Kereta Api Perang: Rencana Destruksi Di Balik Zona Bantuan Gaza

Kereta Api Perang: Rencana Destruksi Di Balik Zona Bantuan Gaza


Warta Bulukumba

– Sinar panas gurun menyinari permukaan tanah datar hasil penggusuran oleh bulldozer ‘Israel’ di kawasan selatan Gaza. Dalam reruntuhan kota Rafah yang telah rusak parah, bangunan-pos logistik baru menjorok sendirian dengan dinding-dindingnya yang tertutup terpal biru dan seng, serta diperteguh oleh pasukan bersenjata. Namun, tempat itu tidak dimaksudkan sebagai benteng militer.

Dalam dokumen formal, area tersebut dikenal sebagai “zona penyaluran bantuan humaniter.” Tetapi bagi penduduk Gaza yang berhasil selamat dari serangan bom dan kekurangan pangan, lokasi itu mirip seperti sebuah kamp penghancuran yang telah dipermodernkan: diatur menggunakan teknologi biometri, memiliki pintu masuk tunggal saja, serta stok makanan yang cukup untuk membentuk rasa harapan namun tidak memadai untuk bertahan hidup.

Selasa malam, pesawat militer Israel melancarkan serangan ke wilayah di dekat Stasiun Radhi, bagian barat kamp pengungsian Nuseirat di Tengah Gaza. Serangan tersebut menyebabkan kematian setidaknya 15 orang dari keluarga Nassar, mencakup wanita, anak-anak, serta lanjut usia. Tidak ada korban yang bertahan hidup.

“Tidak ada satupun yang selamat — bukan anak-anak, bukan wanita, bukan pria, apalagi orang tua,” tertulis
Quds News Network
dalam laporannya pada hari Selasa, 20 Mei 2025.

Beberapa waktu setelah itu, area utara Gaza kembali bergetar akibat serangan. Angkatan Udara Israel menyerbu daerah barat kamp pengungsian Jabalia, lalu dilanjutkan dengan serbuan dron di Al-Nuseirat, mengenai paling tidak sepuluh orang Palestina, di antaranya ada lima anak kecil.

Pada saat yang sama, serangan militer terus berlanjut untuk minggu kedelapan berturut-turut. Tentara Israel meneruskan tindakan mereka di desa Kfar al-Dik, daerah Salfit, Tepi Barat. Selain itu, aturan komunikasi siaga tinggi diberlakukan, penangkapan orang muda Palestina dilaksanakan, serta pergerakan masuk-keluar penduduk diblokir.

Pada waktu yang sama, pasukan militer pemukim Israel melakukan serangan terhadap desa Khirbet Hmarush di utara Hebron, makin meluaskan rentang kekerasan di area penjajahan Tepi Barat.

Tahap yang semakin tak terkendali dan kehilangan kemanusiaan

PBB sekali lagi menyatakan peringatan tentang fase yang makin tak berperikemanusiaan dari krisis tersebut. Menurut laporan resmi UNRWA, pasukan Israel dengan sengaja menghambat kedatangan obat-obatan, sukarelawan, serta petugas medis menuju Jalur Gaza.

“Di Gaza, bayi telah mulai meninggal dunia akibat kelaparan. Tanpa asupan makanan yang cukup, hal ini dapat berakibat mematikan,” ungkap Juliette Touma, Direktur Komunikasi UNRWA, dalam keterangannya.
BBC News.

Di luar, rasa solidaritas dengan Palestina semakin meluas. Tiba-tiba saja, para pekerja dari Microsoft beserta pendukung-pendukung Palestina merusak acara utama “Microsoft Build”, yaitu konferensi tahunan yang diselenggarakan di Seattle. Aksi ini dilakukan sebagai bentuk penolakan atas bantuan teknologinya ke militer Israel.

Berdasarkan gerakan BDS (Boikot, Penarikan Dana, dan Sanksi), Microsoft dinilai sebagai “perusahaan teknologi dengan tingkat keterlibatan tertinggi dalam pelanggaran Israel di Gaza serta wilayah Palestina yang diduduki.”

