampak pada perempuan dalam keluarga. Penelitian Hendrastiti et al. (2024) menunjukkan bahwa perempuan lokal mulai menunjukkan kekuatan kolektif dalam memperjuangkan kebijakan yang lebih inklusif, namun ketimpangan hukum tetap menjadi penghalang.

Negara seharusnya menjamin masyarakat dan perempuan yang terkena dampak, karena dampak terhadap laki-laki, perempuan, dan anak akan sangat berbeda-beda. Oleh karena itu, perubahan total UU Kehutanan diperlukan untuk menciptakan sistem yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.