Jakarta Millennial Film Festival 2025: Menjadi Momentum untuk Perkembangan Industri Film Nasional
Jakarta Millennial Film Festival 2025 (JMFF 2025) menjadi salah satu acara penting dalam rangkaian perayaan HUT ke-498 Kota Jakarta dan menuju HUT ke-80 Republik Indonesia. Festival ini tidak hanya sekadar ajang hiburan, tetapi juga menjadi wadah bagi generasi muda untuk mengekspresikan diri sekaligus memperkuat peran negara dalam mendukung ekosistem perfilman nasional.
Peran Film sebagai Kekuatan Lunak Bangsa
Menurut Budi Mulyana, Ketua Dewan Pembina Jaya Center Foundation, film bukan hanya sekadar hiburan, tetapi juga kekuatan lunak (soft power) yang mampu menyuarakan aspirasi rakyat dan membentuk identitas nasional. Tema utama dari JMFF 2025 adalah “Negara Harus Hadir dalam Perfilman Nasional”, yang bertujuan untuk menegaskan pentingnya peran pemerintah dalam pengembangan industri film di Indonesia.
Salah satu gagasan utama dari festival ini adalah menjadikan Jakarta sebagai Kota Cinema, yaitu pusat pembangunan dan pengembangan perfilman nasional. Jakarta memiliki infrastruktur modern, keragaman budaya, serta sejarah panjang sebagai pusat kebudayaan nasional. Dengan begitu, Jakarta bisa menjadi tempat yang strategis untuk melahirkan karya-karya film berkualitas.
Sinergi dengan Pemerintah dan Institusi Terkait
Festival ini juga berupaya membangun sinergi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta serta kementerian terkait seperti Kemenparekraf dan Kemendikbudristek. Tujuannya adalah untuk memastikan dampak positif festival ini terhadap generasi muda dan industri film secara keseluruhan.
Ketua Panitia JMFF 2025, Munir Setiagus, menyampaikan bahwa festival ini didukung oleh berbagai institusi seperti Badan Perfilman Indonesia (BPI), Institut Kesenian Jakarta (IKJ), UTM, serta tokoh-tokoh perfilman nasional seperti Erros Djarot. Pendaftaran peserta dibuka mulai 15 Mei 2025 hingga 20 Juli 2025. Selama tiga bulan tersebut, peserta bisa mengirimkan maksimal tiga karya film. Sampai saat ini, jumlah peserta yang terdaftar mencapai lebih dari 120 orang.
Menurut Munir, sebagian besar peserta adalah siswa SMA dan SMP yang memanfaatkan waktu libur sekolah untuk mengikuti festival ini. Persentase peserta pelajar mencapai sekitar 60 persen.
Fungsi Ganda Film dan Tantangan yang Dihadapi
Gunawan Paggaru, Ketua Umum BPI, menekankan bahwa film memiliki fungsi ganda sebagai sarana kesejahteraan rohani dan fisik masyarakat. Ia menilai film sebagai alat perjuangan yang efektif dalam diplomasi budaya dan penggerak ekonomi kreatif. Namun, ia juga mengkritik sikap pemerintah yang dinilai belum sungguh-sungguh hadir dalam membenahi ekosistem perfilman.
Menurut Gunawan, pada tahun 2024, terdapat 82 juta penonton bioskop, tetapi hanya 11 rumah produksi yang berhasil meraih keuntungan signifikan. Hal ini menunjukkan ketimpangan yang harus segera diatasi dengan regulasi yang adil dan perlindungan terhadap pekerja film.
Ia juga menyebut bahwa hingga 2029, Indonesia membutuhkan sekitar 350 ribu tenaga kerja perfilman, namun saat ini hanya tersedia sekitar 30 ribu. Komunitas seperti penyelenggara JMFF 2025 dinilai sangat penting karena mereka mampu mengedukasi publik agar menjadi penonton yang kritis, sehingga meningkatkan kualitas film nasional.
Langkah Strategis untuk Jakarta sebagai Kota Film
Gunawan juga mendorong agar Jakarta membuat masterplan pengembangan sebagai kota film. Masterplan ini harus mencakup ekosistem pendidikan, industri, komunitas, dan regulasi yang saling mendukung.
Sementara itu, Mohammad Amin, Kepala Seksi Perlindungan Kebudayaan Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Pusat, menyatakan bahwa Pemprov DKI telah aktif dalam pemajuan kebudayaan. Salah satunya adalah dengan menggelar pelatihan teater bagi pelajar di berbagai wilayah Jakarta sebagai cikal bakal aktor-aktor film masa depan.
Amin menekankan bahwa dasar hukum pemajuan kebudayaan sudah jelas, dan pemerintah wajib hadir memberi ruang dan perlindungan bagi insan budaya. Ia menilai JMFF 2025 sebagai inisiatif penting yang harus diperkuat dan disinergikan dengan program pemda agar Jakarta benar-benar menjadi barometer perfilman nasional.
Penyelenggaraan festival film seperti ini dianggap strategis dalam menyambungkan aspirasi komunitas dengan arah kebijakan pemerintah.