“Bercelatuk satu sama lain,
Mengecap semangkuk teh hijau.
Kembang menyembul dalam kabut
Mekar di antara awan”
— Nishikoribe no Hikogimi dalam Kumpulan Cerita Terkenal Bunka Shureishu
Kesedihan ternyata bisa juga membawa seseorang untuk jatuh cinta. Contohnya adalah Fika Nurul (27) yang terpesona dengan rasa pahit dan pedas dari matcha. Meskipun dominannya berasa sangat pahit, mirip rasa rumput, namun memiliki sentuhan manis halus yang unik. Demikianlah penjelasan Fika tentang rasa matcha – serbukan teh hijau asli Jepang yang sedang menjadi favorit bagi para remaja di Indonesia.
Wanita yang berkarier di suatu perusahaan swasta di Jakarta Selatan jatuh cinta dengan matcha semenjak makin banyaknya produk-produk yang menggunakan rasa serbuk teh hijau tersebut. Hingga saat ini, setiap minggunya dia selalu menyajikan minuman matcha buatkannya sendiri ataupun menghabiskan waktu di kedai-kedai penyedia menu-matcha.
“Satu minggu sekali namun tetap, beberapa bulan belakangan ini malah bisa mencapai 3-4 kali perminggu, akan tetapi dalam bentuk sudah jadi,” ungkap Fika kepada wartawan Tirto, Jumat (23/5/2025).
“Kehebohan matcha” dalam kalangan pemuda semakin meningkat setelah akhir pandemic. Hal ini terlihat dari bertambah banyaknya kedai yang secara spesifik menawarkan matcha beserta variasinya di beberapa kota besar di Indonesia. Misalnya saja di Jakarta, puluhan kedai mengambil peran sebagai destinasi hangout bagi pecinta matcha zaman now.
Di luar disuguhkan sebagai teh murni, matcha seringkali telah dikreasikan menjadi camilan ringan, hidangan pencuci mulut yang manis, es latte, atau aneka pilihan minuman lainnya di kedai-kedai. Sedangkan dalam bentuk kemasan, barang-barang yang menggunakan bahan dasar matcha pun banyak tersedia di supermarket.
Fika bisa mengidentifikasi kafe mana yang menyajikan hasil seduhan terbaik serta tempat-tempat dimana rasa kopinya tak begitu cocok baginya. Bila hendak merasakan matcha diseduh secara murni, dia lebih memilih produk autentik dari Jepang dengan jenis ceremonial grade matcha.
Walaupun harganya tidak murah, ternyata matcha seremonial memang yang terbaik. Fika juga menyimpan beberapa bungkusan matcha bubuk untuk dikemas dan diminum sendiri saat enggan pergi ke kafe.
“Menurut gue, pure matcha ditambah gula sedikit udah sangat oke, enggak melulu harus pake tambahan kopi atau susu evaporasi. Meski tetep aja, enggak terlalu suka pure matcha yang konsistensinya thick, yang thin masih oke,” ujar dia menjelaskan.
Menurut dirinya sendiri, “emosi matcha” naik pesat lantaran meningkatnya konten di platform-media sosial seperti Instagram dan TikTok. Menurunya minuman ini menjadi populer kemungkinan besar dimulai dari tahun 2021. Saat itu, matcha telah dipromosikan sebagai suplemen makanan dengan banyak keuntungan, lebih-lebih lagi diklaim dapat mendukung kesejahteraan tubuh saat masa epidemi pandemic.
Meskipun demikian, Fika merasa belum benar-benar menikmati matcha meski mendapatkan manfaatnya. Jadi, dia malah menggunakan matcha sebagai ganti kopi dengan kadar kafein yang lebih rendah. Sekarang, saat berkunjung ke kafe atau kedai bersantai, pesanan matcha selalu menjadi prioritas utamanya ketika memilih menu.
“Dampak kesehatan utama yang akan dialami kemungkinannya adalah peningkatan metabolisme, sehingga BAB menjadi Lancar setiap harinya. Namun untuk memastikan tidak mengganggu sistem pencernaan, sebaiknya hindari minum matcha ketika perut dalam keadaan kosong,” ungkapnya sambil menasihati.
