CHANELSULSEL.COM-
Sudah lebih dari 25 tahun, Ibu Ida memulai paginya dengan menatap jeriken kosong di sudut rumah.
Di tempat tinggalnya, di Buloa, Tallo, Kota Makassar, air bersih tak pernah benar-benar hadir.
Setiap hari, ia harus mendorong gerobaknya menuju sumur galian milik Pekerjaan Umum (PU) untuk mengambil air mandi dan mencuci. Untuk minum, ia membeli air ledeng seharga Rp1.000 per jeriken.
Sudah lebih dari dua dekade keluarganya menjalani rutinitas ini.
Di rumahnya, kran hanya menjadi penghias dinding. Air bersih yang semestinya menjadi hak dasar, berubah menjadi sesuatu yang harus dibeli setiap hari.
Saat ini warga di Kecamatan Tallo, khususnya di Buloa, Makam Raja-Raja Tallo, dan di Galangan Kapal hanya mengandalkan air sumur bor dan air ledeng yang dibeli dari depot.
Salah satu warga Buloa, Ibu Ida mengatakan air sumur bor biasanya digunakan untuk keperluan mandi, mencuci, dan pekerjaan rumah tangga lainnya, sedangkan air ledeng lebih sering digunakan untuk kebutuhan konsumsi seperti memasak dan minum karena
dianggap lebih bersih dan aman.
“Air ledeng itu Rp1.000 per jeriken. Air sumur lebih murah lagi. Air sumur bor
untuk mandi, air ledeng untuk minum,” Tuturnya.
Dalam sehari, jika membeli tiga gerobak air, biaya yang dikeluarkan bisa mencapai Rp9.000.
Belum termasuk pembelian air galon untuk minum yang harganya sekitar Rp25.000 setiap pekan.
Dalam sebulan, pengeluaran air di keluarga Ibu Ida bisa mencapai Rp300 ribu hingga Rp400 ribu, nominal yang cukup besar bagi keluarga berpenghasilan harian.
Tak hanya soal harga, persoalan lainnya adalah jarak dan tenaga yang harus dikeluarkan. Setiap pagi, Ibu Ida bersama tetangga di tempat tinggalnya mendorong gerobak berisi jeriken kosong menuju sumur galian milik PU yang ada di rumah warga.
“Tempat mengambil air di sumur PU. Dibayar juga karena perawatannya,
ambilnya yang susah, susah dorong, susah apa,” tambahnya.
Antrean di sumur itu sering panjang. Jika terlambat, mereka harus menunggu lama di bawah terik matahari agar bisa mendapatkan giliran mengisi jeriken untuk dibawa pulang, apalagi jika memasuki musim kemarau, mereka bahkan mengantri dari subuh hingga malam demi mendapatkan air bersih.
Dari kajian WALHI Sulawesi Selatan pada tahun 2024, justru pelanggan PDAM paling banyak berada di wilayah utara Kota Makassar, termasuk Tallo.
Namun distribusi air lebih banyak mengalir ke barat kota yang dipenuhi hotel, pusat belanja, dan industri.
Slamet Riyadi dari WALHI Sulsel mengatakan, pasokan air tampak lebih banyak disalurkan ke wilayah barat kota, seperti kawasan Pantai Losari.
Hal ini tidak lepas dari keberadaan sejumlah hotel dan pusat-pusat bisnis yang membutuhkan suplai air dalam
jumlah besar.
Sementara itu, wilayah utara Makassar, seperti Kecamatan Tallo, justru mengalami kekurangan pasokan air bersih.
“Yang menjadi anomalinya justru karena pelanggan terbanyak itu di utara, tapi
sedikit di keseluruhkan air dibandingkan di bagian barat,” katanya.
Ia menambahkan, ketidakmerataan distribusi air ini turut memunculkan praktik depot depot swasta yang mengambil suplai Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) untuk dijual kembali, menggantikan fungsi layanan publik yang seharusnya diberikan langsung kepada warga.
“Nah itu tadi, di komersilkan rata-rata mereka biasanya punya akses, baik itu
kenalan misalnya ke PDAM.
Karena kan persoalannya kalau misalnya dianggap bahwa tidak ada air, kan tapi ada yang rumahnya ada rumah air,”tambahnya.
Hal itu membuat air bersih, yang seharusnya menjadi hak dasar warga dan disediakan secara adil, justru hanya bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki kedekatan atau kemampuan membeli.
Krisis air bersih di Tallo tak hanya soal ekonomi. Ini adalah persoalan hak-hak dasar anak dan perempuan yang semestinya dilindungi negara.
Di pemukiman sekitar Buloa, anak-anak sudah terbiasa membantu orang tua mereka mengambil air sejak subuh hingga malam hari.
Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (Lapar) Sulawesi Selatan, Putra
mengatakan, aktivitas pengangkutan air berlangsung sejak subuh hingga malam di setiap harinya, bahkan bisa sampai pukul sepuluh malam.
Anak-anak menjadi sosok yang paling sering terlihat menjalani pekerjaan ini, karena mayoritas dari mereka terlibat langsung sebagai jasa angkut air.
Jika air diantarkan kepada keluarga atau kerabat dekat, biasanya mereka melakukannya tanpa imbalan.
Jika mengangkutkan air untuk orang lain di luar keluarga, mereka mendapat upah sekitar lima ribu rupiah sekali angkut,” jelasnya.
Waktu yang semestinya digunakan untuk belajar atau bermain, habis hanya untuk
memastikan keluarga tetap bisa mandi dan makan.
Ini menjadi cermin bagaimana kebutuhan dasar yang tak terpenuhi berujung pada tersendatnya perkembangan anak anak.
