PIKIRAN RAKYAT SULTENG
– Untuk mewujudkan perjanjian gencatan senjara yang lebih besar di Gaza, Hamas menyatakan niatnya akan melepaskan tawanan Israel-Amerika berinisial Edan Alexander.
Alexander dipercaya menjadi tawanan terakhir dengan kewarganegaraan AS di Gaza. Pengumuman tersebut dilakukan sebelum kedatangan Presiden Donald Trump ke wilayah Timur Tengah yang jadwalnya tepat pada hari Selasa (13/5/2025). Hamas mengungkapkan bahwa hal itu juga dimaksudkan untuk mendukung penerimaan bantuan kemanusiaan yang amat diperlukan di Gaza, tempat sudah berlangsung pemblokiran oleh Israel selama 70 hari belakangan.
Sebelum pernyataan resmi itu dibuat, seorang petinggi Hamas memberitahu BBC kalau pihaknya tengah berunding secara langsung dengan salah satu pegawai Administrasi Amerika Serikat yang ada di Qatar. Hal ini dilakukan oleh kelompok militer Palestina tersebut.
Pada saat yang sama, kantor Perdana Menteri Israel melaporkan bahwa mereka mendapatkan informasi dari AS tentang rencana Hamas untuk melepaskan Alexander.
Seorang pejabat senior Palestina yang memiliki informasi mendalam mengenai negosiasi ini mengatakan kepada BBC bahwa pengumuman Hamas tersebut dimaksudkan sebagai sebuah isyarat niat baik menjelang kedatangan Presiden Trump di kawasan tersebut.
Ia menambahkan bahwa pertemuan lanjutan antara Hamas dan para mediator dijadwalkan pada Senin pagi (12/5/2025) untuk menyelesaikan proses pembebasan Edan Alexander. Proses pembebasan ini diperkirakan akan membutuhkan penghentian sementara aktivitas militer Israel dan penangguhan operasi udara selama proses penyerahan sandera berlangsung.
Presiden Trump sendiri mengkonfirmasi pembebasan Alexander melalui sebuah unggahan di platform Truth Social. Ia menyebut berita ini sebagai “berita monumental” dan “sebuah langkah yang diambil dengan itikad baik”.
Edan Alexander, yang dilahirkan di Tel Aviv tetapi dibesarkan di New Jersey, merupakan seorang pria berumur 21 tahun yang bekerja dalam satuan infanteri elite dekat perbatasan Gaza. Dia direnggut kebebasannya oleh kelompok militant Hamas saat serangan terjadi pada tanggal 7 Oktober 2023. Di antara para tawanan yang diculik Hamas dengan jumlah keseluruhan 251 jiwa, ada 59 individu yang belum dipulangkan dari Gaza, serta diperkirakan sampai 24 orang masih bernapas. Kelima warga negara AS tersebut diduga menjadi bagian dari penghuni Gaza, dan Edan dikatakan sebagai satu-satunya yang kabarnya masih aktif di antara mereka yang tersisa.
Dalam pernyataannya, Hamas menyebutkan bahwa pembebasan Alexander adalah sebagian dari usaha besar mereka untuk mendapatkan gencatan senjata yang menyeluruh dan memungkinkan kelancaran pemasukan makanan, obat-obatan, serta barang-barang esensial lainnya ke Gaza. Kawasan itu sudah dilanda blokade lengkap oleh Israel selama tujuh puluh hari. Grup tersebut menekankan harapan mereka untuk meraih kesepakatan terakhir yang bisa membawa perdamaian dalam konflik lama ini.
Kantor Perdana Menteri Israel merilis sebuah pernyatan yang mengkonfirmasi adanya pemberitahuan dari Amerika Serikat tentang niat Hamas untuk melepaskan Alexander sebagai tanda kepada AS. Selain itu, mereka juga mengekspresikan harapan agar hal tersebut bisa membuka jalan bagi pembicaraan lebih lanjut seputar pelepasan para tawanan lainnya. Meskipun demikian, Israel teguh dalam pendiriannya bahwa setiap negosiasi harus dijalankan “meski masih ada serangan”, dengan penekanan kuat pada komitmennya untuk mencapai segala sasaran perang.
