– Selain limbah plastik, salah satu jenis limbah lain yang berbahaya adalah limbah organik, khususnya sisa makanan (food waste). Sisa makanan tidak hanya berasal dari tempat-tempat seperti restoran, warung, atau rumah makan, tetapi juga sering kali berasal dari rumah kita sendiri.
Indonesia pernah dijuluki sebagai negara yang menghasilkan sampah sisa makanan terbesar kedua di dunia pada tahun 2017 menurutThe Economist Intelligence Unit. Selain itu, juga telah diprediksi olehUnited Nation Environment Program(UNEP) sebagai negara yang memiliki jumlah limbah makanan terbanyak di Asia Tenggara.
Banyaknya sampah sisa makanan yang terjadi berkaitan dengan kebiasaan gaya hidup dan cara mengelola makanan dalam masyarakat. Gaya hidup yang boros menciptakan istilah “lapar mata” di mana orang membeli makanan bukan karena lapar, melainkan karena pengaruh tampilan atau keinginan. Selain itu, pengelolaan makanan juga dipengaruhi oleh budaya dan perencanaan yang tidak tepat.
Tolong support kita ya,
Cukup klik ini aja: https://indonesiacrowd.com/support-bonus/
Namun terdapat penjelasan psikologis mengapa kita sering menghasilkan sisa makanan. Beberapa alasan psikologis tersebut antara lain, sebagaimana dikutip dariresearchgate.net, sciencedirect.com, infid.org, dan govinsider.asia.
1. Emosi Negatif Memicu Tindakan yang Menghasilkan Sampah Makanan
Sejauh ini kita menganggap bahwa saat mengonsumsi makanan, semua emosi negatif akan hilang. Namun berdasarkan artikel penelitian yang berjudulMembawa Kebiasaan dan Emosi Ke Dalam Perilaku Pemborosan Makanan,disebutkan bahwa keyakinan tersebut menjadi hipotesis dalam penelitian patah.
Justru ironisnya, dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa emosi negatif seperti rasa bersalah atau frustrasi dapat mendorong seseorang untuk melakukan tindakan merusak, termasuk saat mengonsumsi makanan dan minuman. Hal ini terjadi karena ada beberapa kebutuhan yang tidak terpenuhi, sehingga orang memilih jalan pintas dengan mengonsumsi sesuatu.
2. Pengendalian Diri yang Kurang Memadai akibat Sifat Impulsif
Mengonsumsi atau menyediakan makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan menunjukkan adanya kecenderungan seseorang memiliki kemampuan mengendalikan diri yang rendah karena tidak mampu mengatasi hasrat. Seseorang dengan kontrol diri yang lemah akhirnya akan mengalami kesulitan dalam membuat pilihan.
Dari segi penggunaan, kita dapat mengevaluasi sejauh mana kemampuan kita mengendalikan diri melalui berbagai promo dan diskon. Berdasarkan penelitian Agung Budi Leksono dan Yuanqiong He, pendekatan diskon dan promosi bisa memicu keinginan spontan yang berpotensi menyebabkan pembelian berlebihan serta konsumsi makanan yang berlebihan.
3. Prasangka Terhadap Makanan yang Akan Habis
Sering kali saat memasak atau membeli makanan, seseorang mengatakan “Pesan banyak saja nanti juga akan habis”. Keyakinan ini dikenal sebagaibias optimismatau keyakinan yang terlalu percaya diri dan mengabaikan dampak buruknya.
Sebuah studi yang dilakukan oleh peneliti dari Universitas Surrey menunjukkan bahwa individu dengan tingkat optimisme yang tinggi berisiko tiga kali lebih besar untuk membuang makanan.
Dengan memahami penjelasan psikologis mengapa banyak orang masih menyisakan makanan hingga menghasilkan sampah makanan, kita dapat membuat keputusan yang lebih bijak agar masalah sampah sisa makanan tidak semakin memperburuk perubahan iklim dan merugikan lingkungan. (*)