Aliansi Pegiat Literasi Bandung Soal Buku Jadi Barang Bukti: Bukan Alat Kejahatan

Aliansi Pegiat Literasi Bandung Soal Buku Jadi Barang Bukti: Bukan Alat Kejahatan

PIKIRAN RAKYAT – Aliansi Pegiat Literasi Bandung buka suara atas dijadikannya buku sebagai barang bukti penangkapan orang muda yang disebut Polda Jabar sebagai peserta aksi demonstrasi pada Agustus-September 2025. Mereka menegaskan, melawan kriminalisasi buku dan pikiran.

Aliansi Pegiat Literasi Bandung menegaskan, hingga kini, tidak ada pertanggungjawaban yang jelas atas tindakan sewenang-wenang tersebut.

“Kita tidak boleh tinggal diam,” katanya, Ahad, 12 Oktober 2025. “Buku-buku yang seharusnya menjadi ruang berpikir dan sumber pengetahuan dipajang di meja barang bukti sejajar dengan batu dan molotov. Adegan itu bukan sekadar kekeliruan prosedural, melainkan bentuk nyata kriminalisasi pikiran. Negara memilih menebar rasa takut alih-alih membuka ruang berpikir. Buku ditempatkan dalam panggung kriminalitas.”

(Support us with click the banner above)

Aliansi Pegiat Literasi Bandung memandang, tindakan tersebut sudah meruntuhkan fondasi pendidikan dan kebebasan berpikir di ruang publik.

“Masyarakat dipaksa menghakimi isi buku dari sampul dan kesan visual, bukan melalui dialog dan pembacaan kritis,” kata dia. “Ketika buku puisi patah hati dan poster demotivasi diperlakukan sebagai barang bukti kriminal oleh Kepolisian Daerah Jawa Barat, teranglah bahwa penyelidikan dilakukan berbasis prasangka, bukan hukum.”

Buku, katanya, tidak memiliki makna tunggal; penafsirannya selalu terbuka dan berbeda-beda. Bahkan, kritik sastra dan teori pembacaan merupakan cabang ilmu pengetahuan dengan sejarah panjang. Ilmu tersebut tak dimiliki aparat penegak hukum untuk secara sahih menentukan pengaruh suatu bacaan terhadap tindakan seseorang.

“Dalam hukum pidana, yang dapat dihukum hanyalah perbuatan, bukan pikiran atau bacaan,” ujarnya. “Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menegaskan: “Nullum crimen sine lege, nulla poena sine lege” — tidak ada perbuatan yang dapat dipidana tanpa dasar hukum.”

Aliansi Pegiat Literasi Bandung juga menegaskan kalau membaca, menyimpan, atau menerbitkan buku yang beredar sah tidak pernah menjadi tindak pidana. “Menarik buku ke meja barang bukti adalah tindakan yang kehilangan dasar hukum dan merusak prinsip-prinsip legalitas,” tutur dia tegas.

Selain itu ditegaskan pula kalau asas pertanggungjawaban pidana juga bersifat individual: seseorang hanya dapat dihukum atas perbuatannya sendiri.

“Menggeser logika ini ke wilayah kesan budaya sama saja dengan menggantikan hukum dengan prasangka,” ujar dia. “Ketika prasangka diperlakukan sebagai pasal, runtuhlah akal sehat hukum dan jaminan konstitusional warga untuk berpikir.”

Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menguak kalau konstitusi Indonesia menjamin, hak warga negara untuk mencari, memperoleh, menyimpan, dan menyampaikan informasi.

Begitu pula kebebasan berpendapat dan berkumpul yang diatur dalam Pasal 28E ayat (3) .

“Selain itu, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam Putusan No. 6-13-20/PUU-VIII/2010 telah mencabut kewenangan jaksa agung untuk melarang buku secara administratif,” tuturnya.

Pembatasan terhadap buku, tuturnya, cuma bisa dilakukan melalui proses peradilan yang ketat, bukan tafsir sepihak aparat keamanan.

Pernyataan Sikap

Aliansi Pegiat Literasi Bandung menyatakan:

  1. Mengecam dan menolak keras tindakan aparat yang menjadikan buku sebagai barang bukti dalam proses kriminalisasi terhadap demonstran dan pegiat literasi.
  2. Mendesak aparat penegak hukum untuk menyampaikan pertanggungjawaban publik atas penyitaan buku-buku bacaan satu bulan lalu.
  3. Menuntut pengembalian seluruh buku dan materi bacaan yang disita, serta jaminan bahwa tidak ada penerbit, pembaca, atau penyimpan buku yang akan dikriminalisasi.
  4. Menyerukan pemerintah dan lembaga negara terkait untuk menjamin tegaknya hak konstitusional atas kebebasan berpikir, berekspresi, dan memperoleh informasi.
  5. Mendorong masyarakat, komunitas literasi, akademisi, dan media untuk terus mengawasi, mengingat, dan bersuara agar praktik kriminalisasi pikiran tidak menjadi kebiasaan negara.

“Buku bukan peluru. Buku bukan alat kejahatan. Buku adalah pengetahuan. Mengkriminalisasi buku berarti mengkriminalisasi nalar,” ujarnya. “Dan mengkriminalisasi nalar adalah pintu masuk bagi otoritarianisme.”