Proyek Kereta Cepat Jakarta-Surabaya: Tantangan dan Pelajaran dari Pengalaman Sebelumnya
Direktur Utama PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), Dwiyana Slamet Riyadi, memberikan penjelasan mengenai keberlanjutan proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya. Menurutnya, keberhasilan proyek ini sangat bergantung pada dukungan pemerintah, karena realisasi proyek membutuhkan investasi besar.
“Kereta api cepat itu mahal, tidak semua perbankan atau lembaga keuangan mampu dan mau mendanai kereta cepat, makanya di banyak negara penyediaan kereta cepat itu dari pemerintah,” ujar Dwiyana dalam acara Kongres Global ke-12 Kereta Cepat yang berlangsung di Beijing pada 8–11 Juli 2025.
Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung (Whoosh) yang telah beroperasi sejak Oktober 2023 menjadi salah satu contoh penting dari kebutuhan dukungan pemerintah. Dwiyana menyatakan bahwa infrastruktur dan lahan untuk proyek tersebut berasal dari pemerintah, sehingga beban finansial yang harus ditanggung oleh KCIC menjadi lebih berat.
Menurut Dwiyana, KCIC perlu terus berkembang dengan menambah rute layanan. “Secara skala ekonomi, keharusan untuk menambah rute seperti Yogyakarta atau Surabaya, tapi semuanya harus tergantung kepada pemerintah,” tambahnya.
Pemerintah sudah memiliki masterplan kereta cepat Jakarta-Surabaya dalam Sistem Transportasi Nasional. Namun, saat ini rencana tersebut sedang direview oleh Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan. Perubahan diperlukan agar sesuai dengan kondisi terkini.
Saat ini, proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya masih dalam tahap preliminary study. Artinya, belum ada kepastian mengenai trase, kemungkinan pembangunan, kemampuan pembiayaan, dan lain-lain. Meskipun demikian, pemerintah menunjukkan niat untuk mendorong proyek ini.
Untuk studi awal, proyek ini dikerjakan oleh konsultan asal Tiongkok, yaitu China Railway Design Corporation (CRDC), serta beberapa konsultan lokal dari Indonesia. Tujuannya adalah agar masukan yang diberikan lebih seimbang dan akurat.
Proyek Whoosh, yang pertama kali beroperasi pada 2 Oktober 2023, telah melayani lebih dari 10 juta penumpang hingga Juni 2025. Investasi yang dikeluarkan mencapai US$7,2 miliar atau setara Rp110,16 triliun. Angka ini mengalami pembengkakan sebesar US$1,2 miliar dari target awal sebesar US$6 miliar.
Dari total pembengkakan biaya, 60 persen akan dibayar oleh konsorsium Indonesia, sedangkan 40 persen oleh konsorsium Tiongkok. Selain itu, Indonesia juga mendapatkan pinjaman dari China Development Bank (CBD) sebesar 75 persen atau sekitar Rp70,5 triliun.
Dengan adanya pembengkakan biaya, CBD kembali memberikan pinjaman sebesar 550 juta dolar AS atau sekitar Rp8,5 triliun dengan bunga 3,4 persen dan tenor 30 tahun. Total utang Indonesia dalam proyek ini mencapai Rp79 triliun.
Berdasarkan asumsi bunga 3,4 persen dan tenor 30 tahun, setiap bulannya, Indonesia harus membayar utang pokok sebesar Rp219,44 miliar dan bunga sebesar Rp7,46 miliar. Dengan hitungan kasar, total pembayaran untuk melunasi utang mencapai Rp226,9 miliar per bulan.