Peninjauan terhadap RUU KUHAP dan Isu Hak-Hak Fundamental yang Belum Terpenuhi
RUU KUHAP, yang merupakan rancangan kitab undang-undang hukum acara pidana, masih menjadi perhatian serius dari berbagai pihak terkait. Salah satu lembaga yang memberikan kritik adalah The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), yang menilai bahwa RUU ini belum sepenuhnya memperhatikan hak-hak dasar kelompok rentan seperti masyarakat adat.
Direktur Eksekutif ILRC, Siti Aminah Tardi, menyatakan bahwa RUU KUHAP seharusnya tidak hanya menjadi hukum formil untuk menegakkan KUHP nasional, tetapi juga harus mengakui dan melindungi hak masyarakat hukum adat sebagai pemangku hukum pidana adat. Menurutnya, masyarakat adat yang menjadi tersangka, terdakwa, atau korban dalam proses hukum harus diperlakukan secara khusus. Hal ini mencakup aspek bahasa, budaya, serta mekanisme penyelesaian konflik melalui hukum adat.
Ami menjelaskan bahwa proses hukum pidana adat sebaiknya tetap dijalankan melalui mekanisme adat. Sementara itu, pengadilan hanya bertugas mengesahkan hasil tersebut dalam bentuk penetapan. Dengan demikian, keberadaan hukum adat dapat tetap dihormati dan diakui dalam sistem hukum nasional.
Selain itu, Badan Pengurus ILRC, Renata Arianingtiyas, mengkritik ketentuan Pasal 108 RUU KUHAP yang hanya melarang penggeledahan saat ibadah atau upacara keagamaan, tetapi tidak mencakup upacara adat. Bagi penganut agama leluhur, ritual adat merupakan bagian dari keyakinan mereka. Oleh karena itu, frasa “upacara adat” harus ditambahkan agar perlakuannya setara dengan tujuh agama yang diakui.
Renata juga menyoroti ketidakhadiran kata “kepercayaan” dalam sejumlah pasal yang berkaitan dengan identitas dan sumpah hukum. Ia menilai hal ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan UU Administrasi Kependudukan yang telah mengakui hak penganut kepercayaan untuk dicantumkan dalam identitas resmi. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya menambahkan klausul “kepercayaan” agar perlakuan negara tidak diskriminatif.
Lebih lanjut, Renatta menilai bahwa RUU KUHAP belum menyinkronkan perlindungan hak keluarga korban sebagaimana ditegaskan dalam Deklarasi Hak Korban Tindak Pidana. Saat ini, hanya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang secara eksplisit menjamin hak keluarga korban, sedangkan untuk tindak pidana lainnya belum diadopsi.
Menurut Renatta, RUU KUHAP masih terlalu dini untuk disahkan. Oleh karena itu, sangat penting untuk mendesak DPR, khususnya Komisi III, membuka ruang diskusi publik yang bermakna. RUU ini dinilai belum menjamin perlindungan menyeluruh bagi seluruh warga, tanpa kecuali. Jaminan hak yang setara bagi semua masyarakat menjadi prioritas utama.
Sebagai informasi, ILRC bersama koalisi RKUHP telah sejak tahun 2010 mengkaji dan mendorong reformasi hukum acara pidana di Indonesia. Berdasarkan daftar inventarisasi masalah (DIM) per 11 Juli 2025, ILRC menilai bahwa sejumlah isu penting belum diakomodasi dalam RUU KUHAP, terutama terkait tiga hal utama: hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan, hak masyarakat hukum adat, dan hak keluarga korban. Dengan demikian, perlu dilakukan revisi dan penyempurnaan agar RUU KUHAP benar-benar mampu melindungi hak-hak dasar seluruh warga negara.