Komisi XII DPR Prioritaskan RUU Energi Baru dan Terbarukan
Komisi XII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menunjukkan prioritas dalam penyusunan undang-undang yang akan disahkan. Salah satu rancangan yang menjadi fokus utama adalah Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET). RUU ini dianggap memiliki potensi besar untuk mendorong pertumbuhan sektor energi nasional.
Pembahasan RUU EBET ditempatkan sebagai prioritas pertama karena hanya tersisa satu pasal terkait power wheeling, yang merupakan mekanisme penyaluran listrik dari produsen ke konsumen melalui jaringan PLN. Proses pembentukan RUU ini telah dilakukan oleh Panitia Kerja (Panja) dan dinilai lebih mudah diselesaikan dibandingkan RUU lainnya.
Pemahaman tentang Power Wheeling
Power wheeling memainkan peran penting dalam meningkatkan efisiensi sistem kelistrikan. Dengan adanya skema ini, penggunaan sumber daya listrik dapat lebih optimal, terutama dari pembangkit swasta. Wakil Ketua Komisi XII DPR, Sugeng Suparwoto, menjelaskan bahwa tanpa power wheeling, target pertumbuhan ekonomi 8% sulit tercapai.
“Tanpa power wheeling, sulit mencapai 8% pertumbuhan ekonomi,” ujarnya. Ia juga menyebut bahwa angka tersebut membutuhkan investasi sebesar Rp13 ribu triliun secara akumulatif, atau sekitar Rp3.000 triliun setiap tahunnya. Dengan demikian, regulasi yang mendukung pengembangan energi terbarukan sangat penting.
Revisi RUU Migas yang Tertunda
Setelah RUU EBET, revisi RUU Migas menjadi prioritas kedua. Namun, proses pembahasan RUU ini menghadapi tantangan, terutama karena tidak adanya komitmen pemerintah yang kuat. Sugeng menyatakan bahwa saat ini, pemerintah tidak terlalu bersemangat dalam melanjutkan pembahasan RUU Migas.
“Saya malu ketika ditanya soal RUU Migas. Karena, pembentukan UU bukan hanya tugas DPR, tetapi juga pemerintah,” katanya. Menurut Sugeng, pemerintah sering menunda pembahasan RUU ini, meskipun ada beberapa pasal yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Isu Kritis dalam RUU Migas
RUU Migas yang sudah berlaku selama 24 tahun, yaitu Undang-Undang No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dinilai tidak lagi sesuai dengan kebutuhan industri migas saat ini. Target lifting minyak sebesar 1 juta barel per hari pada tahun 2029 memerlukan revisi regulasi agar lebih fleksibel dan mendukung inovasi teknologi.
Sugeng menegaskan bahwa dua opsi utama untuk meningkatkan lifting adalah eksplorasi dan pemanfaatan teknologi. “Jika tidak ada perubahan, lifting akan terus menurun,” ujarnya.
Langkah Ke depan
Komisi XII DPR berharap agar RUU EBET dapat segera disahkan dalam waktu tiga bulan. Hal ini akan memberikan landasan kuat untuk pengembangan energi terbarukan dan meningkatkan investasi di sektor kelistrikan. Selain itu, pihaknya juga akan terus memantau progres revisi RUU Migas agar segera rampung dan sesuai dengan kebutuhan industri.
Dengan prioritas yang jelas dan komitmen yang kuat, harapan besar diarahkan kepada DPR dan pemerintah untuk segera menyelesaikan regulasi yang akan membawa dampak positif bagi sektor energi nasional.