,
Jakarta
– Baru-baru ini media sosial diramaikan dengan penggantian menu Makanan Bergizi Gratis (
MBG
) menjadi
snack
atau camilan kemasan. Merespons hal itu, dosen gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (
Unair
), Lailatul Muniroh, menilai bahwa kebijakan penggantian ini memiliki risiko yang tinggi.
Dia menegaskan bahwa MBG ideal harus mampu memenuhi seluruh komponen zat gizi makro maupun mikro sesuai kebutuhan sasaran program. Camilan hanya bisa berperan sebagai selingan antara dua makanan utama, misalnya di antara makan pagi dan makan siang. Menurutnya, camilan tidak bisa menggantikan makanan utama.
Support kami, ada hadiah spesial untuk anda.
Klik di sini: https://indonesiacrowd.com/support-bonus/
“Porsi
snack
idealnya hanya memenuhi 10 persen dari total kalori sehari. Namun,
snack
dapat menggantikan makanan utama secara terbatas dan terkontrol dalam situasi tertentu, misalnya lansia, pasien pascaoperasi atau orang sakit yang tidak sanggup mengonsumsi makanan utama sehingga
snack
padat gizi dapat menggantikan sementara sampai mereka sembuh,” kata Lailatul melalui keterangan tertulis, Ahad, 30 Juni 2025.
Snack Padat Gizi
Penggantian secara konstan MBG dengan snack, terutama dengan snack rendah gizi berpotensi memicu dampak kesehatan jangka pendek dan panjang. Lailatul menjelaskan dalam jangka pendek dapat mengurangi energi dan zat gizi sehingga menurunkan konsentrasi dan produktivitas.
“Selain itu snack tinggi gula/garam dapat memberikan rasa kenyang cepat tetapi tidak tahan lama dan tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi harian. Dampak jangka panjangnya adalah terjadi gizi kurang pada anak, risiko anemia,
hidden hunger
karena kekurangan zat gizi mikro lainnya, peningkatan risiko penyakit tidak menular seperti DM tipe 2 dan hipertensi,” ujarnya.
Support us — there's a special gift for you.
Click here: https://indonesiacrowd.com/support-bonus/
Meski mengakui kepraktisan pada camilan, Lailatul memberikan solusi dengan tidak mengorbankan prinsip gizi, yaitu mengubah
snack
menjadi padat gizi atau
nutrient-dense snacks
. Ia menuturkan bahwa
snack
padat gizi bisa menunjang kesehatan dan produktivitas sasaran program.
“
Snack
tidak harus identik dengan makanan ringan rendah kalori. Justru, snack yang dirancang dengan prinsip gizi seimbang bisa menjadi solusi saat makanan utama tidak tersedia. Namun yang seperti ini tidak boleh terjadi terus menerus karena tidak ada kondisi darurat yang ‘memaksa’
snack
menggantikan makanan utama,” ungkapnya.
Rekomendasi Kebijakan
Untuk memastikan ketepatan pelaksanaan MBG, ia merekomendasikan beberapa rekomendasi kebijakan meliputi penetapan standar gizi nasional, integrasi data stunting, alokasi dana khusus, hingga pemanfaatan pangan lokal gizi tinggi. “Libatkan ahli gizi di setiap intervensi dan lakukan monitoring input-proses-output secara kontinyu dan buat rencana tindak lanjut dari hasil monitoring,” katanya.
Ia menegaskan bahwa ada konsekuensi terburuk yang harus ditanggung oleh negara apabila praktik ini terus berlanjut, mulai dari rendahnya potensi kognitif dan berakhir dengan beban kesehatan jangka panjang.
“Jika kita ingin generasi Indonesia tumbuh sehat, cerdas, dan berdaya saing global, maka akses terhadap makanan bergizi, aman, dan terjangkau adalah hak dasar yang harus dijamin negara. Bukan menjadi pilihan, apalagi kompromi,” ucapnya.