Pedoman Tangerang
– Dalam lanskap pendidikan masa kini, kesejahteraan siswa di sekolah—atau yang kerap disebut
school well-being
—telah menjadi perhatian utama.
Isu ini tidak lagi dipahami secara sempit hanya melalui lensa prestasi akademik, melainkan sebagai sebuah konsep menyeluruh yang menyentuh aspek emosional, sosial, dan psikologis yang dialami siswa dalam kesehariannya di lingkungan sekolah.
Sejumlah penelitian telah mengupas berbagai komponen yang menyusun kesejahteraan sekolah.
Salah satu pendekatan yang paling berpengaruh datang dari Anne Konu dan Jorma Rimpelä, dua peneliti asal Finlandia yang merumuskan model holistik mengenai
school well-being
.
Melalui kerangka yang mereka kembangkan, kita dapat memahami dimensi apa saja yang berperan dan faktor mana yang memiliki dampak terbesar terhadap kesejahteraan siswa.
Kerangka Konseptual Konu & Rimpelä
Model yang diusung oleh Konu dan Rimpelä (2002) membagi kesejahteraan sekolah ke dalam empat dimensi utama:
-
Having
– kondisi fisik sekolah dan fasilitas pendukung -
Loving
– kualitas relasi sosial dengan guru, teman sebaya, serta dukungan keluarga -
Being
– ruang bagi siswa untuk mengembangkan potensi diri dan merasa bermakna -
Health Status
– kondisi kesehatan fisik dan mental siswa
Namun, meskipun keempat dimensi ini saling berkaitan dan sama-sama penting, temuan mereka menunjukkan bahwa satu faktor memiliki peran paling signifikan dalam membentuk kesejahteraan siswa: yaitu kemampuan mengelola stres dalam konteks kehidupan sekolah.
Stres di Sekolah: Titik Kritis dalam Kesejahteraan Siswa
Pengelolaan stres menjadi aspek yang sangat menentukan dalam menciptakan lingkungan belajar yang sehat dan produktif. Ketika tekanan akademik, konflik sosial, atau tuntutan internal tidak ditangani dengan tepat, siswa rentan mengalami gangguan psikologis, seperti kecemasan, depresi, hingga penurunan motivasi.
Sebaliknya, sekolah yang menyediakan sistem pendukung untuk membantu siswa mengelola stres—mulai dari layanan konseling, budaya sekolah yang inklusif, hingga pendekatan pembelajaran yang manusiawi—akan berkontribusi besar terhadap tumbuhnya rasa nyaman dan aman dalam diri siswa.
Penelitian lain juga mendukung temuan ini, menunjukkan bahwa hubungan yang positif antara siswa dan guru, keterlibatan orang tua, serta adanya ruang terbuka untuk berbagi perasaan, merupakan faktor pelindung yang memperkuat daya lenting siswa terhadap stres.
Dimensi Pendukung Kesejahteraan Sekolah
Meski manajemen stres menjadi pilar utama, dimensi lain dalam model Konu tetap memberikan kontribusi penting:
-
Fasilitas dan lingkungan fisik yang mendukung
(having): menciptakan suasana belajar yang kondusif. -
Relasi sosial yang sehat
(loving): memperkuat rasa memiliki dan saling percaya di antara warga sekolah. -
Aktualisasi diri
(being): memungkinkan siswa mengenali dan mengembangkan minat serta potensi unik mereka. -
Kesehatan menyeluruh
(health status): sebagai landasan untuk dapat menjalani aktivitas belajar dengan baik.
Namun, tanpa adanya sistem pengelolaan stres yang efektif, dimensi-dimensi pendukung ini tidak akan mampu bekerja secara optimal.
Penutup
Dari sudut pandang Konu, faktor yang paling menentukan dalam menciptakan
school well-being
adalah kemampuan sekolah—dan seluruh ekosistem di dalamnya—untuk membantu siswa mengelola stres.
Di tengah kompleksitas dunia pendidikan modern, pendekatan holistik yang memperhatikan kesehatan mental dan emosional siswa menjadi sangat krusial.
Mewujudkan kesejahteraan sekolah bukan hanya soal membangun ruang kelas yang nyaman, tetapi juga menciptakan suasana yang memampukan setiap siswa untuk merasa aman, didengar, dan dipahami dalam menghadapi berbagai tantangan yang muncul selama proses belajar.***