Istilah “matcha” datang dari kata-kata dalam bahasa Jepang yaitu ‘ma’ yang artinya gilingan atau tepung, ditambah dengan ‘cha’ yang berarti teh. Matcha merupakan serbuk lembut yang dihasilkan dari daun teh hijau (Camellia sinensis), setelah diproses melalui tahapan perebusan, pengeringan, hingga digiling halus. Menurut legenda, para biarawan Jepang pada masa lalu kerap meminum matcha guna mendukung prosesi meditasinya. Hal ini karena diyakini memiliki dampak yang dapat membantu orang merasa tenang sekaligus selalu siaga (eling dan waspada).
Efek kesehatan malah menjadi argumen terpenting bagi Safitri Ananda (25) untuk rutin minum bubuk matcha setiap hari. Wanita yang biasanya disapa Fitri itu menyatakan bahwa dia dengan sengaja memilih untuk membeli produk matcha asli yang langsung bisa diseduh. Fitri lebih jarang menikmati matcha yang telah diolah atau dikombinasikan menjadi jenis produk lain karena kecenderungan mereka memiliki kadar gula yang tinggi.
“Beli yang asli memang harus pilih grade ceremonial karena pure matchanya bagus banget. Banyak loh yang jual secara online dengan ukuran 100 atau 200 gram,” ujar seorang wanita yang berkarir dalam bidang marketing di salah satu perusahaan swasta di Jakarta Pusat.
Menurut Fitri, umumnya dia membeli matcha instan dalam kisaran harga antaraRp120 ribu sampai Rp300ribu. Dia merasakan bahwa semakin mahal harganya, semakin menyegarkan rasa matcha saat diminum setelah diseduhi. Meski begitu, ia memberikan peringatan untuk tidak berlebihan dalam mengkonsumsinya karena matcha tetap memiliki kandungan kafein di dalamnya.
Fitri rutin meminum matcha pada waktu sarapan. Ia melakukannya paling sedikit dua kali seminggu. Dia sengaja tidak mengkonsumsinya setiap harinya untuk mencegah keberlebihan konsumsi matcha.
“Jadi kalau sudah minum matcha, sebaiknya tidak mengonsumsi kopi. Begitu pula jika telah meminum kopi, lebih baik hindari matcha. Sampai saat ini, rasanya cukup menyegarkan bagi tubuh setiap kali akan pergi bekerja,” ujar Fitri ketika ditemui oleh reporter Tirto.
Pengolahan Berbeda
Mengamati berbagai sumber, ternyata matcha dan variasi minuman teh asli Jepang sebenarnya berasal dari jenis daun yang sama. Akan tetapi, proses pembuatannya diubah sedikit demi sedikit untuk menciptakan ragam hidangan unik tersebut. Sebagai contoh, teh hijau dibuat menggunakan dedaunan segar yang langsung dikukus setelah pemanenan dengan tujuan mencegah oksidasi (kontak dengan udara), sehingga menjaga keaslian warnanya yang hijau.
Teh oolong diketahui dioksidasi selama periode yang pendek sementara teh hitam mengalami proses oksidasi penuh. Berdasarkan variasi derajat oksidasi ini diyakini memiliki dampak pada manfaat kesehatan yang ditawarkannya.
Di samping itu, matcha diciptakan menggunakan daun teh yang ditanam di area terlindung. Ini menghasilkan peningkatan kadar klorofil (menyebabkan warnanya lebih hijau pekat) serta L-theanine (asam amino pada teh). Sesudah proses pengukusan dan pengeringan, tangkai dan tulang daun dilepaskan sebelum akhirnya ditumbuk hingga menjadi serbuk lembut.
Perbedaan antara matcha dan teh hijau biasa (yang umumnya tidak berbentuk serbuk) terletak pada cara pengolahannya. Untuk teh hijau biasa, daunnya diendapkan dalam air sebelum akhirnya ditiriskan; ada pula yang menggunakan kantong seduhan untuk lebih mudah menyeduhkannya. Sedangkan proses membuat matcha melibatkan penggunaan bubuk teh yang dikocok hingga merata dengan air hangat atau dingin, menciptakan hasil akhir berbusa.
