MUHAMMAD AQIL
Mahasiswa Desain Komunikasi Visual ISBI Aceh, yang berasal dari Kota Jantho, Aceh Besar, memberikan laporan tersebut.
Menurut
Undang-Undang No. 24 Tahun 2019 mengenai Ekonomi Kreatif mendefinisikan bidang tersebut sebagai serangkaian kegiatan ekonomi yang didasari oleh ide segar, pemikiran inovatif, serta warisan budaya, di mana aset paling pentingnya adalah hak cipta dan merek dagang.
Di Indonesia, sektor ekonomi kreatif memberikan kontribusi yang besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan telah mencapai angka Rp1.414 triliun di tahun 2023.
Aceh, berkat keragaman budaya, kesenian, serta tenaga kerja terampilnya yang istimewa, mempunyai peluang besar untuk mengubah sektor ekonomi kreatif menjadi penggerak utama perkembangan ekonominya.
Meskipun demikian, potensinya belum dieksplorasi sepenuhnya. Melalui dukungan politik yang sesuai, proses digitalisasi, serta memperkuat ekosistem kreatif, Aceh bisa merubah harta karun budayanya menjadi aset pertumbuhan ekonomi yang lestari.
Potensi ekonomi kreatif
Aceh menawarkan variasi sektor ekonomi kreatif yang bisa ditingkatkan. Salah satunya adalah bidang kuliner dengan hidangan khas setempat seperti mie Aceh, kuah Beulangong, martabak Aceh, serta kudapan tradisional lainnya yang mempunyai rasa istimewa dan berpotensi diekspos ke pasar dalam maupun luar negeri.
Melalui standarisasi proses produksi dan pembungkusan yang efektif, makanan khas Aceh memiliki potensi untuk bersaing di pasaran internasional.
Kedua, bidang kerajinan dan kriya tangan. Aceh dikenal karena keahliannya dalam membuat songket, ukir kayu, kerajinan perak, serta anyaman dari daun pandan. Barang-barang tersebut bukan saja memiliki nilai estetika yang tinggi, melainkan juga membawa arti budaya yang mendalam. Melalui penggabungan elemen-elemen modern beserta strategi pemasaran berbasis digital, hasil-hasil kreatif di Aceh mampu memukau minat konsumen pada segmen pasar eksklusif.
Ketiga, fesyen dan perancangan pakaian tradisional Aceh, misalnya baju adat Aceh serta jilbab syari’, bisa ditingkatkan menjadi gaya busana modern. Kerjasama dengan para perancang baik dari daerah maupun nasional akan menambah nilai pada produk-produk tersebut.
Keempat, bidang kesenian pementasan dan musik. Seni tradisional Aceh seperti tarian saman, alat musik rapai, serta drama didong menarik perhatian di skala global. Melalui penyajian yang lebih kontemporernya dan mempromosikan lewat media digital, bentuk-bentuk kesenian tersebut bisa jadi magnet wisatawan dan juga sumber pendapatan tambahan.
Kelima, bidang kreativitas digital seperti yang dipegang oleh generasi muda Aceh mempunyai kesempatan besar untuk mengembangkan aplikasi, game, animasi, serta materi digital lainnya dengan tetap merujuk pada nilai-nilai tradisional setempat. Melalui bantuan program pelatihan dan kemudahan mendapatkan dana, industri ini bisa membentuk lebih banyak pekerjaan berteknologi tinggi.
Tantangan pengembangan
Walaupun memiliki potensi yang luar biasa, pertumbuhan ekonomi kreatif di Aceh masih terkendala oleh berbagai hal, salah satunya adalah sebagian besar pelaku usaha kreatif merasakan kesulitan dalam memperoleh dana akibat kurangnya pengetahuan bank akan nilai dari kekayaan intelektual mereka.
Struktur pendanaan yang bergantung pada hak atas kekayaan intelektual (HKI) belum mencapai tingkat efisiensi maksimalnya.
Kurangnya proteksi HKI masih menjadi masalah. Produk-produk kreatif di Aceh banyak yang belum didaftarkan HKI dan hal ini membuat mereka rawan untuk dicuri atau dipalsukan. Sebagai contoh, lagu berjudul “Rasa Sayang”, asli dari Maluku, pernah dimanfaatkan dalam promosi wisata Malaysia pada tahun 2007, menyebabkan kemarahan publik di Indonesia. Di samping itu, pada tahun 2009, Malaysia mengklaim batik sebagai bagian dari peninggalan budayanya sendiri kepada UNESCO walaupun sebenarnya batik sudah lama dikenali secara luas sebagai simbol budaya Indonesia.
Sosialisasi mengenai kepentingan paten, merk, serta hak cipta masih harus diperkuat.
Infrastruktur digital yang belum tersebar dengan baik membuat akses ke internet dan teknologi digital masih terbatas, terutama di area perdesaan, hal ini pada gilirannya mempersulit penjualan produk kreatif melalui platform online.
