Pemerintah telah mencabut izin empat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Langkah ini dianggap sebagai langkah positif dalam memperkuat arah pariwisata nasional yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat lokal.
Raja Ampat sendiri dikenal sebagai destinasi wisata bahari dan konservasi laut yang memiliki daya tarik estetika, nilai budaya, dan kehormatan ekologis.
Taufan Rahmadi, Dewan Pakar Green Sustainable Network (GSN) Bidang Pariwisata, menyatakan bahwa Raja Ampat semestinya difungsikan sebagai “living laboratory” bagi model wisata bahari dan konservasi laut.
Green Sustainable Network atau Green and Sustainable Tourism Network sebuah konsep atau jejaring yang mendukung pariwisata berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Dalam konteks Indonesia, GSN itu Gerakan Sadar Wisata Nasional (GSN)
Ini berarti bahwa wilayah tersebut dapat menjadi contoh bagi pengelolaan wisata dan konservasi laut yang baik.
Pencabutan izin tambang nikel ini juga diharapkan dapat menjadi awal dari pengadilan atas kejahatan ekologis yang telah terjadi di Raja Ampat.
Namun, masih perlu pengawasan dan evaluasi lebih lanjut untuk memastikan bahwa langkah ini dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi lingkungan dan masyarakat lokal.
“Cabut izinnya hari ini, tapi luka di tanah, laut, dan jiwa masyarakat akan terus berdarah jika pelaku kejahatan ekologis dibiarkan lepas.”
Sepenggal kalimat tegas itu diluapkan oleh Ketua LSM Lingkungan Hidup Forum Komunitas Hijau, Ahmad Yusran, usai acara Dampak Tambang Nikel pada Ekosistem Pesisir-Laut yang berlangsung di Cafe Boska Tanjung Bunga, Makassar, pada Selasa sore (10/6/2025), dan dihadiri oleh pegiat lingkungan, akademisi, mahasiswa, serta masyarakat sipil.
Menurut Yusran, meski pun pemerintah melalui Kementerian Investasi/BKPM secara resmi mencabut izin operasi tambang nikel PT ASA (Anugerah Surya Alam) di kawasan sensitif dan suci ekologi Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Keputusan itu, kata Yusran, pastinya disambut dengan lega oleh masyarakat adat, aktivis lingkungan, dan pejuang keadilan ekologis.
IUP Dicabut
Pemerintah mencabut izin usaha pertambangan (IUP) nikel untuk empat perusahaan di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya. Keputusan pencabutan tersebut disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.
“Yang kita cabut adalah PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera Mining. Ini yang kita cabut,” kata Bahlil.
Menurut Ketua Umum Partai Golkar tersebut terdapat beberapa faktor yang menyebabkan pemerintah mencabut empat izin pertambangan tersebut. Pertama berdasarkan laporan Menteri LHK Hanif Faisol Nurofiq dan juga hasil peninjauan lapangan.
“Secara lingkungan atas apa yang disampaikan oleh Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq kepada kami itu melanggar. Yang kedua adalah kita juga turun mengecek di lapangan kawasan-kawasan ini menurut kami harus kita lindungi dengan tetap memperhatikan biota laut dan konservasi,” katanya.
Menurut Bahlil meskipun masih bisa diperdebatkan mengenai IUP tersebut diberikan sebelum penetapan kawasan geopark. Namun Presiden memberikan perhatian khusus untuk menjadikan dan menjaga Raja Ampat tetap menjadi wisata dunia.
“Jadi ditanya apa alasannya, alasannya adalah pertama memang secara lingkungan. Yang kedua adalah memang secara teknis setelah kami melihat ini sebagian masuk di kawasan Geopark. Dan ketiga keputusan ratas dengan mempertimbangkan masukan dari pemerintah daerah dan juga adalah melihat dari tokoh-tokoh masyarakat yang saya kunjungi,” kata Bahlil.
Ketua Komisi XII DPR RI Bambang Patijaya, menegaskan bahwa pencabutan empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Raja Ampat oleh pemerintah, bukan berarti menghapus tanggung jawab perusahaan terhadap dampak lingkungan yang telah ditimbulkan.
Ia menegaskan, perusahaan-perusahaan yang telah dicabut izin operasionalnya, tetap memiliki kewajiban untuk melakukan pemulihan lingkungan secara menyeluruh.
“Nah saya pikir ketika dia (IUP) dicabut, tentunya kepada perusahaan-perusahaan yang dicabut IUP-nya tersebut, dia tetap harus ada kewajiban untuk melakukan pemulihan,” kata Bambang.
Menurut politikus Partai Golkar ini, tidak boleh ada praktik lepas tangan setelah izin pertambangan dicabut. Ia menegaskan bahwa perusahaan tidak boleh sekadar meninggalkan lokasi tambang begitu saja tanpa melakukan rehabilitasi terhadap kerusakan yang sudah terjadi.
