DAILY Maverick secara sengaja menghentikan kegiatan operasionalnyamedia keberaniannya pada 15 April 2024. Tindakan ini merupakan bentuk perlawanan terhadap krisis global yang sedang dihadapi jurnalisme pada masa itu, salah satunya akibat dominasi perusahaan teknologi besar atau big tech.
Bukan membuat pembaca bingung, tetapi pendekatan ini justru menarik sekitar 1.500 anggota yang berlangganan media asal Afrika Selatan tersebut. Daily Maverick menyebut para pembaca berbayar ini sebagai Maverick Insider Member.
“Ini bertujuan untuk menunjukkan seberapa pentingnya media dalam kehidupan sehari-hari, dan kami berhasil melakukannya,” ujar pendiri Daily Maverick, Branko Brkic, dalam sebuah diskusi virtual di Gummbersbach, Jerman, pada Jumat, 27 Juni 2025.
Tolong support kita ya,
Cukup klik ini aja: https://indonesiacrowd.com/support-bonus/
Branko menjadi salah satu pembicara dalam seminar program International Academy for Leadership (IAF) yang diadakan oleh Friedrich Naumann Foundation for Freedom (FNF). Organisasi nirlaba asal Jerman tersebut kembali menyelenggarakan seminar dengan tema “Kebebasan Pers: Tantangan di Era Digital.”
Peserta IAF 2025 terdiri dari jurnalis, praktisi media, serta perwakilan organisasi masyarakat sipil internasional. Secara keseluruhan, terdapat 23 peserta yang menghadiri rangkaian seminar pada tanggal 22 Juni hingga 4 Juli 2025. Mereka berasal dari berbagai wilayah seperti Asia, Eropa, dan Amerika Latin. Tempo menjadi satu-satunya perwakilan dari Indonesia.
Kebanyakan aktivitas mereka berlangsung di Gedung Theodor Heuss Akademie di Gummbersbach. Namun, terdapat juga kesempatan untuk mengunjungi Berlin pada minggu pertama.
Pada seminar hari kelima, Branko lebih fokus membahas isu keberlanjutan media. Strategi Daily Maverick yang tidak menyajikan berita selama sehari penuh justru mampu menarik perhatian lebih banyak pembaca serta pendapatan. Menurut Branko, meskipun informasi di media sosial terus mengalir deras, masyarakat tetap memperoleh berita.
Berbagai cara digunakan pembaca untuk mencari berita di era digital saat ini. Masyarakat mungkin tidak langsung mengakses situs media karena sudah mendapatkan informasi dari media sosial. “Namun mereka tetap tertarik dengan berita,” kata Branko.
Hal itu mengingatkan pada situasi jurnalisme di Indonesia belakangan ini. Aksi massa yang berlangsung di Jakarta dan kota-kota lain pada 25-30 Agustus 2025 menambah daftar kekerasan terhadap para jurnalis. Selama periode tersebut, Aliansi Jurnalis Independen atau AJI Indonesia mencatat lima peristiwa selama aksi unjuk rasa berlangsung.
Salah satu contohnya adalah penganiayaan terhadap seorang fotografer yang sedang melakukan peliputan.demonstrasi Di kawasan Markas Korps Brigade Mobil Kwitang, Jakarta Pusat, oleh pihak yang tidak dikenal. Beberapa jurnalis juga mengalami ancaman karena merekam peristiwa kerusuhan dalam demo. Secara keseluruhan, terdapat 60 kasus kekerasan, ancaman, hingga serangan siber terhadap jurnalis dan media pada periode 1 Januari hingga 30 Agustus 2025.
Meskipun demikian, menurut Ketua Umum AJI Indonesia Nany Afrida, tugas jurnalis semakin relevan dalam situasi di mana informasi melimpah dan kondisi terasa tidak pasti. “Jurnalis serta karya jurnalistik yang dapat dipercaya menjadi benteng utama dalam menghadapi hoaks dan penyebaran informasi palsu,” katanya.
Propaganda Lewat Budaya Pop
Dua video TikTok yang ditampilkan oleh seorang profesor manajemen media dan budaya dari Universitas Macromedia di Berlin, Gernot Wolfram, menunjukkan pesan dan konteks yang berbeda. Namun, kedua video tersebut dibintangi oleh aktor yang sama dengan peran yang berbeda. Ini adalah salah satu cara bagaimana propaganda menyebar melalui medium budaya pop seperti media sosial. “Propaganda memanfaatkan pop culture secara sangat kuat,” ujar Gernot di Berlin, Jerman, pada hari Minggu, 29 Juni 2025.
Gernot juga menjadi pembicara dalam acara International Academy for Leadership 2025. Selama sekitar satu jam, dia mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan sesi mengenai cara penyebaran propaganda melalui budaya populer. Secara umum, propaganda berisi narasi palsu yang kemudian membuat audiens meragukan informasi yang diberikan.
Namun sia-sia saja propaganda dibuat jika tidak mampu menciptakan emosi pada audiens. Oleh karena itu, isi propaganda perlu disusun dengan cara yang mampu menarik perhatian masyarakat. “Propaganda menggabungkan unsur intelektual dengan hiburan,” kata Gernot.
Sayangnya, tidak ada cara yang efektif untuk menghentikan penyebaran propaganda. Generasi muda kini justru menyukai konten propaganda. Mereka memang tumbuh sebagai generasi yang paham teknologi atau digital savvy. Di Indonesia, Badan Pusat Statistik melaporkan terdapat 75,49 juta orang dari generasi Z atau Gen Z pada tahun 2020. Angka ini merupakan yang terbesar dibandingkan total populasi Indonesia sebanyak 270,2 juta jiwa.
Meskipun demikian, Gernot menyatakan bahwa diperlukan strategi untuk menghadapi propaganda. Menurutnya, setiap lembaga, termasuk media massa, seharusnya memiliki strategi tersebut. “Kita perlu membicarakan banyak tentang strategi,” katanya.