Kelompok kampanye Forum Keluarga Tersandera dan Keluarga Orang Yang Menghilang dengan senang hati menyambut pembebasan Alexander dan berpendapat bahwa tindakan ini harus menjadi “titik awal bagi kesepakatan luas yang pada akhirnya akan memastikan kebebasan semua sandera lainnya.” Selain itu, mereka juga menjelaskan bahwa Presiden Trump sudah memberikan “semoga harapan kepada keluarga para sandera,” sambil mendorong Perdana Menteri Netanyahu agar saat ini dapat “menyatukan semua pihak kembali bersama-sama.”
Di masa lalu, Hamas telah menyatakan bahwa mereka hanya akan menyetujui kesepakatan yang mencakup berakhirnya perang secara permanen, sebuah persyaratan yang telah berulang kali ditolak oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Pembicaraan antara Hamas dan Amerika Serikat ini terjadi di tengah berbagai laporan yang mengindikasikan meningkatnya frustrasi di dalam pemerintahan Trump terhadap posisi Netanyahu. Perdana Menteri Israel juga menghadapi tekanan di dalam negeri, dengan banyak pihak menuduhnya memperpanjang perang untuk tujuan politiknya sendiri.
Presiden Donald Trump direncanakan akan sampai di Timur Tengah pada hari Selasa (13/5/2025). Jika tidak ada kesepakatan yang dicapai menjelang akhir kunjungannya, Israel berjanji akan meningkatkan serangan militer terhadap Hamas. Petinggi Israel menegaskan bahawa skenario penyerbuan luas ini mencakup penguasaan total wilayah Gaza tanpa adanya tenggang waktu, melakukan evakuasi paksa penduduk Palestina menuju bagian selatan daerah tersebut, serta mengendalikan pembagian bantuan humaniter sambil menggunakan dukungan sektor privat. Meski demikian, hal itu mendapat tentangan kuat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan sekutunya dalam bidang kemanusiaan, yang menyampaikan pesan bahwa mereka enggan bekerjasama lantaran merasa upaya semacam ini bisa jadi memberi senjata bagi proses pertolongan tersebut.
Israel sudah menghalangi segala bentuk pasokan makanan, obat-obatan, serta barang-barang kemanusiaan lainnya menuju Gaza dalam kurun waktu 70 hari. Menurut beberapa badan bantuan, langkah ini dinilai sebagai upaya untuk mendiamkan penduduk dan bisa jadi melanggar hukum internasional. Selain itu, pihak Israel pun melakukan serangan udara dan operasi militer tambahan di Gaza mulai pertengahan Maret, dengan dampak korban jiwa mencapai 2.720 orang dari sisi Palestina versi data Kementerian Kesehatan yang dikendalikan oleh Hamas. Berdasarkan laporan PBB, lebih dari 10 ribu buah kasus malnutrisi parah dialami oleh anak-anak di daerah tersebut semenjak awal tahun ini. Tak hanya itu saja, harga-harga produk-produk makanan di lokasi tersebut bahkan naik drastis sampai ke angka 1.400%.
Konflik yang saat ini berlanjut dimulai dengan serangan besar-besaran yang dilancarkan Hamas ke wilayah selatan Israel pada tanggal 7 Oktober 2023. Serangan itu mengakibatkan kurang lebih 1.200 jiwa tewas serta lebih dari 250 individu menjadi sandera. Sekitar 59 orang masih dipegang hostage di Gaza, dan diperkirakan ada sebanyak 24 orang yang mungkin masih bertahan hidup. Sebagai tanggapan atas insiden tersebut, operasi militer Israel di Gaza sudah merenggut nyawa setidaknya 52.829 warga, seperti dikatakan oleh departemen kesehatan yang dikuasai Hamas.