“Tidak hanya semata-mata dicabut, kemudian kabur gitu. Tetapi dia harus melakukan pemulihan. Bagaimana kawasan-kawasan yang sudah terbuka itu untuk segera dihijaukan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Bambang mengingatkan bahwa jika terdapat kerusakan lingkungan lain yang disebabkan oleh kegiatan tambang, maka perusahaan juga bertanggung jawab untuk melakukan restorasi secara menyeluruh.
“Kemudian jika ada dampak-dampak negatif kepada lingkungan lain, misalkan dari laporan yang disampaikan tim Lingkungan Hidup, ada dam yang jebol dan sebagainya, itu direstorasilah, diperbaiki. Kemudian alam diperbaiki sehingga bisa cepat pulih,” ujarnya.
Terkait pencabutan 4 IUP tambang nikel itu, Bambang menilai hal tersebut telah melalui proses sesuai regulasi yang berlaku, dan merupakan bentuk respon cepat atas polemik yang muncul di masyarakat.
“Kami memberikan apresiasi kepada pemerintah yang sudah melakukan tahapan-tahapan sesuai regulasi yang berlaku, dan kemudian mengambil keputusan yang cepat, serta memperhatikan situasi yang ada,” ucapnya.
Ia menambahkan, keputusan tersebut tidak diambil secara tiba-tiba, melainkan merupakan bagian dari proses yang telah dimulai sejak awal tahun ini.
“Saya yakin bahwa hal-hal yang diambil ini merupakan langkah-langkah yang sudah dijelaskan tadi oleh pemerintah bahwa ini sesuai dengan rencana yang memang sudah diimplementasikan sejak Januari kemarin,” pungkasnya.
Berdasarkan data dari gambar yang menampilkan 5 konsesi tambang nikel di Raja Ampat, kita bisa merumuskan solusi berkeadilan terhadap dampak kerusakan ekosistem laut dengan pendekatan multi-level berikut :
Solusi Berkeadilan atas Dampak Tambang Nikel di Raja Ampat
Prinsip Keadilan yang Harus Dijaga:
1. Keadilan Ekologis – Laut dan ekosistem pesisir harus dianggap sebagai entitas hidup yang memiliki hak untuk pulih.
2. Keadilan Sosial – Komunitas lokal, terutama masyarakat adat dan nelayan tradisional, harus dilibatkan dan dilindungi.
3. Keadilan Antar Generasi – Sumber daya alam tidak boleh dikorbankan demi keuntungan sesaat generasi sekarang.
Solusi Konkret dan Berkeadilan:
1. Evaluasi dan Moratorium Tambang di Pulau-Pulau Kecil
Berdasarkan UU No. 1 Tahun 2014, pulau kecil seperti Pulau Gag, Kawe, Manuran, dan Batang Pele seharusnya dilindungi dari aktivitas tambang.
Moratorium izin dan audit terhadap status operasi produksi dan legalitas SK (sebagian sudah usang atau kontroversial).
2. Restorasi dan Reklamasi Ekosistem Laut
Kewajiban setiap perusahaan tambang melakukan restorasi ekologis berbasis hasil penilaian AMDAL partisipatif.
Pemerintah perlu menetapkan zona restorasi di wilayah terdampak (terutama terumbu karang dan padang lamun).
3. Pemulihan Ekonomi Lokal yang Berkelanjutan
Dana kompensasi kerusakan harus dialihkan ke pembangunan ekonomi biru lokal: ekowisata berbasis masyarakat, budidaya laut ramah lingkungan, dan penguatan koperasi nelayan.
Sertifikasi dan akses pasar bagi hasil laut yang lestari (ikan, rumput laut, teripang) sebagai alternatif ekonomi.
4. Peningkatan Peran dan Hak Masyarakat Lokal
Komunitas lokal dilibatkan dalam pengawasan langsung melalui skema citizen science dan pengawasan berbasis komunitas.
Hak atas informasi, partisipasi, dan kontrol terhadap ruang hidup dijamin oleh pemerintah daerah dan nasional.
5. Transparansi dan Akuntabilitas Korporasi
Semua perusahaan (seperti Gag Nikel, Kawei Sejahtera Mining, dll.) wajib membuka data produksi, emisi, dan dampak.
Evaluasi publik terhadap komitmen CSR dan due diligence terhadap hak asasi manusia dan lingkungan.
Menuju Model Tata Kelola Laut Berbasis Keadilan
Peninjauan ulang terhadap kebijakan geopark vs tambang → Apakah bisa berdampingan?
Penguatan hukum laut adat → Pengakuan wilayah laut adat sebagai zona eksklusif masyarakat.
Integrasi data Geoportal dan partisipasi warga sebagai pilar tata kelola.(Tribun Network/fik/mam/wly)