,
Jakarta
–
Komite Anti Dumping Indonesia (
KADI
) menyatakan telah menyampaikan kepada pengusaha, asosiasi, hingga organisasi ihwal maklumat Menteri Perdagangan
Budi Santoso
yang enggan menerapkan
Bea Masuk Anti Dumping (BMAD)
atas impor benang filamen sintetis tertentu asal Cina. “KADI juga menyampaikan pemberitahuan tersebut kepada Secretariat Committee on Anti Dumping Practices di WTO (World Trade Organization),” kata Ketua KADI Frida Adiati saat dihubungi, Jumat, 20 Juni 2025.
Frida mengatakan KADI telah menyusun dan mengirimkan surat setelah menerima respons dari Budi Santoso soal penolakan terhadap rekomendasi mereka untuk menerapkan BMAD. frida menyatakan telah menerima surat balasan dari Budi Santoso pada 16 Juni lalu. “Langsung kita buat suratnya dan langsung didistribusikan, sebagian mungkin ada yang dapat Selasa 17 Juni.”
Saat menyusun rekomendasi, KADI melakukan penyelidikan terhadap Cina selaku negara yang diduga melakukan praktik dumping di Indonesia. “Untuk menghitung dumping, KADI melakukan penyelidikan,” kata dia.
Selain mengirimkan surat kepada WTO melalui Ditjen Perundingan Perdagangan Internasional, KADI juga bersurat kepada setidaknya tujuh pihak yang disebut memiliki kepentingan. Tujuh pihak itu adalah industri dalam negeri selaku pemohon dan pendukung rekomendasi; Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI); Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API); eksportir atau produsen dari Cina; importir; kedutaan Cina, dan Kedutaan Besar Indonesia Indonesia di Cina.
Sementara itu, menanggapi keputusan Budi Santoso, APSyFI membeberkan risiko atas ancaman praktik dumping. “Sejumlah perusahaan terancam batal melakukan investasi untuk menyokong kebutuhan benang filamen polyester,” kata Sekretaris Jenderal APSyFI, Farhan Aqil Syauqi, melalui keterangan tertulis, Jumat, 20 Juni 2025.
Menurut catatan APSyFI, hingga saat ini setidaknya dua pabrik produsen benang polyester yang tutup yakni PT Sulindafin dan PT Polychem Indonesia.
Sementara itu, ada juga dua perusahaan lainnya yang sudah memberhentikan sebagai aktivitas produksinya. “Produsen-produsen ini terpaksa berhenti karena tidak bisa bersaing dengan barang-barang impor dari Cina,” kata Farhan.
Menurut Farhan, pemerintah hanya peduli dari sisi industri hilir. Menurut dia pemerintah tidak acuh terhadap adanya investasi pembangunan kilang-kilang petrokimia yang memproduksi bahan baku benang polyester seperti paraxylene dan asam tereftalat.
Adapun alasan Menteri Perdagangan tidak menindaklanjuti rekomendasi pengenaan bea masuk itu karena atas pertimbangan pasokan produk benang filamen sintetis yang belum mampu memenuhi kebutuhan industri dalam negeri.
Menanggapi alasan tersebut, Farhan meminta pemerintah membuka data kenaikan volume impor yang diajukan KADI dari Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut data BPS, terjadi peningkatan volume impor hingga 200 persen dalam kurun waktu enam tahun terakhir.
Selain itu, menurut Farhan, rekomendasi KADI juga membuktikan adanya praktik dumping yang dilakukan lebih dari 38 perusahaan Cina. Puluhan korporasi itu memiliki margin dumping yang bervariatif, ungkap Farhan, yakni dalam rentang 42 hingga 45 persen.
Kalaupun hendak membuka keran impor, Farhan meminta agar pemerintah juga membuka data kuota impor benang filamen polyester. “Kami siap melakukan stop produksi jika impornya melebihi kapasitas dalam negeri,” kata Farhan.
KADI sebelumnya menyelidiki dugaan praktik dumping benang filamen impor Cina per 12 September 2023. Penyelidikan ini dilakukan menindaklanjuti permohonan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) yang mewakili PT Asia Pacific Fibers Tbk. dan PT Indorama Synthetics Tbk.
Adapun produk yang diselidiki mencakup benang filamen sintetis tertentu dengan klasifikasi HS 5402.33.10; 5402.33.90; 5402.46.10; dan 5402.46.90 dalam Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) 2022. Produk ini terdiri atas dua jenis yakni partially oriented yarn (POY) dan drawn textured yarn (DTY).
Ketua APSyFI Redma Gita Wirawasta pada pekan lalu menyatakan BMAD perlu diterapkan terhadap bahan baku tekstil dari Cina agar memperkuat daya saing industri tekstil nasional. Sebab, banjir impor produk itu telah menggerus daya saing dan kapasitas produksi industri tekstil nasional dari hulu hingga hilir.
Dari hitungan asosiasi, BMAD sebesar 20 persen cukup ideal untuk memulihkan industri hulu tanpa membebani sektor hilir secara berlebihan. Angka tersebut lebih rendah dari batas atas dari yang sebelumnya menjadi rekomendasi awal KADI sebesar 42,3 persen.
Redma memaparkan praktik dumping benang filamen yang terjadi saat ini telah memicu efek domino pada industri tekstil, menurunkan permintaan benang pintal akibat pasar domestik terserap produk impor yang merugikan produsen dalam negeri. “Benang filamen impor ini menyerap pasar benang pintal dalam negeri. Akibatnya, industri pemintalan ikut terpukul, dan karena mereka tidak menyerap bahan baku, industri polimer juga ikut kena dampaknya,” tutur Redma dalam keterangan tertulis pada Jumat, 13 Juni 2025.
Ia lantas mencontohkan sejumlah perusahaan besar seperti Polichem, Polifyn, dan APF menutup lini produksi polimer akibat permintaan anjlok, menyisakan empat produsen aktif yang kini beroperasi dalam kondisi sangat terbatas.
Hal senada disampaikan oleh Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal. Ia menilai penetapan tarif BMAD minimal 20 persen merupakan langkah logis dan relevan menghadapi kerusakan struktural industri akibat praktik dumping. “Angka 20 persen itu secara kasar masih masuk akal, dan itu pun batas minimal. Bahkan bisa saja lebih tinggi, tergantung pada tingkat injury yang dialami industri kita,” kata Faisal.
Menurut dia, kebijakan antidumping penting untuk menjaga industri nasional tetap hidup di tengah persaingan global yang semakin tidak sehat. “Kalau harga impor dari Cina bisa setengahnya harga lokal, maka dengan BMAD 20 persen pun, produk dalam negeri tetap akan terlihat lebih mahal. Ini yang perlu dihitung serius.”