news  

Kebijakan 50 Siswa per Kelas, SMAN 6 Depok Prioritaskan Warga Sekitar dan Kurang Mampu

Kebijakan 50 Siswa per Kelas, SMAN 6 Depok Prioritaskan Warga Sekitar dan Kurang Mampu

Kebijakan PAPS di SMA Negeri 6 Depok: Mencegah Anak Putus Sekolah dengan Tambah Siswa dalam Satu Kelas

Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Jabar) telah memutuskan untuk menerapkan kebijakan baru yang bertujuan untuk mencegah anak putus sekolah. Salah satu langkah utamanya adalah menambah jumlah siswa dalam satu kelas jenjang SMA/SMK menjadi 50 orang pada tahun ajaran 2025-2026. Kebijakan ini merupakan bagian dari program PAPS (Pencegahan Anak Putus Sekolah) dalam seleksi penerimaan murid baru (SPMB) Jabar.

Tujuan Program PAPS dan Implementasi di SMAN 6 Depok

Program PAPS diinisiasi oleh Gubernur Jabar Dedi Mulyadi dengan tujuan agar tidak ada anak yang putus sekolah. Di SMAN 6 Depok, kebijakan ini diterapkan sesuai dengan petunjuk pelaksanaan (juklak) yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Kuota SPMB di sekolah tersebut meningkat dari 324 menjadi 450 siswa untuk sembilan rombongan belajar (rombel) atau kelas.

Menurut Humas SMAN 6 Depok, Syahri Ramadhan, program PAPS berfokus pada siswa yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu. Selain itu, pihak sekolah juga mengutamakan warga terdekat dari sekolah. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa siswa yang diterima memiliki akses yang lebih mudah ke sekolah.

Persyaratan dan Kriteria Penerima Program PAPS

Berdasarkan juklak yang berlaku, siswa yang diterima melalui program PAPS adalah residu dari para pendaftar SPMB yang belum diterima pada tahap 1 maupun tahap 2. Namun, prioritas tetap diberikan kepada siswa dari keluarga kurang mampu.

Beberapa siswa yang berasal dari keluarga mampu juga diterima jika tinggal dekat dengan sekolah. Hal ini diperbolehkan karena program PAPS juga bertujuan untuk bina lingkungan sosial budaya. Misalnya, siswa yang tinggal di dekat sekolah tetap menjadi prioritas meskipun berasal dari keluarga mampu.

Tidak Ada “Titipan” dalam Pelaksanaan SPMB

Syahri Ramadhan menegaskan bahwa tidak ada istilah “titipan” dalam pelaksanaan SPMB di SMAN 6 Depok, termasuk melalui program PAPS. Ia menyatakan bahwa dirinya langsung terlibat dalam proses rekrutmen siswa. “Insyaallah untuk di SMA 6 Depok 100 persen tidak ada (siswa titipan),” ujarnya.

Namun, kebijakan yang mendadak diberlakukan ini sempat membuat sejumlah orang tua rugi. Beberapa orang tua yang awalnya tidak diterima di SMAN 6 Depok sudah membayar uang pangkal untuk masuk ke sekolah swasta. Belakangan, mereka dikabarkan diterima melalui program PAPS.

Efektivitas Proses KBM dengan 50 Siswa per Kelas

Meski kebijakan ini masih dalam masa implementasi, Syahri mengatakan bahwa proses KBM belum efektif karena saat ini masih dalam masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS). Ia menegaskan bahwa guru-guru akan tetap profesional dalam menjalankan proses pembelajaran, meskipun jumlah siswa dalam satu kelas cukup besar.

Namun, ia mengakui bahwa ada beberapa kendala seperti sarana dan prasarana yang belum sepenuhnya siap. Misalnya, jumlah meja dan kursi di tiap kelas hanya cukup untuk 36-40 siswa. Untuk mengatasi hal ini, sekolah sedang melakukan pengadaan tambahan meja dan kursi. Mudah-mudahan, pada hari Senin mendatang, semua kebutuhan tersebut telah terpenuhi.

Tanggapan dari Pemimpin dan Pejabat Terkait

Gubernur Jabar Dedi Mulyadi mengakui bahwa kebijakan ini bisa saja dihujat, dikritik, atau digugat. Namun, ia bersikeras bahwa kebijakan ini dilakukan demi masa depan pendidikan anak bangsa di Jawa Barat. “Pemimpin itu harus siap menerima hujatan, kritikan, tuntutan bahkan gugatan,” ujarnya.

Kepala Dinas Pendidikan Jabar Purwanto menegaskan bahwa mekanisme, indikator, dan kriteria penerima telah tertuang dalam Kepgub Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025. Ia menilai kekhawatiran tentang adanya kecurangan adalah bersifat subyektif. Jika ditemukan kasus titipan, Disdik Jabar akan langsung mendiskualifikasi calon siswa tersebut.

Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Jabar Herman Suryatman menjelaskan bahwa kriteria penerima program PAPS mencakup empat kategori, yaitu anak-anak yang berpotensi tinggi putus sekolah, korban bencana alam, anak di panti asuhan, dan anak yang orang tuanya tidak memiliki pekerjaan. Selain itu, ada juga kategori bina lingkungan sosial budaya, seperti siswa di lingkungan sekolah yang tidak masuk kategori miskin namun tinggal jauh dari sekolah negeri.