Berita  

Gaikindo Khawatir Mobil Listrik Ancam Pekerjaan di Industri Otomotif

Gaikindo Khawatir Mobil Listrik Ancam Pekerjaan di Industri Otomotif

Asosiasi Industri Kendaraan Bermotor Indonesia atau Gaikindo menganggap industri mobil listrik atau EV telah mengurangi pangsa pasar mobil konvensional atau ICE. Situasi ini dinilai membahayakan penyerapan tenaga kerja dalam negeri karena sebagian besar permintaan mobil listrik masih dipenuhi melalui impor.

Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara menyampaikan, produk kendaraan listrik saat ini ditujukan pada pasar kelas bawah atau mobil dengan harga di bawah Rp 400 juta per unit. Ia menjelaskan, segmen pasar tersebut memberikan kontribusi sebesar 57% dari total penjualan mobil pada tahun lalu, yaitu sekitar 500.000 unit mobil.

“Mobil bensin yang pasarannya mulai menurun justru kendaraan-kendaraan yang diproduksi di dalam negeri dengan Tingkat Komponen Dalam Negeri yang tinggi. Artinya, jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam produksi mobil tersebut cukup besar,” ujar Kukuh dari Kantor Kementerian Perindustrian, Senin (25/8).

Tolong support kita ya,
Cukup klik ini aja: https://indonesiacrowd.com/support-bonus/

Kukuh menilai bahwa pasar mobil listrik seharusnya berada di kisaran harga di atas Rp 400 juta per unit. Kelompok harga ini hanya menyumbang 18,61% dari total penjualan mobil dalam negeri tahun lalu. Oleh karena itu, pasar mobil listrik seharusnya bukan menjadi pembeli mobil pertama.

  • Penjualan Mobil Masih Tidak Menggembirakan, Pemerintah Mengira Konsumen Berpindah ke Kendaraan Listrik
  • Persaingan Mobil Listrik di GIIAS 2025, Siapa yang Tawarkan Penawaran Paling Menarik?

Namun, Kukuh menemukan bahwa persaingan yang semakin ketat mendorong industri kendaraan listrik masuk ke pasar dengan harga di bawah Rp 400 juta. “Akhir-akhir ini, banyak pembeli pertama memilih mobil listrik karena harganya yang terjangkau. Hal ini juga mulai mengurangi pangsa pasar mobil konvensional yang memiliki TKDN tinggi. Ini adalah hal yang perlu ditemukan keseimbangan antara pasar kendaraan bermesin dan EV,” katanya.

Oleh karena itu, Kukuh menyarankan pemerintah untuk meninjau kembali pemberlakuan kembali Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2019 yang mengatur insentif kendaraan listrik. Saat ini, insentif kendaraan listrik diatur melalui PP Nomor 74 Tahun 2021.

Menurut Kukuh, Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 2019 memiliki tujuan yang lebih jelas dalam penggunaan kendaraan listrik, yaitu mengurangi emisi karbon. Aturan ini menentukan pajak kendaraan bermotor yang sebanding dengan jumlah emisi yang dihasilkan.

Saya tetap bersikeras bahwa pengembalian aturan PP No. 73 Tahun 2019 akan mendorong pemanfaatan produksi di sektor manufaktur. Hal ini didorong oleh meningkatnya daya saing akibat persaingan antara mobil listrik dan mobil konvensional.

“Jika pajak sudah cukup adil dan kemudahan investasi juga seimbang, industri kendaraan bermotor akan berkembang yang pada akhirnya menghasilkan lapangan kerja baru. Satu posisi kerja di bidang otomotif mampu menciptakan empat kesempatan kerja lainnya di luar sektor utamanya,” katanya.

Kukuh sebelumnya juga meragukan data pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal kedua tahun ini. Hal ini disebabkan oleh penjualan mobil yang terus menunjukkan penurunan, khususnya sejak Mei 2025.

Berdasarkan data Gaikindo, penjualan pada bulan Mei hingga Juli mengalami penurunan tahunan lebih dari 15% setiap bulannya. Penurunan terbesar terjadi pada Juni 2025 dengan besaran 22,54%, sedangkan penjualan pada Juli 2025 turun sebesar 18,43%.

“Kemampuan beli memang masih belum pulih. Meskipun pertumbuhan ekonomi nasional mencatatkan angka positif sebesar 5,12%, kenyataannya penjualan mobil jauh lebih rendah dari angka tersebut,” ujar Kukuh kepada .co.id, Kamis (14/8).