Kelangkaan sumber daya manusia (SDM) serta kurangnya kemampuan ahli membuat sebagian besar pengusaha kreatif masih belum menguasai ketrampilan manajemen usaha, pemasaran digital, dan teknologi dalam proses produksinya dengan baik.
Strategi pengembangan
Agar ekonomi kreatif dapat menjadi motor pertumbuhan baru di Aceh, diperlukan pembentukan Badan Ekonomi Kreatif dan Penguatan Teknologi Informasi supaya proses penyusunan kebijakan dalam mengakselerasi ekonomi kreatif menjadi lebih sederhana. Selain itu, badan ini juga bertanggung jawab untuk menyelenggarakan program pelatihan dan bimbingan kepada para pekerja seni kreatif, sekaligus menciptakan sistem distribusi produk secara daring yang efektif.
Selanjutnya, diperlukan peningkatan sistem pendanaan melalui pembuatan institusi keuangan yang spesifik untuk mendukung UMKM kreatif. Selain itu, penting juga untuk menggerakkan bank agar mau mempertimbangkan HKI sebagai agunan pinjaman dan menyediakan insentif pajak kepada para investor dalam bidang kreatif.
Peningkatan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) bisa dicapai melalui berbagai upaya seperti menyelenggarakan kampanye besar-besaran seputar prosedur pendaftaran HKI, mendirikan unit layanan konsultasi HKI yang bebas biaya untuk para pencipta lokal, dan menguatkan tindak pidana atas aktivitas perampasan hak cipta pada barang-barang hasil kreasi. Untuk pengembangan sarana digitalnya sendiri, kita harus merencanakan ekspansi penetrasi sinyal internet ke setiap sudut provinsi ini, bersama-sama dengan itu juga mesti dibangun sebuah situs web perdagangan elektronik spesifik yang menampilkan komoditi-komoditi unggulan dari Aceh.
Menggerakkan penerapan teknologi seperti augmented reality (AR) dan virtual reality (VR) dalam mempromosikan produk pun penting dijalankan.
Peningkatan kemampuan tenaga manusia bisa dicapai melalui kolaborasi antara universitas dan institusi pendidikan dengan menyelenggarakan program-program kewirausahaan kreatif, serta memberi kursus tentang pemasaran digital, pengelolaan usaha, dan pembuatan isi konten. Selain itu, perlu juga mengadakan praktik kerja internship dan fasilitasi inkubator bisnis untuk mendukung ‘start-up’ yang bergerak dalam bidang kreatif.
Apabila strategi ini diterapkan dengan tepat, sektor ekonomi kreatif bisa menghasilkan pengaruh besar pada Aceh, yakni meningkatnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang nantinya berperan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi daerah tersebut dan menciptakan lapangan pekerjaan baru, khususnya untuk kalangan pemuda.
Karya-karya kreatif dari Aceh ditargetkan untuk memperkuat ekspor dan merambah ke pasaran internasional.
Ekonomi kreatif dijadikan sebagai alat untuk memelihara warisan budaya Aceh melalui kerjasama dengan ISBI Aceh, agar kebudayaan tetap terus disebarkan dan ditingkatkan demi kemajuan masyarakat setempat.
Pengembangan ‘startup’ digital diharapkan mampu menghasilkan usaha berteknologi yang kreatif dan baru.
Ekonomi kreatif berpotensi besar menjadi motor utama kemajuan ekonomi di Aceh. Berbekal warisan budaya yang luas serta pemuda-pemudi dengan ide-ide segar, provinsi tersebut bisa menjadikan bidang ini sebagai fondasi bagi sistem ekonominya. Tetapi, dibutuhkan kesepakatan tegas dari pihak pemerintahan, dunia usaha, dan publik guna menciptakan lingkungan kondusif, termasuk dalam hal permodalan, pelindungan hak cipta intelektual, pengembangan sumber daya manusia, dan adaptasi teknologi modern.
Apabila langkah-langkah strategis tersebut dilaksanakan, Aceh tak sekadar bakal jadi sentra ekonomi kreatif di Tanah Air, namun juga mampu berkompetisi pada level dunia sambil memelihara warisan budaya dalam gelombang modernisasi.
Ekonomi kreatif tidak sekadar terkait dengan urusan bisnis, tetapi juga bertujuan untuk menciptakan masa depan Aceh yang lebih makmur dan lestari.
Menteri Ekonomi Kreatif yang dipimpin oleh anak emas Aceh, Bapak Teuku Riefky Harsya, memberikan kesempatan ideal untuk menjadikan Aceh sebagai model awal dalam penciptaan Dinas Ekonomi Kreatif serta Digitalisasi.
Langkah yang cepat dan tepat ini diharapkan akan membantu Aceh untuk mengembangkan ekonomi kreatif menjadi motor utama dalam pertumbuhan perekonomian lokal, sesuai dengan tujuan Indonesia Emas pada tahun 2045.