OKE FLORES.COM –
Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote. Slogan itu terdengar gagah, menyatukan seluruh negeri.
Namun, di ujung timur sana, di balik lautan biru Nusa Tenggara Timur (NTT), suara-suara sunyi mulai bergemuruh.
Mereka lelah menjadi penonton pembangunan. Mereka ingin menjadi pusat dari masa depan mereka sendiri.
Hari ini, NTT menggeliat.
Sebanyak 22 kabupaten/kota kompak menyuarakan satu tuntutan besar: pemekaran wilayah.
Mereka berharap untuk mendirikan tiga propinsi tambahan, dipercaya dapat menghubungkan kesetaraan dalam pengembangan, menyederhanakan pelayanan publik, serta memperkokoh rasa identitas lokal yang sebelumnya hanyalah sekadar catatan kaki dari Jakarta.
Di Belakang Kecantikan, Tersimpan Kesendirian yang tak Nampak
NTT merupakan surganya bumi untuk para pecinta alam. Pantainya yang memukau, kain tenunan yang mengagumkan, dan budaya istimewa menjadi daya tariknya.
Namun dibalik hal tersebut, masih tersimpan realitas pedih yang kerap kali dilupakan: kesulitan dalam mendapatkan akses, pembangunan yang tidak merata, serta birokrasi yang rumit.
Seorang wanita asal Sumba Barat Daya sekali waktu dengan pelan mengungkapkan, “Pergi ke Kupang bagai keluar negeri untuk kami. Tempatnya mahal, jaraknya sangat jauh, dan perjalanan menujunya sungguh melelahkan.”
Kalimat sederhana itu merangkum denyut kehidupan banyak warga NTT. Mereka ingin birokrasi yang dekat, pemimpin yang bisa disentuh, dan anggaran yang mengalir lebih merata.
Bagi mereka, pemekaran bukan sekadar peta baru, tapi harapan baru.
Tiga Provinsi Baru: Simbol Harapan dari Timur
Dari berbagai forum resmi hingga aspirasi akar rumput, tiga calon provinsi baru mulai disebut dengan penuh harap:
1. Provinsi Flores Raya
- Menyatukan jantung Pulau Flores, dari Manggarai hingga Flores Timur. Di sinilah budaya, sejarah, dan potensi alam berpadu.
2. Provinsi Alor-Lembata-Solor (ALES)
- Tampilan terbaru dari pulau-pulau kecil di timur Nusa Tenggara Timur yang sebelumnya sering dilupakan dalam proses pembangunan.
3. Provinsi Sumba Raya
- Menyampaikan tekad masyarakat Sumba yang bermaksud keluar dari keterbelakangan, serta bersikap setaraf dengan warga di wilayah-wilayah lainnya.
Setiap provinsi diajukan untuk memiliki ibukota baru yang lebih sesuai, berada dekat dengan penduduknya, serta dapat bertindak sebagai pusat perkembangan ekonomi baru.
Jakarta, Apakah Kau Mendengar?
Sebaliknya, pemerintah nasional tetap berhati-hati. Mereka menggunakan moratorium pembentukan daerah baru yang telah dijalankan sejak tahun 2014 sebagai benteng pertahanan.
Meskipun demikian, walaupun ragu-ragu Jakarta, penduduk NTT tetap melanjutkan upaya mereka. Mereka berkumpul untuk mendapatkan dukungan lebih lanjut, meminta audiensi dengan anggota DPR, dan bersiap-siap melakukan protes damai secara nasional.
Untuk penduduk NTT, perluasan wilayah merupakan masalah martabat, tidak hanya urusan administratif.
Mereka berusaha menggambarkan bahwa wilayah yang kerap disebut terbelakang ini memiliki hak untuk membangun nasibnya sendiri.
Bila pemerintah pusat membuka gerbangnya, maka babak baru dalam sejarah akan dimulai: tampilan pulau-pulau NTT bakal beralih, dan nada dari wilayah timur akan berkumandang semakin keras di pentas nasional.
Tetapi bila tetap dilupakan, catatan sejarah mengabadikan bahwa bisu-bisu dari timur dapat berubah menjadi seruan yang tidak mungkin lagi ditutup mulut. ***