,
Jakarta
–
Gejolak di Timur Tengah kembali mengguncang pasar energi global. Serangan Israel terhadap Iran pada 13 Juni 2025 memicu lonjakan
harga minyak dunia
secara signifikan. Setelah serangan itu, harga minyak tercatat mencapai US$ 75 per barel dan merupakan yang tertinggi sepanjang tahun ini.
Mengapa konflik Israel dengan Iran mengerek harga minyak dunia. Menurut mantan Menteri ESDM
Arcandra Tahar
, konflik kedua negara bisa dilihat dari persepsi geopolitik negara penghasil minyak lainnya di Timur Tengah.
Faktor geopolitik inilah, kata Arcandra, yang mempengaruhi persepsi pasar yang terbentuk dari situasi politik yang tidak menentu. Menurut dia, dalam melihat gejolak harga minyak ini tidak bisa berkaca pada sisi
supply
dan
demand
saja.
“Kenaikan ini bukan semata-mata akibat perubahan pasokan dan permintaan,” kata Arcandra dalam postingannya, Ahad, 22 Juni 2025.
Tempo
sudah diizinkan mengutip penjelasan tersebut.
Arcandra mengatakan fenomena ini menunjukkan betapa volatilnya harga minyak dunia yang sangat sensitif terhadap isu geopolitik. Ia membandingkan dengan peristiwa sebelumnya saat Presiden AS Donald Trump mengumumkan kenaikan tarif impor pada April 2025 yang menyebabkan harga minyak justru turun tajam dalam dua bulan.
“Sebelum Presiden Trump mengumumkan kenaikan tarif, kondisi suplai minyak mentah sedikit di atas demand. Untuk menstabilkan harga, OPEC+ sudah berencana untuk memotong sisi suplai agar harga minyak bisa pada kisaran antara US$75 dan US$80 per barrel sampai akhir tahun 2025,” ujarnya
Ia melanjutkan, sebelum OPEC+ melakukan rencana aksi itu, Presiden Trump mengumumkan kenaikan tarif yang sangat mengejutkan. Padahal, kata dia, saat itu suplai dan permintaan minyak tidak berubah tapi tetap menimbulkan gejolak harga. “Yang memicu gejolak harga yaitu persepsi para
trader
bahwa ke depan pertumbuhan ekonomi akan melambat yang mengakibatkan berkurangnya
demand
. Sehingga harga minyak mentah menjadi turun,” kata dia.
Untuk itu, Arcandra mengatakan faktor persepsi pelaku pasar menjadi kunci utama dalam fluktuasi harga energi saat ini. Dalam kasus konflik Iran-Israel, kata dia, para
trader
juga mengantisipasi potensi terganggunya pasokan minyak dari Iran yang memproduksi sekitar 3,3 juta barel per hari (bopd) dan mengekspor sekitar 2 juta bopd.
Iran, kata Arcandra, menyimpan cadangan minyak terbesar ke-8 dan gas terbesar ke-4 di dunia. Konflik di wilayah ini akan berdampak besar terhadap stabilitas energi global. “Kalau fasilitas migas Iran terganggu, sekitar 3 persen dari suplai minyak dunia bisa terdampak. Ini bukan angka kecil,” ujarnya.
Selain itu, ia melanjutkan, risiko penutupan Selat Hormuz yang merupakan jalur penting bagi 20 persen ekspor minyak dan LNG dunia bisa memicu gejolak harga lebih serius. Jika jalur tersebut terganggu, harga minyak bisa melonjak tajam. “Kalau Selat Hormuz sampai ditutup, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi. Ada yang memprediksi harga minyak bisa tembus di atas US$ 90 per barel,” kata Arcandra.