Di masa sebelum abad ke-16 di Jepang, ritual minum teh atau chanoyu biasanya dimanfaatkan sebagai sarana untuk menunjukkan harta benda dan kemegahan oleh para pemimpin Samurai dan kalangan kesatria. Akan tetapi, pada awal abad ke-16, ahli teh bernama Sen Rikyu mengubah seremoni minum teh yang kompleks dan eksklusif itu menjadi lebih simpel sesuai dengan prinsip wabi yang mendukung sikap rendah hati.
Penulis di bidang kesehatan, Lori Zanteson dalam
Today’s Dietitian
Vol. 23, No. 4 (2021) menunjukkan bahwa matcha mulai muncul sekitar 1.000 tahun yang lalu selama masa dinasti-dinasti China serta era dominasi pemerintahan Shogun di Jepang. Pada Zaman Dinasti Tang (abadi ke-7 sampai abad ke-10), daun teh direndam dan dicetak menjadi blok untuk memudahkan pengangkutan dan perdagangan.
Teh itu nantinya akan dikeringkan dan dihaluskan menjadi serbuk, lalu dicampur dengan air serta garam sebelum diminum. “Hanya pada zaman Dinasti Song (abadi ke-10 sampai ke-13) bahwa cara membuat teh dalam bentuk serbuk mulai menjamur,” jelas Lori. Menurutnya lagi, seorang biarawan Buddhisme Jepang menerapkan teknik meditasi Buddha Zen saat menyajikan teh berupa serbuk ini.
Idealnya Tidak Melebihi Empat Kali Sehari
Inggrid Tania, ketua dari Asosiasi Dokter Pengembangan Obat Tradisional Jamu Indonesia (PDPOTJI), mengungkapkan bahwa matcha benar-benar memberikan manfaat kesehatan yang baik untuk tubuh. Apalagi, dibandingkan dengan teh hijau pada umumnya yang hanya dihancurkan dan direndam sebelum disaring, matcha dalam bentuk serbuk membuat fokus nutrisinya menjadi lebih tinggi.
“Dibuat menjadi serbuk sehingga tidak ada bagian yang terbuang, ini berarti fokus atau konsentrasi dari produk tersebut lebih tinggi. Artinya, bahan-bahannya yang aktif pun memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan green tea biasa, sebab teh hijau kering hanya dicelupkan dan kita hanya minum airnya,” jelas Inggrid saat diwawancara oleh Tirto, Jumat (23/5).
Inggrid merekomendasikan bahwa sebaiknya mengonsumsi matcha murni tidak melebihi empat kali sehari. Sarannya untuk menggunakan yang murni karena jika ditambahkan krimer atau gula, pastilah ada komponen tambahan di dalam secangkir minuman itu. Apabila ingin mencampurkannya, dia malah berpendapat akan lebih baik dengan penambahan rempah-rempah seperti moringa, cengkih, atau kayu manis.
“Lebih baik lagi sebelumnya, tanpa krim, tanpa gula, hanya menggunakan matcha dan teh hijau saja. Jika ingin menambahkan susu, gunakan susu murni, bukan susu yang sudah ada penambahan gula,” jelas Inggrid.
Menurut
tinjauan
Tahun 2021 menurut National Library of Medicine, keuntungan kesehatan dari minum teh hijau cukup besar dan terkait erat dengan kadar senyawa antioksidan serta sifat anti-peradangan yang tinggi. Ini bisa membantu dalam pencegahan berbagai jenis penyakit dan juga mendukung kemampuan otak kita bekerja secara optimal. Mengonsumsi matcha secara rutin dapat memiliki dampak baik bagi kondisi tubuh maupun pikiran Anda. Meskipun demikian, penelitian tambahan tentunya tetap dibutuhkan untuk menguatkan hal tersebut.
Selain itu,
tinjauan
Meta-analisis yang dipublikasikan oleh European Journal of Nutrition mengungkapkan bahwa antioksidan bernama katekin, yang terdapat pada teh hijau, dapat membantu meredakan tekanan darah serta mengurangi tingkat kolesterol LDL (kolesterol buruk) dalam tubuh.
