Ketegangan Pasca Gencatan Senjata antara Iran dan Israel
Meskipun konflik bersenjata antara Iran dan Israel yang meletus pada pertengahan Juni 2025 telah mereda berkat kesepakatan gencatan senjata, situasi di kedua negara masih penuh ketegangan. Pihak Iran menyatakan keraguan atas komitmen Israel untuk mematuhi perjanjian tersebut. Kesepakatan yang difasilitasi oleh pihak Barat, terutama Amerika Serikat (AS), dinilai rapuh dan rentan terhadap pelanggaran.
Awal Konflik dan Dampaknya
Perang singkat selama 12 hari dimulai pada 13 Juni ketika Israel melancarkan serangan udara besar-besaran ke wilayah Iran. Target utama serangan adalah para komandan militer dan ilmuwan yang diduga terkait dengan program nuklir Teheran. Sebagai respons, Iran menembakkan rudal balistik ke kota-kota di Israel. Israel mengklaim tindakan mereka bertujuan untuk mencegah pengembangan senjata nuklir oleh Iran, sebuah ambisi yang selama ini dibantah oleh pemerintah Iran.
Konflik ini menghentikan pembicaraan nuklir antara Iran dan AS yang sebelumnya sedang dalam tahap negosiasi. Bahkan, AS ikut serta dalam operasi militer bersama Israel untuk menyerang sejumlah fasilitas nuklir penting di Iran.
Jenderal Abdolrahim Mousavi, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran, menegaskan bahwa Iran tidak akan tinggal diam jika diserang lagi. “Kami siap merespons dengan kekuatan penuh,” ujarnya dalam pernyataan resmi enam hari setelah gencatan senjata diberlakukan.
Hubungan dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA)
Pertikaian ini juga semakin memperburuk hubungan Iran dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Iran menolak permintaan inspeksi IAEA terhadap fasilitas nuklir yang menjadi target serangan. Mereka bahkan mengecam Kepala IAEA Rafael Grossi karena dianggap tidak mengecam agresi militer AS-Israel. Parlemen Iran memutuskan untuk menangguhkan sementara kerja sama dengan badan pengawas nuklir PBB tersebut.
Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, menyebut permintaan kunjungan Grossi sebagai ‘tidak bermakna’ dan penuh motif jahat. Iran juga menuding bahwa resolusi IAEA tanggal 12 Juni yang mengkritik kurangnya transparansi nuklir Teheran digunakan sebagai dalih oleh Israel untuk meluncurkan serangan.
Reaksi Internasional
Respons keras Iran menuai kecaman dari berbagai negara. Menteri Luar Negeri Jerman, Johann Wadephul, menyampaikan dukungan kepada Grossi dan mengecam ancaman terhadap dirinya sebagai hal yang sangat mengkhawatirkan. Pemerintah Argentina, negara asal Grossi, juga menyatakan penolakan terhadap segala bentuk intimidasi terhadap pejabat IAEA tersebut.
Salah satu media garis keras Iran, Kayhan, sempat menuduh Grossi sebagai mata-mata Israel dan menyerukan hukuman mati baginya. Namun, Duta Besar Iran untuk PBB, Amir Saeid Iravani, membantah adanya ancaman fisik terhadap para inspektur nuklir. Ia menjamin keamanan mereka meski aktivitas inspeksi saat ini dihentikan sementara.
Peran Amerika Serikat dan Klaim Kerusakan
Amerika Serikat dilaporkan turut serta dalam serangan terhadap tiga fasilitas kritis program nuklir Iran. Presiden Donald Trump menyatakan bahwa jika ada indikasi Iran memperkaya uranium hingga tingkat militer, AS akan langsung menyerang tanpa ragu-ragu.
Namun, seberapa besar kerusakan yang ditimbulkan masih menjadi perdebatan. Meskipun pemerintah AS awalnya mengklaim bahwa program nuklir Iran telah dihancurkan, laporan intelijen militer AS menyebutkan bahwa program tersebut hanya mundur beberapa bulan, bukan bertahun-tahun seperti yang diyakini Israel. Laporan The Washington Post juga menunjukkan percakapan internal pejabat Iran yang menilai dampak serangan lebih kecil dari perkiraan.
Fakta terbaru dari IAEA mengungkapkan bahwa Iran telah memperkaya uranium hingga 60 persen—tingkat yang jauh di atas kebutuhan energi sipil, meskipun belum cukup untuk membuat senjata nuklir. Rafael Grossi sebelumnya menyatakan bahwa sebelum serangan terjadi, tidak ada bukti kuat bahwa Iran sedang mengembangkan senjata atom.
Tantangan Ke Depan
Meskipun suara senjata mulai diredam, bara konflik nuklir antara Iran dan Israel belum benar-benar padam. Dunia kini menanti apakah gencatan senjata dapat bertahan atau hanya menjadi jeda sejenak sebelum babak baru konflik dimulai. Segala pihak tetap waspada, karena ketidakpercayaan dan tensen politik masih mendominasi peta geopolitik Timur Tengah.