news  

Akademisi Kritik Kurangnya Komitmen Partai dalam Perjuangkan Keterwakilan Perempuan di Parlemen

Peran Partai Politik dalam Meningkatkan Keterwakilan Perempuan di Parlemen

Ketua Cakra Wikara Indonesia (CWI) sekaligus dosen FISIP UI, Anna Margret Lumban Gaol, menilai bahwa partai politik belum menunjukkan keseriusan dalam memperjuangkan keterwakilan perempuan di parlemen. Hal ini disampaikan olehnya saat menjadi ahli dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (8/7/2025).

Anna menekankan pentingnya membedakan antara peningkatan jumlah perempuan dan penguatan posisi perempuan dalam lembaga legislatif. Ia mencontohkan, upaya menempatkan perempuan secara merata di semua komisi dan alat kelengkapan dewan (AKD) adalah bagian dari penguatan keterwakilan.

Tolong support kita ya,
Cukup klik ini aja: https://indonesiacrowd.com/support-bonus/

“Sementara penguatan merujuk pada penambahan daya, posisi tawar dan kemampuan. Upaya menempatkan lebih banyak anggota DPR perempuan secara seimbang dan merata di semua komisi bahkan seluruh AKD adalah upaya meningkatkan keterwakilan perempuan,” jelasnya.

Menurut Anna, kebutuhan untuk mendorong minimal 30 persen perempuan di unsur pimpinan AKD bukan semata soal kehadiran perempuan. Melainkan tentang memberikan ruang pengaruh yang lebih kuat dalam proses pengambilan kebijakan.

Ia menegaskan, partai politik seharusnya bertanggung jawab atas penguatan peran perempuan dalam politik. Namun kenyataannya, data pencalonan perempuan dalam pemilu dan keterwakilan dalam kepengurusan partai menunjukkan ketidakseriusan partai menjalankan amanat kesetaraan gender.

“Dalam rentang pemilu 2004 hingga 2019 ada pasal afirmasi pencalonan perempuan pada UU Pemilu. Meski begitu pasal afirmasi pada UU Pemilu sifatnya imbauan,” tuturnya.

Support us — there's a special gift for you.
Click here: https://indonesiacrowd.com/support-bonus/

“Penguatan implementasi pasal afirmasi yang punya daya desak hanya ada dalam peraturan teknis PKPU,” sambungnya.

Isu Utama dalam Pengajuan Uji Konstitusionalitas

Perkara ini teregister dalam Nomor 169/PUU-XXII/2024 diajukan oleh Koalisi Perempuan Indonesia bersama Perludem, Kalyanamitra, dan Titi Anggraini. Mereka menguji konstitusionalitas sejumlah pasal dalam UU MD3. Permohonan ini diajukan karena para pemohon merasa hak konstitusional mereka dirugikan akibat rendahnya keterwakilan perempuan dalam kepemimpinan alat kelengkapan dewan (AKD) periode 2024–2029.

Dalam permohonannya, para pemohon menyoroti dua isu utama, yaitu tidak diaturnya keterwakilan perempuan di posisi pimpinan AKD dan belum adanya distribusi anggota perempuan secara proporsional dalam AKD.

Beberapa poin penting yang disampaikan oleh Anna dalam sidang tersebut mencerminkan kekhawatiran terhadap ketidakadilan dalam representasi perempuan di berbagai lembaga legislatif. Ia menekankan bahwa keterwakilan perempuan tidak cukup hanya dengan jumlah, tetapi juga dengan posisi dan pengaruh yang nyata dalam pengambilan kebijakan.

Tantangan dalam Implementasi Kebijakan Kesetaraan Gender

Selain itu, Anna juga menyampaikan bahwa kebijakan yang ada sering kali hanya bersifat sebagai imbauan, bukan aturan yang wajib diikuti. Hal ini membuat partai politik kurang memiliki insentif untuk memenuhi target keterwakilan perempuan secara proporsional.

Ia menyarankan agar pemerintah dan lembaga terkait melakukan evaluasi terhadap mekanisme yang ada, termasuk peraturan teknis seperti PKPU, agar bisa memberikan dampak nyata dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen.

Dengan demikian, keterlibatan aktif partai politik dalam memastikan bahwa perempuan memiliki peran yang sama dalam pembuatan kebijakan menjadi sangat penting. Tanpa komitmen yang kuat dari partai, upaya untuk menciptakan sistem yang adil dan setara akan sulit tercapai.

Langkah yang Diperlukan untuk Mencapai Kesetaraan

Untuk mencapai kesetaraan, diperlukan langkah-langkah strategis yang melibatkan berbagai pihak, termasuk partai politik, lembaga legislatif, dan masyarakat sipil. Salah satu cara adalah dengan memperkuat regulasi yang mengatur keterwakilan perempuan di berbagai posisi penting dalam lembaga legislatif.

Selain itu, pendidikan dan pelatihan bagi perempuan politik juga menjadi hal penting. Dengan meningkatkan kapasitas dan kemampuan perempuan dalam berpolitik, mereka dapat lebih efektif dalam menyampaikan aspirasi dan kepentingan masyarakat.

Penting juga untuk melibatkan perempuan dalam proses pengambilan kebijakan, baik dalam bentuk partisipasi langsung maupun melalui organisasi masyarakat. Dengan demikian, keterwakilan perempuan tidak hanya sebatas pada jumlah, tetapi juga pada pengaruh dan kontribusi nyata dalam pembangunan nasional.