, AIMAS– Cabang Aimas, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya mengajak masyarakat adat di Tanah Papua untuk bersatu menjaga hutan.
Pernyataan ini muncul pada momen Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia yang dirayakan setiap 9 Agustus, tepatnya hari ini, Sabtu (9/8/2025).
Tolong support kita ya,
Cukup klik ini aja: https://indonesiacrowd.com/support-bonus/
Ketua Mandataris Santa Monika Silvester Mate menyampaikan bahwa hutan yang lebat dan suci merupakan kehidupan serta warisan dari nenek moyang.
“Kita melihat saat ini kondisi hutan Papua Barat semakin terancam. Suara gergaji dan bunyi truk pengangkut kayu yang terdengar, bukan lagi suara cenderawasih atau lagu-lagu adat,” katanya kepada.
Silvester mengungkapkan penyesalan atas dibiarkannya maraknya kegiatan penebangan yang diduga ilegal oleh kelompok perusahaan kayu.
Pihak pemerintah daerah dan lembaga terkait di seluruh wilayah Papua Barat Daya seharusnya mengambil langkah tegas.
Support us — there's a special gift for you.
Click here: https://indonesiacrowd.com/support-bonus/
“Mengapa ini terus terjadi, karena di baliknya ada kekuatan besar (dibekingi),” kata Silvester.
Ia menuturkan, kerusakan hutan adat menyebabkan tanah menjadi gersang, sehingga sungai menjadi keruh.
Menurut Silvester, perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia seharusnya menjadi kesempatan bagi seluruh komunitas adat untuk bangkit dan menjaga tanah leluhur mereka.
Hutan bukan hanya sekumpulan pohon, tetapi merupakan pusat kehidupan yang mendukung budaya dan masa depan generasi.
Jangan biarkan tangan-tangan yang rakus mengambilnya karena ini menjadi tanggung jawab bersama.
“Ayo jaga dan pelihara hutan. Hutan merupakan kehidupan, napas, dan masa depan anak cucu kita,” ujar Silvester.
Sejarah Hari Internasional Komunitas Adat Global
Dikutip Kompas.com melansir dari laman Unesco, sejarah Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia dimulai dari pertemuan pertama United Nations Working Group on Indigenous Populations (WGIP) yang diadakan pada 9 Agustus 1982 di Jenewa, Swiss.
WGIP didirikan oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB sebagai wadah resmi pertama yang memberi kesempatan kepada perwakilan masyarakat adat untuk menyampaikan pandangan mereka secara langsung di tingkat internasional.
Di forum ini, mereka membicarakan isu-isu pokok seperti hak atas lahan, pelestarian adat, identitas, serta kemerdekaan menentukan nasib sendiri (self determination).
Sesi pertemuan tersebut menjadi titik penting dalam sejarah karena kali pertama, masyarakat adat memilikiplatform resmi untuk memperjuangkan kepentingan mereka di hadapan lembaga PBB dan pemerintah negara anggota.
Lebih dari sepuluh tahun setelah pertemuan di Jenewa, isu masyarakat adat semakin mendapat perhatian internasional.
Pada tahun 1992, Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan tahun 1993 sebagai Tahun Internasional Masyarakat Adat Dunia (International Year of the World’s Indigenous Peoples), sebagai bentuk awal pengakuan dan dukungan global.
Dengan resolusi 49/214 yang ditetapkan pada 23 Desember 1994, Majelis Umum PBB menetapkan Hari Internasional Komunitas Adat Dunia yang diperingati setiap tanggal 9 Agustus.
Penentuan tanggal ini bertujuan untuk merayakan peristiwa bersejarah pertemuan pertama WGIP sekaligus menjadi pengingat tahunan mengenai pentingnya perlindungan dan penguatan hak masyarakat adat di seluruh dunia.
