,
Jakarta
– Masa pandemi Covid-19 menjadi salah satu waktu yang berharga bagi
anak muda
seperti Fikri. Mahasiswa 20 tahun ini belajar dengan komunitas ibu-ibu yang mengolah
sampah organik
untuk menghasilkan eco-enzym yang baik untuk tanaman. Eco enzym adalah cairan hasil fermentasi alami dari limbah organik dapur seperti sisa buah dan sayuran, dicampur dengan gula merah dan air. “Eco-enzym ini dari limbah kulit buah. Cairan ini baik digunakan untuk pupuk tanaman,” kata pemuda asal Semarang itu kepada Tempo pada Selasa 17 Juni 2025 di Jakarta.
Tidak hanya itu, Fikri pun membuat lilin dari bahan-bahan organik. Fikri berharap ia bisa menangani sampah organik di sekitarnya dengan inisiasi tersebut.
Sari (kiri) dan Fikri, peserta kampanye Green Leaders for Our Well-being (GLOW) Ambassador by Childfund/Tempo-Mitra Tarigan
Sari, 22 tahun, punya cara lain untuk menangani masalah lingkungan. Gadis dari Kabupaten Bogor itu sedih masih banyak masalah sampah yang ada di sekitar daerahnya. Salah satu dampak yang ia rasakan adalah terjadinya banjir saat hujan deras.
Ia pun melakukan gerakan bank sampah dari website yang dia kelola sendiri. Ia membeli sampah anorganik seperti plastik, kertas, dan botol untuk dari orang-orang di sekitarnya. Teman-teman kampusnya pun ikut dalam gerakan tersebut. “Saya juga menjadwal pengamilan sampah di lingkungan. Nantinya sampah dikelola menjadi tas, atau barang-barang yang akhirnya dijual kembali dengan nilai yang lebih tinggi,” kata Sari.
Fikri dan Sari adalah dua dari 107 remaja dan dewasa muda yang ikut dalam Kampanye Green Leaders for Our Well-being (GLOW) Ambassador by
Childfund
. Para pemuda-pemudi ini berusia 17-24 tahun dan berasal berasal dari 39 kota dan kabupaten di Indonesia. Selama 3 hari sejak 16 Juni 2025, mereka dikumpulkan dalam National Youth Capacity Enhancement di Jakarta untuk berdiskusi demi meningkatkan kapasitas mereka dalam mempromosikan aksi cegah dampak krisis iklim.
Senior Program Specialist dari ChildFund International di Indonesia Meinrad Indra Cahya/Childfund
Senior Program Specialist dari Childfund International di Indonesia Meinrad Indra Cahya mengatakan gerakan GLOW Ambassador bisa menjadi cara untuk mendidik anak muda menjadi agen perubahan dalam menghadapi krisis iklim saat ini. Memang informasi tentang iklim sudah cukup banyak yang dipamerkan di berbagai berita hingga informasi publik. Namun menurutnya, belum tentu anak muda paham dan akhirnya mau beraksi serta membuat gerakan setelah tahu soal isu penanganan krisis iklim. “Informasi di masyarakat soal perubahan iklim mungkin hanya sampai
awarness
saja. Kita perlu mendorong masyarakat hingga tahap aksi,” kata Meinrad yang berharap agar menambah pengetahuan kepada anak muda soal isu ini.
Menurut Meinrad, kegiatan ini harapannya bisa memupuk anak muda Indonesia untuk mengaplikasi progran keberlanjutan di kegiatan mereka sehari-hari. Salah satu tantangan yang dialami tim Childfund dalam mengajarkan isu keberlanjutan kepada peserta GLOW ambassador adalah dalam hal komitmen. Walaupun ratusan orang itu ikut kegiatan ini melalui seleksi ketat, namun konsistensi menjadi kunci penting. “Konsistensi menjadi hal yang paling penting untuk anak muda. Makanya kita punya champion-champion untuk memastikan bisa menyebarkan semangat perubahan untuk terus menjaga lingkungan,” kata Meinrad.
Meinrad menambahkan bahwa kegiatan ini pula menjadi jembatan bagi para pemuda di Indonesia untuk mengatasi kesenjangan mereka karena masalah ruang pembelajaran, pengembangan kapasitas, dan dukungan sistemik dalam memimpin aksi iklim secara bermakna. Dalam pembelajaran ini pun Childfund mencoba mendampingi anak-anak muda itu dalam penguatan kapasitas demi menelurkan lebih banyak solusi berkelanjutan di tingkat komunitas. “Kegiatan ini juga bertujuan untuk mendorong pengakuan yang lebih luas terhadap peran pemuda dalam perubahan sistemik, termasuk dalam ranah kebijakan,” katanya.
Senior program Spesialis dari Childfund International di Indonesia Ivan Tagor Manik menjadi salah satu pemateri bagi para pemuda itu. Ia mengajak para remaja ini membuat perencanaan sederhana yang bisa dilakukan di sekolah, pertemanan, atau komunitas mereka. Para pemuda mengatakan salah satu yang bisa dilakukan adalah membuat aksi di jejaring media sosial. “Ada yang bicara tentang sulitnya air di desa mereka, dan ada yang memikirkan solusi jauh ke depan. Yang menarik, berbagai argumen anak berlatar SMA hingga kuliah itu berdasarkan riset. Jadi tidak hanya omongan saja,” kata Ivan.
Meinrad berharap agar para anak muda ini bisa memberikan pesan yang lebih baik kepada sesamanya. Jadi, apa yang mereka sampaikan sebagai champion, bisa tersampaikan. Ivan menambahkan bahwa anak muda memiliki modalitas yang cukup besar untuk masa depan. “Secara energi maupun pemikiran mereka lebih kuat, kenapa tidak meletakan mereka sebagai pelaku di tengah-tengah situasi krisis iklim ini,” katanya.
Fikri mengingatkan kepada teman sejawatnya bahwa krisis lingkungan nyata adanya. Ia pun mengajak anak muda untuk meminimalisir dampak perubahan iklim dengan mulai dari sekarang. “Kalau tidak, krisis lingkungan ini kita sendiri yang akan merasakan dampak buruknya,” kata Fikri.
“Kita bisa jadi agen perubahan lingkungan. Ayo kita lebih peduli lagi,” kata Sari menambahkan.