JAKARTA – PT Sarimelati Kencana Tbk (PZZA), pemegang lisensi Pizza Hut di Indonesia, melaporkan pengurangan jumlah gerai serta pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ratusan karyawan hingga September 2024. Informasi ini terungkap dalam laporan keuangan kuartal III 2024 yang belum diaudit.
Pada akhir September 2024, jumlah gerai Pizza Hut di Indonesia tercatat sebanyak 595 unit, mengalami penurunan dari 615 gerai pada periode yang sama tahun sebelumnya. Dengan demikian, dalam satu tahun terakhir, terdapat penutupan sebanyak 20 gerai.
“Laporan menunjukkan, hingga 30 September 2024 dan 31 Desember 2023, perusahaan masing-masing mengoperasikan 595 dan 615 gerai Pizza Hut yang tersebar di Jakarta dan berbagai kota lain di Indonesia,” demikian tertulis dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (18/11).
Sejalan dengan penutupan gerai, jumlah karyawan tetap juga mengalami pengurangan signifikan. Hingga akhir September 2024, perusahaan hanya mempekerjakan 4.651 karyawan, berkurang sebanyak 371 orang dibandingkan akhir 2023 yang tercatat sebanyak 5.022 karyawan.
Penurunan Penjualan dan Kerugian Membengkak
Selain penurunan jumlah gerai dan karyawan, perusahaan juga mencatat penurunan penjualan. Hingga kuartal III 2024, pendapatan Pizza Hut sebesar Rp2,03 triliun, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp2,75 triliun.
Kerugian bersih perusahaan pun meningkat tajam. Per September 2024, kerugian tercatat sebesar Rp96,7 miliar, melonjak dari Rp38,9 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
Faktor Penyebab
Direktur Operasional PT Sarimelati Kencana, Boy Ardhitya Lukito, mengungkapkan bahwa penurunan daya beli masyarakat serta tekanan ekonomi akibat situasi geopolitik global, termasuk konflik di Timur Tengah, menjadi tantangan utama bagi perusahaan.
“Penurunan ekonomi menengah yang turun kelas turut berdampak pada industri kami, termasuk Pizza Hut. Situasi geopolitik juga memengaruhi respons masyarakat terhadap konsumsi di restoran, meskipun sulit untuk memisahkan dampak mana yang lebih dominan,” ujar Boy dalam keterangan tertulis.
Meski tidak secara eksplisit menyebutkan aksi boikot, Boy mengakui bahwa faktor geopolitik memberikan dampak terhadap bisnis perusahaan. “Respons sosial dari masyarakat memang menunjukkan adanya penurunan, namun kami tidak bisa memastikan seberapa besar pengaruhnya,” tambahnya.
Dengan tekanan ekonomi yang berlanjut, perusahaan menghadapi tantangan untuk mempertahankan keberlanjutan operasional dan menstabilkan kinerja keuangannya.