Berikut adalah beberapa variasi dari kalimat tersebut: 1. Selanjutnya, PBB menetapkan periode khusus selama dua puluh tahun untuk masyarakat adat, yaitu Dekade Pertama yang berlangsung pada tahun 1995 hingga 2004. 2. Setelah itu, PBB menetapkan masa khusus bagi masyarakat adat selama dua dekade, yang dikenal sebagai Dekade Pertama antara tahun 1995 sampai 2004. 3. PBB kemudian menetapkan dua puluh tahun khusus untuk masyarakat adat, yaitu Dekade Pertama yang berlangsung dari 1995 hingga 2004. 4. Berikutnya, PBB menentukan periode khusus selama dua dekade untuk masyarakat adat, yakni Dekade Pertama yang berlangsung antara tahun 1995 dan 2004. 5. Selanjutnya, PBB mengumumkan dua puluh tahun khusus untuk masyarakat adat, yaitu Dekade Pertama yang berlangsung dari 1995 hingga 2004.
Berikut adalah beberapa variasi parafraze dari kalimat tersebut: 1. Selanjutnya, Dekade Kedua (2005–2015) yang mengusung tema “Dekade untuk Aksi dan Martabat” (A Decade for Action and Dignity). 2. Pada periode Dekade Kedua (2005–2015), tema yang diangkat adalah “Dekade untuk Aksi dan Martabat” (A Decade for Action and Dignity). 3. Tahun 2005 hingga 2015 menjadi masa Dekade Kedua dengan tema “Dekade untuk Aksi dan Martabat” (A Decade for Action and Dignity). 4. Dekade Kedua (2005–2015) memiliki tema utama yaitu “Dekade untuk Aksi dan Martabat” (A Decade for Action and Dignity). 5. Diikuti oleh Dekade Kedua (2005–2015) yang bertema “Dekade untuk Aksi dan Martabat” (A Decade for Action and Dignity).
Topik dan kegiatan perayaan Hari Masyarakat Adat Internasional sering kali menitikberatkan pada isu-isu seperti hak atas tanah tradisional, pelestarian bahasa dan adat, kesehatan, pendidikan, serta kontribusi masyarakat adat dalam mengurangi dampak perubahan iklim.
Capaian penting sejak penetapan
Sejak diresmikan, Hari Internasional Masyarakat Adat Global telah memicu munculnya berbagai pencapaian dunia.
Misalnya, Pengesahan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Penduduk Asli (UNDRIP) pada tahun 2007, yang menjadi dasar hukum internasional dalam menjaga hak-hak masyarakat adat.
Penerapan prinsip Persetujuan Bebas, Awal, dan Dengan Pengetahuan (FPIC) dalam proyek pembangunan yang melibatkan kawasan adat.
Selain itu, semakin meningkatnya partisipasi pemimpin adat dalam forum internasional seperti UN Permanent Forum on Indigenous Issues.
Tema Hari Masyarakat Adat Sedunia 2025 adalah Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia 2025 yang mengangkat topik “Orang-orang Asli dan Kecerdasan Buatan: Melindungi Hak, Membentuk Masa Depan” atau dalam bahasa Indonesia disebut “Masyarakat Adat dan AI: Mempertahankan Hak, Membentuk Masa Depan”.
“Topik tahun ini menitikberatkan pada risiko dan keuntungan kecerdasan buatan bagi masyarakat adat,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dalam pidatinya, Sabtu (9/8/2025).
AI dapat berkontribusi dalam menjaga bahasa dan sejarah lisan yang terancam hilang, menggambarkan wilayah leluhur, serta memperkuat pengetahuan lokal masyarakat adat dalam menghadapi perubahan iklim.
Tanpa partisipasi yang signifikan dari Masyarakat Adat, teknologi yang sama berpotensi mempertahankan pola pengucilan lama, memberikan gambaran yang salah terhadap budaya, serta melanggar hak-hak dasar.
“Kita perlu memastikan pengembangan dan pengaturan AI dilakukan dengan pendekatan yang inklusif, etis, dan adil,” katanya.
Hal tersebut meliputi upaya menghilangkan hambatan akses teknologi bagi komunitas adat, menjaga otonomi data serta hak kekayaan intelektual mereka, dan memastikan partisipasi yang signifikan dalam setiap penerapan AI./aldy tamnge)