Warta Bulukumba
– Parit di tepi jalan memantulkan langit kelabu. Cat pagar rumah mengelupas, lumut tebal di dinding semen tua. Di sisi kanan jalan, tak jauh dari jemuran padi, rumah-rumah saling diam, berjajar rapi seperti menyimpan cerita yang tak diucapkan. Dari dusun ini, kembali dugaan kasus pencabulan anak di bawah umur di Bulukumba menyeruak.
Kasus dugaan pencabulan terhadap anak di bawah umur di Desa Batukaropa, Kecamatan Rilau Ale, Kabupaten Bulukumba, berakhir dalam perdamaian secara kekeluargaan.
Konfirmasi dari ES, ibu korban, mengakui bahwa kesepakatan damai memang telah terjadi.
“Sudah damai secara kekeluargaan,” kata ES, ibu korban pencabulan anak di bawah umur, saat dikonfirmasi.
“Iye, memang sudah ada perdamaian secara kekeluargaan,” ujar ES saat dihubungi
pada Rabu malam, 18 Juni 2025.
Kepala Dusun tak tahu ada kasus pencabulan?
Sementara itu, pernyataan berbeda datang dari Muh. Amiluddin, kepala dusun setempat. Saat dimintai klarifikasi mengenai perkara ini di wilayahnya, ia justru bertanya balik.
“Yang bilang ada kasus pencabulan siapa?” ucapnya dengan nada bertanya, tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut, saat dikonfirmasi pada Kamis, 19 Juni 2025.
Pernyataan ini menambah kabut informasi yang menyelimuti perkara. Beberapa warga yang enggan disebut namanya menyayangkan sikap tertutup ini, mengingat dampaknya menyangkut masa depan korban.
Uang damai Rp15 juta?
Isu yang beredar di kalangan warga setempat menyebut bahwa telah terjadi penyerahan uang damai sebesar Rp15 juta kepada pihak keluarga korban.
Namun hingga kini,
belum dapat memverifikasi informasi tersebut secara independen.
Tidak ada dokumen, tanda terima, atau pernyataan resmi dari pihak manapun. Ibu korban juga belum memberikan tanggapan komentar. Sementara aparat desa belum memberikan klarifikasi yang transparan.
Delik biasa masih bisa diproses hukum
Dugaan kasus pencabulan anak di bawah umur ini yang berujung di meja damai menuai reaksi keras sejumlah aktivis. Salah satunya Syamsir, pemerhati anak di Bulukumba.
“Tidak boleh seenaknya berdamai. Korban butuh perlindungan dan pemulihan jangka panjang,” kata Syamsir dengan nada tegas.
Syamsir menilai penghentian kasus ini mencerminkan lemahnya penegakan hukum terhadap kekerasan seksual terhadap anak, apalagi jika diredam dengan pendekatan sosial informal.
Secara hukum, urai Syamsir, pencabulan terhadap anak adalah delik biasa, bukan delik aduan. Ini berarti, perkara tetap wajib diproses oleh penyidik, meski laporan dicabut atau kedua belah pihak sepakat damai.
Dalam konteks hukum Indonesia:
“Dalam delik biasa, perkara dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari korban. Penyidik tetap berkewajiban memprosesnya.”
Contoh delik biasa, antara lain:
- Pembunuhan (Pasal 338 KUHP atau Pasal 458 ayat (1) UU 1/2023)
- Pencurian (Pasal 362 KUHP atau Pasal 476 UU 1/2023)
- Penggelapan (Pasal 372 KUHP atau Pasal 486 UU 1/2023)
Sebaliknya, delik aduan seperti:
- Perzinahan (Pasal 284 KUHP atau Pasal 411 UU 1/2023)
- Pencemaran nama baik (Pasal 310 KUHP atau Pasal 433 UU 1/2023)
Penggelapan dalam keluarga (Pasal 367 KUHP atau Pasal 481 jo. 526 UU 1/2023) hanya bisa diproses jika korban atau keluarganya mengajukan pengaduan, dan bahkan bisa ditarik kembali dalam waktu tiga bulan sesuai Pasal 75 KUHP.
Artinya, dalam dugaan kasus pencabulan anak di Desa Batukaropa, proses hukum semestinya tetap berjalan, tanpa harus menunggu “izin” dari pihak korban.
Surat damai mungkin bisa menenangkan keluarga dan warga sekitar. Tapi di dalam diri anak yang menjadi korban, luka psikologis tak bisa diselesaikan dengan tanda tangan atau uang.
“Perdamaian bukanlah pengganti keadilan,” tegas Syamsir.
Menurut Syamsir, ketika suara anak tak didengar, dan hukum berhenti di ruang tamu, siapa yang akan menjaga masa depan mereka?***