Apa yang Membuat Aceh Berjuang Sengit Melawan Belanda? Temukan Semangat di Balik Perlawanan Mereka!

Apa yang Membuat Aceh Berjuang Sengit Melawan Belanda? Temukan Semangat di Balik Perlawanan Mereka!


Belanda membutuhkan waktu lebih dari 30 tahun untuk mengalahkan rakyat Aceh dalam Perang Aceh. Itu pun setelah mereka melakukan berbagai taktik, termasuk mengirim Snouck Hurgonje.




hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini




Online.com –

Cukup banyak sumber yang menyebut bagaimana babak belurnya Belanda menghadapi perlawanan masyarakat Aceh dalam Perang Aceh. Meskipun pada akhirnya memenangkan pertempuran, Belanda menanggung kerugian yang tak terperkirakan.

Mengapa Aceh begitu gigih melawan Belanda? Semangat apa yang melandasi perjuangan mereka?

Perang Aceh berlangsung cukup lama, dari 1873 hingga 1904 — itu pun setelah 1904 perlawanan tidak kunjung mereda. Beberapa sumber mencatat bahwa Perang Aceh adalah salah satu perang terlama di dunia.

Perang Aceh terjadi berawal dari keinginan Belanda untuk menguasai seluruh wilayah Sumatera. Tapi karena kurangnya informasi yang mereka punya, Belanda cukup kerepotan menghadapi kesultanan Aceh. Itu belum termasuk sulitnya medan yang harus dilalui oleh Belanda.

Belanda ingin menguasai Aceh. Dengan menguasai Aceh, mereka bisa memperkuat kedudukannya, terutama untuk terlibat dalam perdagangan dunia sejak dibukanya Terusan Suez pada 1869.

Pada 17 Maret 1824, Inggris dan Belanda sudah sepakat tentang pembagian wilayah jajahan di Indonesia dan Semenanjung Malaya. Dalam kesepakatan tersebut Belanda disebut tidak dapat mengganggu kemerdekaan Aceh.

Meski dalam praktiknya, Belanda tetap berusaha melancarkan serangan terhadap Aceh yang jauh dari ibu kota. Tapi di sisi lain, Sultan Aceh terus meningkatkan kewaspadaannya dan bersiap menghadapi segala konsekuensi yang akan dihadapinya.

Pada 1871, terjadi penandatangan Traktat Sumatra antara Inggris dan Belanda yang semakin membuat Aceh khawatir. Di situ disebutkan bahwa Belanda diberi kebebasan untuk memperluas wilayah di seluruh Sumatera, termasuk Aceh.

Setelah itu, Belanda melancarkan agresinya pada 5 April 1873 dipimpin Jenderal JHR Kohler. Pasukan Aceh yang terdiri atas para ulebalang, ulama, dan rakyat terus mendapat gempuran dari pasukan Belanda.

Pertempuran sengit di antara keduanya berlangsung dalam upaya memperebutkan Masjid Raya Baiturrahman. Namun, pasukan Aceh terus melakukan perlawanan, hingga pada akhirnya Jenderal JHR Kohler tewas di tangan pasukan Aceh.

Kematian Kohler ini membuat pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur ke pantai. Belanda kembali melakukan penyerangan pada 9 Desember 1873 di bawah pimpinan Jan van Swieten. Dalam serangan kedua ini, Belanda berhasil membakar Masjid Raya Baiturrahman dan menduduki Keraton Sultan.

Sementara itu, pasukan Aceh terus menjaga pantai utara dan timur yang menjadi tempat masuknya kapal-kapal asing. Pun begitu dengan jalur darat di selatan dan pantai barat yang tidak kalah ketat dari penjagaan pasukan Kerajaan Aceh.

Untuk menghancurkan pertahanan, Belanda berusaha menghancurkan perkampungan dan pelabuhan dengan melakukan tembakan meriam. Tak hanya itu, Belanda juga memanfaatkan orang-orang yang mudah diperalat untuk menjalankan siasat pecah belah.

Meskipun demikian, nyatanya pasukan Aceh tetap tak mundur. Mereka justru semakin mempersatukan kekuatan mereka dengan semaksimal mungkin dalam melawan Belanda. Selain itu, rakyat Aceh juga tidak mudah terbuai dengan adu domba yang dilakukan Belanda.


Kegigihan rakyat Aceh

Salah satu alasan mengapa Perang Aceh berlangsung begitu lama salah satunya adalah kegigihan rakyat Aceh dalam melawan penjajah. Berbagai macam cara dilakukan mereka untuk mengusir Belanda dari tanahnya, di antaranya dengan taktik perang gerilya.

