– Tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat (Kalbar) Fahmi Mochtar, dianggap telah menetapkan pengusaha Halim Kalla sebagai pemenang lelang proyek yang diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi. Berdasarkan informasi dari Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipidkor) Polri, lelang proyek tersebut diadakan oleh PT PLN pada tahun 2008 lalu.
Saat itu, tersangka Fahmi Mochtar menjabat sebagai direktur utama (dirut) PLN. Sementara itu, Halim Kalla berperan sebagai presiden direktur PT BRN. Berdasarkan rencana, PLTU 1 Kalbar akan dibangun di Kecamatan Jungkat, Kabupaten Mempawah. Direktur Penindakan Kortas Tipidkor Bareskrim Polri, Brigjen Pol Totok Suharyanto mengungkapkan bahwa niat jahat telah muncul saat proses lelang berlangsung.
“Didapatkan fakta bahwa tersangka FM (Fahmi Mochtar), selaku direktur utama PLN, telah melakukan konsip untuk mendukung salah satu peserta lelang dengan tersangka HK dan tersangka RR yang merupakan pihak PT BRN, dengan maksud agar lelang (pembangunan) PLTU 1 Kalimantan Barat dimenangkan,” ujarnya di hadapan awak media pada Senin (6/10).
Dalam pelaksanaan lelang proyek tersebut, Fahmi Mochtar memberikan petunjuk kepada panitia pengadaan dalam proyek itu agar mengizinkan dan memenangkan KSO PT BRN-Alton-OJSC meskipun perusahaan-perusahaan tersebut tidak memenuhi kriteria teknis maupun administratif untuk mengerjakan pekerjaan tersebut.
“Selain itu, diperkirakan kuat bahwa perusahaan Alton-OJSC tidak termasuk dalam KSO yang dibentuk dan dipimpin oleh PT BRN,” jelas Totok.
Perwira tinggi bintang satu Polri tersebut menyampaikan bahwa sebelum penandatanganan kontrak dilakukan pada 2009, KSO PT BRN melakukan alih tugas secara keseluruhan kepada PT Praba Indopersada dengan kesepakatan pemberian biaya jasa untuk PT BRN dan tersangka HYL mendapatkan hak sebagai pengelola keuangan KSO PT BRN.
“Di sini diketahui bahwa PT Praba tidak memiliki kemampuan untuk menangani proyek PLTU di Kalimantan Barat. Selanjutnya, pada tanggal 11 Juni 2009 dilakukan penandatanganan kontrak oleh tersangka FM selaku direksi PLN dengan tersangka RR selaku direksi PT BRN,” katanya.
Jika dihitung dengan kurs pada masa itu, nilai kontraknya mencapai Rp 1,25 triliun. Namun, bila dihitung dengan kurs saat ini, nilai kontrak tersebut mencapai Rp 1,35 triliun. Kontrak ini langsung berlaku sejak 28 Desember 2009. Seharusnya, proyek tersebut segera dikerjakan dan selesai pada 28 Februari 2012. Namun, hingga kini proyek tersebut belum selesai.
“Di akhir kontrak KSO PT BRN dan PT Praba Indopersada hanya mampu menyelesaikan 57 pekerjaan. Selanjutnya telah dilakukan beberapa kali perubahan kontrak sebanyak 10 kali dan terakhir pada 31 Desember 2018. Namun kenyataannya, pekerjaan berhenti sejak tahun 2016 dengan tingkat penyelesaian sebesar 85,56 persen. Oleh karena itu, KSO PT BRN telah menerima pembayaran dari PT PLN sebesar Rp 323 miliar dan USD 62,4 juta,” ujarnya.