IAW Mendorong BPK Lakukan Audit Khusus Penggabungan Mahram Haji di Jabar: Mengungkap Isu Penting

IAW Mendorong BPK Lakukan Audit Khusus Penggabungan Mahram Haji di Jabar: Mengungkap Isu Penting



, JAKARTA – Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, mengkritik kebijakan penggabungan pasangan suami istri saat haji pada tahun 2025 karena hal ini hanya memperlihatkan sisi negatif dari birokrasi layanan ibadah di Indonesia.

“Dari total 68 jemaah berasal dari Kabupaten Cirebon dan Indramayu yang terkena iming-iming pemberian ASN dari Kementerian Agama, meskipun mereka telah mengikuti semua prosedurnya berdasarkan petunjuk, tetapi pada akhirnya urusan mereka diabaikan oleh sistem tersebut,” ungkap Iskandar Sitorus dalam pernyataannya, Kamis (1/5).

Menurutnya, kasus di Cirebon dan Indramayu bukanlah kejadian terisolasi.

” Ini menggambarkan pola dari sebuah sistem yang lebih besar, yang juga berlaku di daerah lain di Jawa Barat, serta di seluruh Indonesia secara keseluruhan, ” katanya.

Di Kabupaten Cirebon, 30 orang jemaah dari sebuah KBIH telah menyelesaikan seluruh prosesnya.

Mereka mempersiapkan seluruh dokumen dan menjalani pemeriksaan medis.
check-up,
Dan muncul untuk sesi foto. Proses tersebut dilalui dengan penuh harapan besar.

Akan tetapi, pada akhirnya cuma ada satu nama yang terdaftar dalam Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat).

Takdir dari 29 orang anggota yang tersisa juga kabur. Informasi mengenai mereka lenyap tanpa adanya klarifikasi.

Sumber di lapangan mengatakan bahwa ada tekanan dari sekelompok anggota Forum KBIH yang enggan melihat perkembangan KBIH baru. Pegawai Negeri Sipil dari Kementerian Agama, bukannya mendukung jemaah, malahan lebih memilih untuk bungkam dan menuruti tekanan tersebut,” paparan Iskandar.

Dia juga mengatakan bahwa di Kabupaten Indramayu, 38 jemaah terkena musibah yang sama.

Semua langkah telah mereka lakukan mengikuti petunjuk, tetapi pada akhirnya gagal tanpa alasan yang masuk akal.

“Bukan hanya dua insiden ini membentuk sebuah pola. Jawa Barat cuma sebagian kecil dari lukanya negeri yang dinamakan sistem pengaturan ibadah haji yang semakin menjauhi hati nurani,” ungkapnya dengan tegas.

Iskandar meratapi fakta bahwa jemaah yang taat terhadap prosedur malah dianggap sebagaimana angka yang dapat dilepaskan.

“Kedua-duanya hanyalah warga negara biasa yang telah lama menantikan kesempatan untuk pergi haji bersama dengan pasangannya,” jelas Iskandar kembali.

Menurut dia, secara manusiawi, perlakuannya sangat tak layak.

Menurut Iskandar, dari segi apapun, tak terdapat argumen etis ataupun birokratis yang bisa melegitimasi 68 jamaah tersebut mesti merasakan dampak dari kecerobohan pegawai negeri sipil.

“Mereka pantas dianggap sebagai korban. Seperti halnya para korban, mereka membutuhkan penyembuhan, bukannya dilupakan,” tegasnya sekali lagi.

Sebabnya, menurut dia, IAW sebagai badan pengawas yang mandiri mengajukan beberapa permintaan publik ke pemerintahan dan Kementerian Agama.

Mereka mengharapkan adanya_audit investigasi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengecek semua langkah-langkah penggabungan mahram dalam area Jawa Barat, khususnya daerah Cirebon dan Indramayu.

IAW juga mendorong pembentukan tim pemeriksaan mandiri untuk mengulas data serta daftar jemaah yang berisiko dikecualikan tanpa alasan hukum.

Selanjutnya adalah memberikan kompensasi administratif serta kuota khusus untuk para jemaah yang menjadi korban sehingga mereka masih dapat berangkat dengan cara yang adil.

“IWA juga menuntut tindakan hukum serta etika terhadap pegawai negeri sipil yang sengaja mengabaikan prinsip layanan masyarakat,” demikian pernyataannya.

IAW juga menuntut peningkatan pada sistem Siskohat serta aturan tentang penyatuan mahram untuk mencegah terjadinya lebih banyak korban dalam situasi tersebut.

“Melalui kasus Cirebon dan Indramayu tersebut, Menteri Agama perlu menyadari bahwa tantangan yang dihadapi bukan hanya sebatas tumpukan dokumen, melainkan nasib dari puluhan ribu orang yang mengandalkan pemerintah,” katanya.

Dia pun menegaskan bahwa kuota haji tidak boleh menjadi hak bagiorang berpengaruh atau digunakan sebagai senjata negosiasi untuk kepentingan lokal.

“Kuota haji merupakan hak bagi mereka yang patuh dan jujur. Sementara mereka memiliki hak tersebut, sebagaimana warga negara dan anggota masyarakat sipil, ada tanggung jawab untuk memelihara, mendukung, dan menyempurnakan sistemnya,” tegasnya.

(mar1/jpnn)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com