Fenomena Horeg dan Perdebatan di Masyarakat
Setidaknya 50 pondok pesantren di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, mengeluarkan fatwa haram terhadap musik horeg. Musik ini diklaim sebagai kreasi kesenian lokal yang biasanya digelar dalam acara hajatan warga atau karnaval. Fatwa tersebut dikeluarkan karena pihak pesantren menganggap suara horeg mengganggu masyarakat dan menyebabkan kerusakan fasilitas umum.
Tolong support kita ya,
Cukup klik ini aja: https://indonesiacrowd.com/support-bonus/
Pengasuh Pondok Pesantren Besuk Pasuruan, Muhibbul Aman Aly, menjelaskan bahwa keputusan itu diambil setelah melakukan diskusi bersama puluhan pesantren se-Jawa Timur. Dalam pertemuan tersebut, mereka membahas berbagai isu sosial yang berkembang, termasuk musik horeg. Menurutnya, suara horeg dinilai mengganggu masyarakat, terutama di lingkungan pemukiman padat penduduk.
Beberapa warga seperti Ahmad Zainudin mendukung fatwa tersebut. Ia menilai kreativitas horeg sudah melampaui batas. “Di beberapa tempat, ada acara horeg yang sampai harus membongkar fasilitas umum, kan itu mengganggu,” ujarnya. Zainudin juga mengkritik cara penampilan horeg yang disebutnya tidak sesuai dengan norma kesopanan, seperti goyangan yang dianggap tidak pantas.
Hermanto, seorang pemilik horeg di Madura, menyatakan ketidaksetujuannya terhadap fatwa haram tersebut. Ia berargumen bahwa jika musik horeg dianggap haram, maka tempat hiburan lain seperti karaoke juga harus ditutup. “Sebab kalau bicara haram, tempat seperti itu haram, tergantung yang melihat,” ujarnya. Meski demikian, ia mengakui bahwa kadang suara horeg bisa merusak rumah warga, namun klaimnya bahwa kerusakan tersebut pasti diganti oleh panitia acara.
Support us — there's a special gift for you.
Click here: https://indonesiacrowd.com/support-bonus/
Apa Itu Horeg?
Horeg adalah fenomena musik yang populer di daerah pedesaan, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Istilah horeg berasal dari kata “horeg” yang berarti bergerak atau bergetar. Awalnya, musik horeg dimainkan lewat pengeras suara berukuran kecil, namun seiring perkembangan teknologi sound system, musik ini kini dimainkan dengan volume yang sangat keras.
Menurut Puji Karyanto, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, horeg merupakan bentuk kreasi kesenian lokal baru yang muncul seiring perkembangan teknologi. Musik ini sering digelar dalam acara karnaval, dan menjadi ekspresi warga kelas bawah untuk menghadapi kesulitan hidup. Lewat horeg, mereka bisa bernyanyi dan berjoget.
Namun, Puji menyatakan bahwa keberadaan musik horeg saat ini sudah kebablasan. Volume suara yang mencapai lebih dari 135 desibel melebihi batas toleransi telinga manusia. Dampaknya, suara ini bisa menyebabkan kerusakan sementara pada pendengaran atau bahkan gangguan pendengaran permanen.
Perlu Aturan untuk Mengatur Horeg?
Puji Karyanto menilai fatwa haram yang dikeluarkan sejumlah pesantren di Jawa Timur sebagai ungkapan keresahan masyarakat yang terganggu dengan musik horeg. Menurutnya, fatwa tersebut harus dilihat sebagai pengingat warga untuk melihat fenomena sosial yang dianggap kurang tepat.
I Wayan Suyadnya, sosiolog dari Universitas Brawijaya, sepakat dengan pendapat tersebut. Menurutnya, fatwa haram bisa dilihat sebagai bentuk perlawanan masyarakat yang risau akan musik horeg namun dipendam. Ia menyarankan pemerintah daerah membuat regulasi terkait musik horeg, misalnya soal pengeras suara yang diizinkan dan batasan desibelnya.
Beberapa kepala daerah telah mengambil langkah untuk mengatur horeg. Contohnya, Bupati Pati mengedarkan surat edaran larangan penggunaan sound horeg saat karnaval, namun kemudian memperbolehkannya dalam batasan tertentu yakni hanya di bawah 16 sub single—yang getaran suaranya tidak akan menyebabkan kerusakan bangunan.
Pendapat Warga tentang Horeg
Ahmad Zainudin, warga Desa Palengaan Laok, Kabupaten Sumenep, menyatakan dukungan terhadap fatwa haram musik horeg. Ia menilai bahwa musik ini mengganggu orang-orang di sekitar lokasi acara yang mungkin sedang sakit atau membutuhkan istirahat seperti lansia. Namun, Zainudin juga tak yakin fatwa tersebut bakal betul-betul dipatuhi oleh pemilik horeg maupun warga.
Sementara itu, Annur Rofiek Alamthani, warga Sumenep lainnya, tidak setuju adanya fatwa haram untuk horeg. Menurut dia, meskipun berisik, horeg tidak berbeda dengan musik-musik lainnya. Yang perlu diatur hanya lokasinya. Jika digelar di acara karnaval dan lapangan terbuka, tidak mengapa. Yang tak boleh, di pemukiman padat penduduk.
Zainudin berharap pemerintah daerah membuat regulasi untuk horeg agar paling tidak bisa dinikmati, tak merusak fasilitas umum, dan menjaga ketentraman warga sekitar. “Mungkin perlu dicari alternatifnya supaya berkurang bisingnya.”