Pada saat bersamaan, Wakil Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan juga Dosen Prodi Ilmu Kesehatan Masyarakat di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Narila Mutia Nasir, menegaskan bahwa peminum matcha harus tetap berpegang pada jumlah yang sewajarnya untuk mencegah timbulnya dampak negatif bagi kesehatan.
Menurutnya lagi, matcha yang telah diproses bisa mengandung banyak gula terutama pada produk minumannya. Jika dikonsumsi secara berlebihan, matcha dapat pula bereaksi dengan beberapa jenis obat. Tambahan pula, bagi mereka yang sedang hamil atau menyusui harus mengevaluasi asupannya sebab matcha memiliki kadar kafein yang cukup tinggi walaupun masih lebih rendah dibanding kopi.
“Orang yang mengalami anemia sebaiknya tidak terlalu banyak meminum matcha, karena dapat mengurangi penyerapan zat besi dalam tubuh. Secara umum, jika dikonsumsi secara berlebihan, matcha malah bisa memiliki dampak negatif pada kesehatan seperti membuat perut menjadi tak nyaman, kesulitan tidur, dan bahkan bisa bersifat racun apabila melampaui batas amannya,” ungkap Narila saat ditemui oleh reporter Tirto, Jumat (23/5/2025).
Kabarnya popularitas matcha juga menyebabkan Jepang kesulitan memenuhi permintaan yang sangat besar di seluruh dunia.
Nikkei Asia
Baru-baru ini dilaporkan bahwa ekspor teh hijau dari Jepang pada tahun lalu telah mencapai angka 8.798 ton, yaitu sepuluh kali lebih besar dibandingkan dengan jumlah yang diekspor ke mancanegara dua puluh tahun lampir. Berdasarkan informasi dari Japan Tea Export Promotion Council, minat untuk membeli teh berbentuk serbuk, khususnya matcha, menyumbang hingga 58% dari keseluruhan ekspor.
Ini menyebabkan masalah “kekurangan matcha” muncul sejak tahun lalu. Lebih lanjut, produksi teh hijau semakin menurun di Jepang. Pada tahun 2023, total produksi teh hijau hanya mencapai 74.000 ton, berkurang 27% dibanding dengan puncaknya pada tahun 2004. Sedangkan konsumsi dalam negeri mengalami penurunan hingga 39,5%, yaitu menjadi 70.729 ton.
Meskipun demikian, permintaan akan tencha – yaitu daun yang digunakan dalam membuat matcha – malah melonjak pesar. Di tahun 2023 saja tercatat mencapai angka 4.176 ton, tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan hasil produksi pada tahun 2008. Akibatnya, beberapa merek besar penghasil matcha secara resmi menerapkan batasan jumlah pembelian bubuk teh halus ini kepada pelanggan mereka. Baik wisatawan maupun konsumen setempat di Jepang pun sering menjumpai bahwa banyak gerai telah kehabisan persediaan barang-barang tertentu.
Nikkei Asia melaporkan bahwa beberapa penyebab dari kelangkaan tersebut adalah adanya keinginan konsumen yang tinggi namun diimbangi dengan laju produksi yang lambat. Ini disebabkan oleh proses panjang dalam pembuatan bubuk matcha berkualitas premium. Tanaman teh harus tumbuh selama lima tahun untuk menghasilkan daun tencha. Selain itu, alat penggiling batu juga butuh masa satu bulan lamanya untuk diproduksi.
Namun, penyebab utamanya adalah para petani teh hijau yang kian menua.
Data
Kementerian Pertanian Jepang menyatakan bahwa terdapat lebih dari 53.000 petani pada tahun 2000, angka tersebut kemudian merosot hingga mencapai sekitar 12.353 petani di tahun 2020. Para petani tehan ini rata-rata berusia lanjut, serta jarang ditemukan pemuda yang mau melanjuti usaha mereka, sehingga banyak kebun teh yang tersisa tanpa pengelola.
Maka, apa yang akan terjadi dengan “kegemaran matcha” di Indonesia, apakah ia akan tetap berlangsung untuk waktu yang lama, atau hanya menjadi trend musim panas saja?