news  

Berikut adalah rephrasing dari judul tersebut dalam Bahasa Indonesia yang lebih menarik dan tetap menjaga maknanya: **”Bayi Tikus dari Dua Ayah Tumbuh Sehat dan Subur”** Jika ingin nuansa yang lebih mencengangkan atau berita sains populer: **”Tikus Jantan Punya Anak dengan Dua Ayah, Tumbuh Subur!”** Silakan pilih versi yang sesuai dengan konteks dan nada berita yang ingin disampaikan.

Berikut adalah rephrasing dari judul tersebut dalam Bahasa Indonesia yang lebih menarik dan tetap menjaga maknanya:

**”Bayi Tikus dari Dua Ayah Tumbuh Sehat dan Subur”**

Jika ingin nuansa yang lebih mencengangkan atau berita sains populer:

**”Tikus Jantan Punya Anak dengan Dua Ayah, Tumbuh Subur!”**

Silakan pilih versi yang sesuai dengan konteks dan nada berita yang ingin disampaikan.





,


Jakarta


– Untuk pertama kalinya,

tikus

yang lahir dari dua ayah berhasil memiliki anak atau keturunannya sendiri. Perjalanan hidup si tikus menandai sebuah langkah signifikan menuju teknologi yang memampukan dua pria untuk memiliki anak-anak yang kepadanya mereka saling terhubung secara genetik.

Keberhasilan itu dicatatkan oleh Yanchang Wei, peneliti obstetri dan ginekologi di Fakultas Kedokteran di Shanghai Jiao Tong University, Cina. Dia dan timnya menempatkan dua sel sperma secara bersamaan dalam sebuah sel telur yang intinya (nukleus) telah disingkirkan. Mereka kemudian menggunakan sebuah metode yang disebut

epigenome editing

untuk memprogram ulang tujuh situs dalam DNA sperma yang dibutuhkan untuk embrio bisa berkembang.

Dari 259 embrio yang bisa diciptakan dari teknik itu, yang kemudian ditransfer ke rahim tikus betina, hanya dua–keduanya jantan–yang berhasil bertahan hidup dan tumbuh menjadi tikus dewasa. Keduanya kemudian menjadi ayah untuk anak-anaknya sendiri setelah masing-masing kawin dengan tikus betina.

Anak-anaknya itu, seperti dilaporkan

New Scientist

dalam artikel yang terbit pada 23 Juni 2025, “Terlihat normal dalam ukuran, berat, dan fisiknya.” Laporan penelitian ini juga telah dipublikasi dalam

Jurnal PNAS

pada tanggal yang sama.

Menciptakan tikus dengan dua ayah telah terbukti jauh lebih sulit daripada menciptakan tikus dengan dua ibu. Tikus subur pertama yang lahir dari dua ibu adalah Kaguya, dilaporkan pada 2004 lalu.

Pada Kaguya, tim peneliti harus melakukan modifikasi genetik. Tapi, pada 2022, Wei dan timnya mampu menciptakan kelahiran tikus lain yang tak memiliki ayah hanya dengan menggunakan

epigenome editing

, yang ini tak membutuhkan pengubahan urutan DNA (rekayasa genetik). Metode yang sama yang belakangan digunakan untuk kelahiran tikus tanpa ibu.

Menciptakan kelahiran mamalia hanya dengan dua pejantan, atau hanya dengan dua betina, adalah sebuah langkah yang signifikan. Alasannya adalah sebuah fenomena yang disebut

imprinting

, sebuah proses pembelajaran cepat yang muncul pada masa kritikal dalam kehidupan hewan. Fenomena ini terkait dengan fakta bahwa kebanyakan hewan memiliki dua kromosom, satu dari ibu dan satu dari ayah.

Saat pembentukan sel telur dan sperma, label-label kimia ditambahkan ke kromosom-kromosom ini yang memprogram beberapa gen menjadi aktif dan yang lain tak aktif. Perubahan-perubahan ini disebut ‘epigenetik’ karena mereka tidak mengubah urutan DNA yang mendasar, tapi label-label dapat tetap diwariskan ketika sel-sel membelah, yang berarti efek mereka dapat bertahan sepanjang hidup.

