Mencari Koneksi di Era Digital
Di era di mana satu kali swipe bisa membuka jalan ke percakapan baru atau bahkan perasaan yang tak terduga, kita semua sebenarnya sedang belajar kembali: bagaimana mencintai dan dicintai. Dunia digital dengan segala kemudahannya seperti sekarang justru membuat urusan hati terasa lebih kompleks. Inilah yang menjadi inti dari diskusi di Conversation Corner edisi keempat yang diselenggarakan oleh The Conversation Indonesia.
Diskusi kali ini mengusung tema “Cari pacar atau cari yang lain?” dan mengajak generasi Zilenial untuk mengeksplorasi lebih dalam tentang relasi yang terbentuk melalui aplikasi kencan. Apakah ini tentang cinta sejati, validasi diri, atau sekadar hiburan? Pertanyaan-pertanyaan ini dibedah bersama dua narasumber ahli di bidangnya, yaitu Andhika Ajie Baskoro, peneliti dari Kelompok Riset Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi BRIN, dan Dian Wisnuwardhani, M.Psi., Psikolog, seorang relationship coach yang akrab dengan dinamika percintaan digital masa kini.
Apa yang Dicari Anak Muda dari Sebuah Swipe?
Diskusi yang dipandu oleh Anti Dwita, Stakeholder Engagement Officer TCID, berlangsung selama hampir dua jam. Tidak hanya reflektif, tetapi juga memberikan ruang aman bagi peserta untuk bertanya dan berbagi pengalaman. Acara ini mengajak peserta untuk lebih jujur pada diri sendiri tentang apa yang sebenarnya mereka cari dari sebuah hubungan. Bukan soal benar atau salah, tapi lebih pada mengenal batas, kebutuhan emosional, dan cara kita terkoneksi dengan orang lain di tengah realita digital yang serba cepat.
Diskusi dibuka oleh Andhika Ajie Baskoro dengan paparan riset BRIN terbaru tentang perilaku pengguna dating apps di Indonesia. Temuan menarik: kelompok usia 18–24 tahun merupakan pengguna aktif aplikasi kencan, dengan motivasi yang sangat beragam. Ada yang memang mencari pasangan serius, ada yang sekadar ingin melatih kemampuan flirting, dan sebagian juga menggunakannya untuk mencari pasangan seksual.
Namun, seiring berkembangnya fitur aplikasi, tujuan penggunaannya pun makin luas. Beberapa orang memanfaatkannya untuk mencari teman berbagi hobi, membangun jaringan, bahkan membuat komunitas. “Nggak semua orang masuk dating apps buat cari pasangan. Banyak juga yang cuma butuh ruang untuk merasa terhubung,” ujar Andhika.
Pernyataan ini seolah merangkum pesan utama dari diskusi hari itu, bahwa relasi digital tidak sesederhana urusan cinta. Ada pencarian akan koneksi, validasi, dan rasa dimengerti. Acara ini menjadi pengingat bahwa di balik layar ponsel dan algoritma, ada manusia dengan kebutuhan emosional yang nyata. Mungkin yang kita cari bukan cuma pacar, tapi juga rasa terhubung yang benar-benar terasa.
Kemudahan Mendapatkan Pasangan Membuat Gen Zilenial Takut Berkomitmen?
Salah satu topik yang paling memantik diskusi malam itu muncul ketika obrolan mulai menyentuh soal komitmen. Generasi Z sering dianggap “takut settle.” Tapi, benarkah mereka memang takut, atau ada alasan yang lebih dalam di balik itu?
Dian Wisnuwardhani, M.Psi., Psikolog, menjelaskan bahwa secara psikologis, anak muda di usia 20-an sedang berada di fase emerging adulthood, masa peralihan menuju kedewasaan di mana orang mulai mencari relasi yang lebih stabil dan penuh komitmen. Namun, kehadiran dating apps yang menawarkan banyak pilihan justru mengubah pola hubungan. Alih-alih membangun satu relasi yang intens dan berkomitmen, banyak anak muda jadi terbiasa menjalin beberapa relasi sekaligus tanpa ikatan yang jelas.
“Sekarang tuh kayaknya bukan nggak mau berkomitmen, tapi terbiasa nggak perlu berkomitmen untuk mendapatkan keintiman,” ujar Dian.
Pernyataan Dian diperkuat oleh Andhika. Ketakutan terhadap komitmen sebenarnya adalah respons wajar terhadap situasi sosial yang penuh tekanan dan ketidakpastian. Ketidakstabilan ekonomi, relasi yang tidak setara, hingga budaya digital yang sarat narasi soal perselingkuhan dan kekerasan dalam hubungan, semuanya berkontribusi terhadap rasa ragu untuk membangun hubungan jangka panjang.
Banyak yang Pakai, Tapi Belum Banyak yang Tahu Cara yang Benar
Seiring meningkatnya popularitas dating apps di kalangan anak muda, semakin beragam pula intensi penggunaannya, baik yang positif maupun negatif. Kita tidak pernah tahu niat orang lain, sehingga dating apps kerap dianalogikan sebagai hutan belantara. Penuh kemungkinan, tapi juga tak jarang bikin tersesat.
Karena itu, penting bagi pengguna untuk memiliki rambu-rambu keamanan, seperti melakukan background check saat berkenalan dengan orang baru, menghindari berbagi informasi pribadi terlalu cepat, dan memberi tahu kerabat ketika ingin bertemu seseorang dari dating apps.
“Kamu bisa ketemu jodoh di mana saja. Tapi, karena dating apps penuh anonimitas, kamu perlu lebih waspada. Dan, jangan lupa libatkan teman atau keluarga yang kamu percaya saat bertemu orang baru,” saran Andhika.
Sementara menurut Dian, hal terpenting sebelum memutuskan menggunakan dating apps adalah mengetahui apa yang sebenarnya kita cari. Jangan pakai dating apps hanya karena kesepian atau ingin membuktikan sesuatu. Kalau belum tahu apa yang dibutuhkan diri sendiri, bagaimana bisa yakin saat memilih orang lain?
“Kalau kamu punya tujuan yang baik, kamu akan dapat yang baik juga, kok. Tapi, kalau kamu cuma main-main, ya, kamu juga akan dipertemukan dengan orang yang juga main-main,” ujarnya.
Pastikan Dirimu Sudah Utuh Sebelum Mencari Cinta Lebih Lanjut
Memulai hubungan di dunia digital memang terasa mudah, cukup swipe, match, lalu memulai obrolan. Tapi, seperti yang diingatkan oleh Andhika dan Dian, pasangan bukanlah penyelamat dari rasa sepi, melainkan teman yang hadir saat kita sudah cukup dan bahagia dengan diri sendiri. Maka, sebelum mencari cinta, penting untuk tahu apa yang kita butuhkan, dan apakah kita sudah siap menjalin relasi yang sehat.
Dari diskusi Conversation Corner malam itu, satu hal jadi pengingat bersama: jangan terburu-buru mencari orang yang tepat sebelum kamu benar-benar siap menjadi versi terbaik dari dirimu sendiri.