Jakarta – Wakil Presiden ke-10 dan 12 RI, Jusuf Kalla (JK), menyampaikan kritik terhadap penerapan Kurikulum Merdeka secara nasional. Menurut JK, kebijakan ini dapat diterapkan di satu atau dua sekolah, namun tidak cocok untuk diberlakukan di seluruh Indonesia.
Hal ini disampaikan JK saat menghadiri peluncuran dan bedah buku berjudul Menegakkan Amanat Konstitusi Pendidikan, karya anggota DPR RI sekaligus Wakil Ketua Komisi X periode 2019-2024, Dede Yusuf M. Effendi. Dalam acara tersebut, JK menyoroti penghapusan sistem peringkat (ranking) yang, menurutnya, berdampak pada hilangnya semangat berkompetisi di kalangan siswa.
“Terutama dengan dihilangkannya angka-angka peringkat. Dulu cucu saya begitu mendapat peringkat 2 atau 3 langsung lapor, ‘Pak, saya nomor 2, saya nomor 3’. Kalau dapat peringkat 25, dia hanya diam,” ujar JK disertai candaan saat menyampaikan sambutannya di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat.
Ia menegaskan bahwa dunia saat ini sangat kompetitif, dan sistem reward and punishment (penghargaan dan hukuman) masih relevan dalam dunia pendidikan. Menurutnya, jika hanya ada penghargaan tanpa hukuman, tidak akan tercipta disiplin yang diperlukan.
“Dunia ini adalah dunia persaingan, sehingga sejak awal kita perlu bersaing. Pendidikan itu tentang reward and punishment. Kalau hanya ada penghargaan, tidak akan ada disiplin. Semua naik kelas,” lanjutnya.
JK juga menekankan bahwa Kurikulum Merdeka tidak tepat jika diterapkan secara nasional. Ia menilai kurikulum ini hanya cocok untuk diterapkan di sekolah-sekolah tertentu. Sebagai contoh, JK mengungkapkan bahwa seorang teman yang memiliki sekolah swasta di Jakarta bertanya tentang kritiknya tersebut.
Menurut JK, Kurikulum Merdeka bisa berjalan di sekolah-sekolah dengan fasilitas yang memadai dan biaya yang tinggi, seperti sekolah yang mengenakan biaya masuk hingga Rp 100 juta dengan jumlah siswa yang sedikit dan guru yang memadai.
“Kalau muridnya hanya 20 orang dalam satu kelas dan ada dua guru, mungkin bisa merdeka. Tapi di daerah yang siswanya 40 orang dengan satu guru yang gajinya Rp 5 juta, bagaimana bisa merdeka?” ujarnya.
JK juga membandingkan dengan sistem pendidikan di Finlandia yang berhasil karena negara tersebut sudah tergolong maju dengan fasilitas yang disediakan negara untuk anak-anaknya.
“Di Finlandia, satu kelas hanya 16 siswa. Mereka bisa belajar kimia di laboratorium, fisika di lab, musik dengan band, olahraga di taman, karena pendapatan per kapitanya 70.000 dolar per tahun. Sedangkan kita hanya 4.500 dolar, bagaimana bisa merdeka?” tambahnya.
JK mengajak untuk memperbaiki sistem pendidikan yang lebih cocok dengan kondisi di Indonesia. Ia berharap adanya sistem yang lebih tepat untuk diterapkan bagi anak-anak di Indonesia. “Itulah kesalahan mendasar dalam sistem kita. Jadi, mari kita perbaiki sistem yang lebih sesuai untuk negara seperti kita,” pungkasnya.