news  

Dugaan Efek KB, Wanita Ini Divonis Kanker Serviks Stadium 3

Dugaan Efek KB, Wanita Ini Divonis Kanker Serviks Stadium 3

Perbedaan Antara Efek Samping KB dan Tanda Awal Kanker Serviks

Beberapa perempuan yang menggunakan alat kontrasepsi seperti IUD atau spiral tembaga sering kali mengalami perubahan fisik, seperti nyeri ringan, bercak darah, atau siklus haid yang tidak teratur. Hal ini biasanya dianggap sebagai efek samping dari penggunaan alat kontrasepsi tersebut. Namun, tidak semua gejala bisa dianggap remeh. Beberapa tanda-tanda tertentu justru bisa menjadi indikasi awal dari kondisi serius seperti kanker serviks.

Pengalaman Nyata yang Menjadi Peringatan

Jasmin McKee, seorang perempuan asal Southampton, Inggris, mengalami hal serupa. Ia didiagnosis menderita kanker serviks stadium tiga pada usia 25 tahun setelah mengira gejala-gejalanya hanya efek samping dari pemasangan spiral tembaga. Gejala seperti nyeri punggung bawah, perdarahan setelah berhubungan intim, dan siklus menstruasi yang tidak teratur ia anggap sebagai respons tubuh terhadap alat kontrasepsi yang baru dipasang.

“Saya pikir itu semua hanya efek KB spiral yang wajar. Banyak orang mengalami kram atau bercak darah setelah pemasangan,” kata Jasmin. Ia bahkan menunda tes skrining serviks karena takut dengan prosedur Pap smear, yang ia dengar melalui internet.

Baru pada Maret 2024, ia memutuskan untuk menjalani pemeriksaan. Hasilnya menunjukkan bahwa ia positif Human Papillomavirus (HPV) dengan perubahan sel abnormal di leher rahim. Pemeriksaan lanjutan menyatakan bahwa ia mengidap kanker serviks stadium tiga. “Saat diberi tahu, saya benar-benar merasa mati rasa,” ujarnya.

Pentingnya Deteksi Dini

Dr. Clare Stevens, spesialis onkologi ginekologi di Royal Marsden Hospital, menekankan pentingnya membedakan antara efek samping KB dan gejala kanker serviks. “Efek KB biasanya ringan dan bersifat sementara, seperti kram atau bercak darah singkat. Namun perdarahan setelah berhubungan intim, nyeri panggul menetap, dan perubahan siklus menstruasi yang mencolok bisa jadi tanda kelainan serius di leher rahim,” jelasnya.

Perawatan yang Dilalui

Setelah diagnosis, Jasmin menjalani operasi pengangkatan tumor pada November 2024. Sayangnya, operasi tersebut tidak berhasil mengangkat seluruh jaringan kanker. Pengobatan dilanjutkan dengan radioterapi intensif pada Januari 2025. Efek sampingnya sangat menguras energi Jasmin, hingga ia merasa ingin tidur sepanjang hari.

Pada April 2025, ia mulai menjalani kemoterapi. Untuk menghadapi kerontokan rambut akibat pengobatan, Jasmin memutuskan mencukur rambutnya lebih dulu agar tetap merasa berdaya atas situasinya. Momen mengharukan terjadi ketika keponakannya, Darcy May Rose, yang masih berusia enam tahun, memotong 12 cm rambutnya sebagai bentuk dukungan. “Saya langsung menangis. Itu sangat berarti bagi saya,” katanya.

Kritik terhadap Kebijakan Pemeriksaan Serviks

Pengalaman pribadi ini mendorong Jasmin untuk bersuara tentang pentingnya pemeriksaan serviks secara rutin. Ia menyayangkan keputusan NHS Inggris yang akan memperpanjang jeda pemeriksaan bagi perempuan usia 25–49 tahun dengan hasil HPV negatif, yakni dari tiga tahun menjadi lima tahun.

“Dalam lima tahun, banyak hal bisa terjadi. Kanker bisa tumbuh tanpa diketahui,” tegas Jasmin. Meskipun kebijakan tersebut didasarkan pada studi dan rekomendasi, sejumlah ahli seperti Dr. Amanda Lewis menyampaikan kekhawatiran. “Kanker serviks bisa berkembang secara diam-diam. Semakin lama jarak antar pemeriksaan, semakin tinggi risiko kanker terdeteksi saat sudah stadium lanjut,” ungkapnya.

Kesimpulan

Kisah Jasmin menjadi peringatan penting bagi perempuan yang menggunakan alat kontrasepsi. Jika mengalami gejala seperti perdarahan setelah berhubungan intim, nyeri panggul, atau perubahan siklus menstruasi yang tidak biasa, sebaiknya tidak ragu untuk berkonsultasi dengan dokter. Deteksi dini bisa menjadi kunci dalam mengatasi masalah kesehatan yang serius.