Fantasi Sedarah: Di Mana Batasnya dan Dampak Hukumnya? Pendapat Ahli Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel

Fantasi Sedarah: Di Mana Batasnya dan Dampak Hukumnya? Pendapat Ahli Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel



– Netizen di platform media sosial menjadi heboh karena adanya kelompok Facebook yang mendukung persaudaraan dekat. Kelompok menyebalkan ini ternyata mempunyai jumlah anggota yang cukup besar.

Kelompok itu membahas fantasi pribadi para membernya yang berkaitan dengan keluarga mereka sendiri. Di sebuah postingan di akun tersebut,
Facebook
Riana Siska Tambunan, ada satu tangkapan layar yang berisikan
posting
– yang diposting oleh akun Rieke Jr. pada hari Selasa (13/5) di dalam grup Fantasi Sedarah tersebut.

Menurut ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel tentang kelompok tersebut, ada perbedaan antara kegiatan seksual dan kegiatan menggunakan media sosial. Mengenai aspek seksual, hal ini merupakan bagian yang paling kompleks.

Fantasi Sedarah terkait dengan hubungan intim antara individu yang berkerabat darah. Namun, hal ini juga dapat mencakup pedofilia atau minat seksual pada anak di bawah pubertas.
molestation
“(kegiatan seksual dengan anak di bawah pubertas),” jelas Reza.

Meskipun demikian, menurut pendapatnya, kedua tindakan tersebut seharusnya diperlakukan sebagai pelanggaran atau bahkan kejahatan. Sayangnya, Indonesia belum memiliki undang-undang yang secara khusus mengatur tentang hubungan keluarga dekat seperti ini.

”Tapi para pelakunya bisa dijerat pidana jika memenuhi kriteria sebagai kekerasan seksual, yakni dilakukan terhadap anak-anak (individu berusia 0 hingga sebelum 18 tahun), dilakukan dengan paksaan, berarti bersifat non konsensual atau ada relasi kuasa yang asimetris. Selain itu, perzinaan, yakni dilakukan salah satu pihak atau kedua pihak yang mana masing-masing sudah menikah,” papar Reza.

Apa yang terjadi jika mereka yang melakukan inses itu adalah seorang ibu dan anak laki-lakinya yang berumur 20 tahun (belum menikah) dan mereka setuju melakukan itu?

“Pihak tersebut tak dapat dihukum. Undang-undang yang ada, termasuk Undang-Undang Tentang Tindak Pidana Penganiayaan Seksual (UU TPPKS), tidak mampu mencapai mereka. Ini membuktikan bahwa beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut bersifat tanpa moral,” kata Reza.

Menurutnya, hal tersebut dikatakan sebagai sesuatu yang bersifat tanpa norma moral karena ketentuan-ketentuan ini tak mencerminkan nilai-nilai moral, etika, serta suci-suciannya tentang hubungan intim dalam masyarakat. Beberapa jenis orientasi dan tindakan seksual juga luput dicakup, sehingga memungkinkan masyarakat menjadi rentan terhadap beragam bentuk kerusakan sosial dan perilaku yang melanggar aturan.

“Perubahan yang harus kita lakukan meliputi perluasan definisi tindakan kriminal kekerasan seksual di Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, serta penambahan artikel dalam Undang-Undang Perlindungan Anak supaya seluruh pihak dapat sepenuhnya dilindungi oleh hukum dari beragam jenis orientasi dan perilaku seksual yang tidak biasa,” jelas Reza.

Selain UU Perlindungan Anak dan UU TPKS, kata Reza, UU Penghapusan Kekerasan di Dalam Rumah Tangga pun bisa diterapkan untuk mengatasi masalah Fantasi Sedarah.

“Nah, berkaitan dengan kegiatan di media sosial yang melibatkan penyebaran informasi seputar incest dan pedophilia dengan nuansa seksual, hal itu cukup mudah dipahami. Tentu saja ini merupakan tindak kriminal,” tandas Reza.

Reza mengatakan, para pelaku bisa dijerat dengan UU Perlindungan Anak, UU Pornografi, dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Tinggal seberapa jauh otoritas penegakan hukum, dalam hal ini kepolisian, akan memroses pidana anggota FB tersebut yang jumlahnya puluhan ribu itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com