Perubahan Mencengangkan: Teknologi dan Pertanian Menyatu
Di tengah kemajuan teknologi yang pesat, dunia terus bergerak menuju inovasi seperti metaverse, kecerdasan buatan, dan otomasi. Namun, di balik semua itu, sebuah perubahan tak terduga sedang terjadi. Banyak miliarder teknologi, yang biasanya dikenal dengan aktivitasnya di dunia digital, kini mulai beralih ke sektor pertanian. Ini menunjukkan bahwa mereka menyadari pentingnya pangan dalam menjaga kelangsungan hidup manusia.
Para tokoh seperti Bill Gates, Jeff Bezos, Elon Musk, Jack Ma, dan Warren Buffett tidak lagi hanya fokus pada investasi teknologi. Mereka kini memperluas cakupan investasi mereka ke bidang pertanian dan perkebunan. Fenomena ini bukan sekadar kebetulan, melainkan respons terhadap berbagai tantangan global yang semakin mengkhawatirkan.
Tanda-Tanda Krisis Pangan yang Mendesak
Krisis pangan bukan lagi isu jauh di masa depan. Data dari The State of Food Security and Nutrition in the World 2023 (FAO, IFAD, UNICEF, WFP, WHO) menunjukkan bahwa sekitar 735 juta orang mengalami kelaparan kronis. Angka ini meningkat drastis sejak pandemi COVID-19. Bahkan di negara-negara maju, kerentanan pangan kembali naik akibat konflik Ukraina-Rusia, inflasi global, dan kelangkaan pupuk serta bahan bakar.
World Food Programme (WFP) memperkirakan bahwa lebih dari 345 juta orang kini menghadapi kerawanan pangan akut. Wilayah-wilayah seperti Tanduk Afrika, Afghanistan, dan beberapa negara Pasifik berada di ambang kelaparan massal. Bahkan badan intelijen Amerika menyebut kerawanan pangan kini menjadi ancaman geopolitik nomor satu di beberapa kawasan strategis.
Ancaman krisis ini tidak hanya tentang ketiadaan makanan, tetapi juga rusaknya seluruh sistem pertanian. Tanah yang kehilangan kesuburannya karena eksploitasi, air irigasi yang semakin langka karena perubahan iklim, serta ketergantungan tinggi pada sistem logistik global yang rentan terhadap gangguan, semuanya menjadi faktor utama.
Investasi Teknologi untuk Pertanian
Di tengah situasi seperti ini, para miliarder teknologi mulai melakukan investasi besar-besaran di sektor pertanian. Bill Gates, misalnya, membeli lebih dari 269.000 hektar lahan pertanian di 18 negara bagian AS, menjadikannya pemilik lahan pertanian terbesar di Amerika. Jeff Bezos membangun proyek Bezos Earth Fund dengan dana US$10 miliar, sebagian untuk pertanian regeneratif dan pengurangan emisi pangan. Jack Ma juga diam-diam membeli lahan pertanian organik di Asia Tenggara dan Tiongkok, serta mulai mempromosikan produk agrikultur bersih melalui Alibaba.
Warren Buffett, melalui anaknya Howard, membiayai sistem pertanian berbasis konservasi tanah di Amerika Latin dan Afrika. Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa para miliarder ini tidak hanya mencari profit, tetapi juga menyadari pentingnya stabilitas pangan bagi masa depan umat manusia.
Kesadaran Baru: Teknologi Tidak Bisa Dimakan
Banyak orang masih percaya bahwa teknologi bisa menyelesaikan segalanya. Namun, para miliarder yang hidup dari revolusi digital justru menyadari bahwa manusia tetap makhluk biologis yang butuh makanan dan air. Metaverse, chip AI, kendaraan otonom, bahkan robot dengan kecerdasan buatan tidak akan ada gunanya ketika dunia kehabisan beras, jagung, dan protein nabati atau hewani.
Pandemi COVID-19 menjadi pukulan besar yang menyadarkan dunia betapa rapuhnya sistem pangan global. Ketika perbatasan ditutup, logistik terganggu, dan produksi pangan menurun, negara-negara berebut gandum dan beras seperti berebut senjata. Di sinilah titik baliknya: pangan bukan lagi isu sektoral, tapi isu strategis nasional dan global.
Panggilan Moral atau Manuver Bisnis?
Sebagian kalangan sinis melihat langkah para miliarder ini hanya sebagai bentuk diversifikasi investasi jangka panjang. Harga tanah pertanian memang cenderung naik stabil. Produk pangan, terutama organik dan berkelanjutan, punya pasar premium. Maka tak heran bila langkah-langkah ini dianggap sebagai bagian dari kalkulasi bisnis, bukan kepedulian sosial.
Namun, menyederhanakan semua sebagai kalkulasi untung rugi adalah kesalahan besar. Justru dari pengalaman mereka membangun teknologi, para taipan ini menyadari bahwa dunia sedang menuju batas sistemik. Energi akan semakin mahal, air akan semakin langka, populasi terus bertambah, dan lahan subur semakin menyusut. Dalam kondisi seperti ini, berinvestasi di pertanian bukan hanya logis, tetapi vital.
Pesan Bagi Indonesia: Negeri Subur yang Malah Lupa Bertani
Indonesia, dengan kekayaan hayati, sinar matahari melimpah, dan curah hujan ideal, harusnya menjadi pemimpin global dalam pertanian tropis. Tapi kenyataan justru sebaliknya. Data BPS 2024 menyebut lebih dari 100.000 hektare sawah beralih fungsi tiap tahun menjadi perumahan, pabrik, dan kawasan bisnis. Sementara itu, rata-rata usia petani kini di atas 50 tahun, dan generasi muda lebih tertarik jadi content creator daripada petani.
Program food estate pun penuh masalah: gagal panen, konflik lahan, dan pemborosan anggaran. Padahal, ketahanan pangan tidak bisa dibangun dalam rapat-rapat kementerian, melainkan di ladang dan sawah yang dikelola dengan ilmu dan keringat. Jika dunia sedang menguatkan pertanian, Indonesia justru memperlemah basis agraria-nya. Ini bukan hanya ironi, tapi bencana yang menunggu waktu.
Refleksi: Turun ke Sawah, Bukan Hanya Turun ke Panggung
Fenomena ini mengajak kita merenung. Mereka yang berada di puncak dunia teknologi dan keuangan justru kembali ke basic needs, pangan dan lahan. Bukan karena mereka ingin menjadi petani, tetapi karena mereka tahu: masa depan manusia bukan di metaverse, tapi di ladang-ladang yang bisa memberi makan dunia.
Jika para miliarder dunia berani “turun ke sawah”, maka para pemimpin negeri ini harus lebih dulu turun dari ego, dari retorika kosong, dari birokrasi yang rumit, dan melihat bahwa membangun pangan jauh lebih penting daripada membangun proyek-proyek mercusuar.
Pangan adalah pondasi keadilan sosial. Ketika petani tidak dihormati, lahan tidak dijaga, dan pangan dianggap sekadar komoditas, maka kita sedang menggali lubang krisis yang dalam.
Kini, saat dunia teknologi kembali melihat nilai tanah, kita sebagai negeri agraris justru harus lebih dulu percaya bahwa masa depan ada di tanah, bukan di awan digital. Mungkin inilah saatnya kita bertanya: Apakah kita sudah cukup siap menghadapi dunia yang lapar?