Operasi “Kereta Gideon” serta dimulainya pemindahan massal

Pada strategi militernya baru-baru ini dengan nama ‘Israel’, yaitu Operasi Kereta Gideon, semua penduduk Gaza—totalnya mencapai 2,2 juta orang—diwajibkan untuk mengungsi menuju daerah sempit sekitar 45 kilometer persegi di sisi selatan Rafah. Area tersebut dinyatakan sebagai zona tunggal yang bakal mendapatkan “dukungan kemanusiaan”.

Akan tetapi di lapangan, pembagian bantuan tersebut hanya seolah-olah. Kepadatan yang diperkirakan bisa mencapai lebih dari 49.000 orang per kilometer persegi—lebih tinggi daripada kondisi di setiap kamp pengungsian global. Meski bantuan tersedia, namun skala dan volume nya sungguh minim, serta proses pendistribusianya mengharuskan melakukan petualangan berbahaya dengan jarak tempuh yang cukup jauh dari bagian utara menuju ke selatan wilayah Gaza.

“Tempat ini bukanlah wilayah yang aman. Justru sebaliknya, itu merupakan sebuah jebakan bersama yang diciptakan untuk menjinakkan, merenggut kesehatan mental, serta mendorong orang-orangs keluar paksa,” ungkap seorang sukarelawan dari organisasi non-pemerintah internasional yang enggan disebutkan identitasnya, demikian dilaporkan.
SupresssedNews
di X.

Dukungan kemanusiaan yang dirahasiakan: Kontribusi GHF

Rencana tersebut dilaksanakan melalui Yayasan Kemanusiaan Gaza (YKG), suatu badan “mandiri” yang mendapat dukungan langsung dari Amerika Serikat dan bekerja sepenuhnya dalam kerjasama dengan pasukan militer Israel. YKG ditugaskan untuk menangani empat pusat bantuan berlapis baja yang dapat melayani sampai dua juta penduduk.

Akan tetapi, agar dapat menerima bantuan, penduduk Gaza perlu melalui prosedur pemeriksaan biometri yang sangat ketat dan terintegrasi dengan sistem keamanan militer. Tak satupun dari organisasi lokal Palestina ataupun LSM mandiri diberi kesempatan berpartisipasi dalam hal ini.

Organisasi untuk hak-hak dasar manusia menganggap bahwa sistem ini merupakan versi baru dari “dukungan militer”, yang dengan sengaja mendiskriminasi keterlibatan warga sipil Palestina dalam proses tersebut.

Kritik global: “Alasan untuk penghancuran”

PBB serta sejumlah badan bantuan manusiawi enggan ambil bagian dalam tindakan tersebut. Ketua bidang bantuan manusiawi PBB, Tom Fletcher, menggambarkan ide itu sebagai:

Sebuah pementasan hipokrit yang menyembunyikan penggeseran paksa bersama bantuan, serta menggunakan lapar sebagai senjata dalam perundingan politik.

Fletcher mendorong Dewan Keamanan PBB agar bertindak dengan keras dan cepat, menyebutkan bahwa Israel “sengaja dan tanpa rasa bersalah merendahkan warga sipil di Gaza dalam cara yang tak berperikemanusiaan.”

Dia mengingatkan bahwa sistem ini dapat membuka pintu bagi pendudukan berkelanjutan serta ekspansi lebih lanjut, termasuk exodus yang terlihat seperti sukarela. Mekanismenya salah satunya dengan mendorong orang di Gaza agar “bergerak” lewat perbatasan Karam Abu Salem, hingga pada akhirnya mencapai Bandara Ramon guna keluar dari Gaza dalam jumlah besar.

Tetapi pertanyaannya masih berlaku: jika seluruh sisi kehidupan sudah hancur, bisakah perpindahan benar-benar disebut sebagai pilihan yang bebas dan tanpa paksaan? ***