Yang krusial, pemrograman epigenetik para ibu berbeda dari para ayah. Sebagian gen yang dilabelkan sebagai ‘on’ dalam sperma dilabelkan sebagai ‘off’ dalam sel telur. Atau sebaliknya. Ini berarti bahwa jika sebuah telur mempunyai dua kromosom maternal, atau dua kromosom paternal, dia tidak dapat berkembang secara normal.

Dalam kasus Kaguya, para peneliti bisa mengatasinya dengan menghapus satu bagian gen untuk membuat aktivitas gen keseluruhan lebih normal. Tapi, menciptakan tikus dengan dua ayah ternyata membutuhkan lebih banyak tantangan.

Sebelumnya, masih pada tahun ini, satu tim peneliti berbeda di Cina berhasil menciptakan kelahiran beberapa ekor tikus hanya dengan dua ayah. Mereka tumbuh menjadi dewasa setelah tim penelitinya melakukan 20 rekayasa genetik untuk menormalkan aktivitas gen mereka. Sayangnya, tikus-tikus itu tak sepenuhnya sehat atau subur.

Sementara mengoreksi aktivitas gen via rekayasa genetik berguna untuk mempelajari imprinting dalam laboratorium hewan, teknik yang sama tak dapat diterima jika diterapkan kepada manusia. Alasannya, efek-efek dari perubahan genetik tak sepenuhnya dipahami.

Untuk pendekatan epigenetik yang dilakukannya, Wei dan timnya menggunakan bentuk modifikasi dari protein CRISPR yang biasanya digunakan untuk edit gen. Sama halnya protein CRISPR yang standar, bentuk rekayasa bisa dibuat untuk mencari situs spesifik di genom. Ketika menemukannya, protein yang dimodifikasi itu menambahkan atau menyingkirkan label-label epigenetik ketimbang mengubah DNA.

Studi ini, diakui peneliti genetika molekuler dari University College London, Helen O’Neill, adalah sebuah langkah maju yang besar. “Ini mengonfirmasi bahwa

genomic imprinting

adalah halangan utama untuk reproduksi uni parental pada mamalia dan menunjukkan ini bisa diatasi.”

Karena tidak melibatkan rekayasa genetika, pendekatan

epigenome editing

dapat, pada prinsipnya, digunakan untuk memungkinkan pasangan sejenis untuk memiliki anak dari genetis mereka sendiri. Meski begitu, Christophe Galichet, seorang manajer operasi riset di Fasilitas Riset Neurobiologis di Sainsbury Wellcome Centre, Inggris, menyatakan tingkat keberhasilannya harus jauh lebih tinggi sebelum teknik dicoba ke manusia.

Ada beberapa alasan kenapa tingkat keberhasilannya saat ini rendah. Di antaranya adalah mengombinasikan dua sel sperma berarti seperempat embrio akan memiliki dua kromosom Y dan mereka tidak akan bisa berkembang.

Lainnya adalah

epigenome editing

yang hanya bisa dikerjakan di seluruh tujuh situs dalam sebuah proporsi kecil embrio, dan perlakuan ini mungkin memiliki efek samping dalam beberapa kasusnya. Yang juga menjadi isu adalah sedikit saja perbedaan situs-situs itu pada seseorang akan sangat berpengaruh pada hasilnya.

Lalu, jika bayi manusia dari dua ayah bisa tercipta, bayi itu akan secara teknis menjadi bayi dengan tiga orang tua. Penyebabnya, mitokondria dalam sel-selnya, yang mengandung sejumlah kecil DNA, berasal dari pendonor sel telur.

Pada 2023, satu tim peneliti di Jepang mengumumkan kelahiran bayi tikus dengan dua ayah menggunakan teknik yang berbeda lagi, melibatkan pengubahan sel tunas tikus menjadi sel telur. Namun, tidak jelas apakah bayi-bayi tikus itu bisa bertahan hidup sampai dewasa, dan sejauh ini belum ada yang mampu mengubah sel punca manusia menjadi sel telur.


Muhammadiyah Jawab Kritik Profesor Astronomi Soal Kalender Hijriah Global