Perang gerilya adalah strategi militer untuk berperang dengan cara bersembunyi, berpindah tempat secara cepat dan senyap. Tujuan taktik perang gerilya dilakukan adalah memecah konsentrasi musuh. Dalam perang Aceh, taktik perang gerilya baru digunakan pada 1881, yang dipimpin oleh Teuku Umar sampai akhir masa pertempuran tahun 1904.

Rupanya taktik itu cukup membuat Belanda gelagapan. Taktik perang gerilya juga menjadi lebih efektif karena didukung oleh kondisi alam Aceh yang bergunung-gunung dan dikelilingi hutan lebat sehingga memudahkan rakyat Aceh untuk bersembunyi dan berlindung dari Belanda.

Perang gerilya benar-benar membuat Belanda kerepotan.

Selain itu, sebagaimana disebut di awal, di antara yang membuat Belanda begitu susah menaklukkan Aceh adalah karena mereka kekurangan informasi tentang masyarakat Aceh. Untuk menghadapi taktik perang gerilya, Belanda sempat menerapkan strategi konsentrasi stelsel dengan cara memusatkan pasukan supaya lebih terkumpul.

Tapi, cara ini masih belum dianggap efektif untuk bisa menangani rakyat Aceh. Karena itulah dilakukan strategi lain agar bisa mendapat informasi lebih dalam tentang rakyat Aceh dengan cara mengirimkan salah seorang Penasehat Urusan Pribumi asal Belanda bernama Snouck Hurgronje.

Singkat cerita, Hurgronje kemudian menyamar selama dua tahun untuk mengkaji seluk beluk kehidupan sekaligus semangat perjuangan rakyat Aceh. Berdasarkan penelitiannya, Hurgronje menyamar menggunakan nama Abdul Gafar.

Dia pun mendapat informasi bahwa kekuatan utama Aceh terletak pada para ulama. Seusai mendapat informasi tersebut, Belanda langsung menerapkan siasat baru, termasuk membentuk Korps Marchausse.

Korps Marchausse adalah pasukan yang terdiri dari rakyat pribumi yang berada di bawah pimpinan opsir-opsir Belanda. Setelah berperang selama lebih dari 30 tahun, akhirnya Belanda berhasil mematahkan strategi perang gerilya dengan siasatnya tersebut. Perang Aceh berakhir pada 1904, tetapi semangat juang rakyatnya masih terus berlanjut hingga masa pendudukan Jepang.


Semangat Perang Sabil

Satu lagi yang membuat Belanda kesusahan menaklukkan Aceh, semangat Perang Sabil yang diusung oleh masyarakat Aceh. Menurut rakyat Aceh, perang melawan Belanda adalah perang melawan orang kafir dan semangat itu benar-benar bikin kalang kabut Belanda.

Semangat itu terpotret dalam Hikayat Perang Sabil atau Hikayat Prang Sabi (ditulis 1881). Hikayat Prang Sabi berisi empat buah kisah, yaitu kisah Ainul Mardliyah, kisah pasukan gajah, kisah Sa’id Salmy, dan kisah Muhammad Amin (budak mati hidup kembali).

Mengutip Gramedia, salah satu bagian yang paling penting dari Hikayat Prang Sabi adalah mukadimah atau pendahuluan. Bagian yang juga berbentuk syair ini menunjukkan secara jelas tujuan dari penulisan Hikayat Prang Sabi yang berhubungan dengan perang melawan Belanda: diawali dengan puji-pujian kepada Allah SWT lalu dilanjutkan dengan seruan-seruan melakukan perang sabil melawan kaum kafir.

Hikayat Prang Sabi ditulis oleh Teungku Chiek Pante Kulu. Berikut kutipan Hikayat Perang Sabil yang ditulisnya.


Nyoe keuh prang sabi beu tatukri aduen-adoe


Soe na ibadat cit seulamat, teungkue baranggasoe.


Teungku ditiroe nyang keumarang, mangat dum tatusoe.

Yang artinya:


Inilah hikayat perang, ialah perang sabil, agar mengerti adik-abang


Yang beribadah akan selamat, Anda semua siap pun jua


Teungku di Tiro yang mengarang supaya Anda mengenalinya.

Begitulah mengapa Belanda begitu kesulitan mengalahkan rakyat Aceh dalam Perang Aceh. Selain karena minimnya informasi, sulitnya medan, Belanda juga harus menghadapi semangat perang sabil yang menjadi pengobat semangat rakyat Aceh melawan mereka.



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com