Perempuan pun menanggung beban paling besar. Hampir setiap hari mereka
mendorong gerobak jeriken dalam jarak jauh, berdiri berjam-jam di bawah terik
matahari, terutama saat musim kemarau.
“Biasa juga kayak ibu-ibu itu badannya pegal-pegal karena selalu mendorong,”
tambah Putra.
Dalam berbagai momentum politik, air bahkan dijadikan komoditas kampanye.
Para calon legislatif datang membawa truk air, menjanjikan distribusi gratis yang belum tentu layak uji laboratorium.
Di sinilah persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) anak dan perempuan diuji. Negara seharusnya hadir memastikan kebutuhan paling mendasar mereka terpenuhi, bukan membiarkan mereka terus memikul jeriken hanya demi segayung air bersih.
Menurut Ibu Ida, pemerintah Kota Makassar maupun pihak kelurahan memang sering datang ke tempat tinggal mereka.
Namun kehadiran itu hanya sebatas mencatat data warga, tanpa tindak lanjut yang nyata.
”Pemerintah datang hanya mendata. Habis itu tidak ada tindak lanjut,” tutur Ibu Ida.
Ibu Ida hanya bisa berharap janji-janji pembangunan jaringan pipa PDAM yang pernah ia dengar benar-benar bisa terwujud suatu hari nanti.
“Katanya mau pasang pipa, tapi sampai sekarang tidak ada air juga,” katanya.
Ibu Ida berharap, air bersih bisa langsung mengalir ke dalam rumahnya.
Ia membayangkan hari di mana ia tak perlu lagi mendorong gerobak berat demi mendapatkan air, atau harus membeli air setiap hari untuk keperluan memasak dan mencuci.
Baginya, memiliki akses air di rumah bukanlah kemewahan, melainkan hak dasar yang seharusnya sudah lama terpenuhi.
“Kami mau air masuk rumah. Tidak perlu lagi dorong gerobak, tidak perlu lagi beli tiap hari,” harapnya.
Sementara itu, PDAM Kota Makassar melalui Ir. H. Ahsan, Sekretaris Pengawas Perumda Air Minum Kota Makassar, mengakui keterbatasan debit air baku dari Bendungan Lekopancing di Maros dan Bili-Bili di Gowa.
“Kalau kita lihat secara hitungan debit, kita sudah defisit. Kalau kita hitung kebutuhannya misalnya di PDAM itu sekitar 2.500 liter per detik. Sementara
sekarang kapasitas kita baru 2.000 liter per detik,” jelasnya.
Untuk menutup defisit ini, pemerintah kota dan provinsi merencanakan pembangunan Instalasi Pengolahan Air (IPA) baru di Pampang yang dijadwalkan akan mulai dikerjakan pada tahun 2026.
“Sudah ada perencanaan dari pemerintah provinsi dan kota, rencananya konstruksi itu dimulai 2026,” tambahnya.
Dalam tambahan wawancara, PDAM menyebut sudah menyiapkan program khusus penyampaian laporan dan sosialisasi kepada masyarakat utara kota, termasuk rencana biaya pembangunan IPA 3 dan IPA 5.
“Sekarang ini kami sudah menyiapkan rencana biaya dan penyampaian laporan kepada masyarakat, khususnya yang ada di utara kota. Sedangkan untuk timur kota dalam proses, karena kondisinya berbeda di timur belum terlalu banyak pelanggan seperti di utara,” jelasnya.
“Rencana pembangunan IPA 3 ini di Pampang direncanakan mulai konstruksi Januari 2026. Ini untuk menambah kapasitas, karena kalau musim kemarau debit air kita bisa turun sampai 40 persen. Kami juga sadar perlu ada sosialisasi lebih dalam kepada masyarakat, supaya mereka memahami kondisi debit dan distribusi air yang ada sekarang,”tambahnya.
Namun bagi warga seperti Ibu Ida, menunggu dua atau tiga tahun lagi berarti harus terus membeli air setiap hari, tanpa tahu kapan mereka bisa menutup jeriken untuk terakhir kalinya.
Putra dari Lapar menambahkan, persoalan air di Makassar tak akan selesai hanya dengan menambah jaringan pipa.
Menurutnya, pemerintah Kota Makassar harus menjalin komunikasi politik dan kerja sama dengan pemerintah Kabupaten Gowa serta Maros untuk merawat sumber air baku.
“Itu juga menjadi salah satu faktor. Nah, kemudian faktor yang berikutnya juga, apa ya, mungkin pemerintah Kota Makassar perlu melakukan komunikasi politik atau kerja sama antara Kabupaten Gowa dan Kabupaten Maros untuk bisa merawat sumber-sumber air yang ada di Kabupaten Gowa dan Kabupaten Maros. Karena di dua daerah inilah sumber air Kota Makassar,” jelas Putra.
“Jadi perlu kolaborasi antara pemerintah Kota Makassar, pemerintah Kabupaten Maros, dan pemerintah Kabupaten Gowa. Karena kan sumber air Kota Makassar di dua wilayah tersebut,” tambahnya.
Selama lebih dari 25 tahun, warga Tallo terus membeli air untuk hidup sehari-hari sesuatu yang semestinya sudah otomatis dijamin negara.
Pengeluaran Rp300 ribu hingga Rp400 ribu hanya untuk air bersih adalah beban besar bagi keluarga yang sebagian besar menggantungkan hidup pada penghasilan harian.
Putra mengatakan jika tidak ada perubahan signifikan, pihaknya bersama warga akan mempertimbangkan jalur hukum untuk memastikan pemerintah kota menjalankan kewajibannya.
Kalau perlu, kami bersama warga akan ajukan gugatan warga negara untuk memaksa pemerintah memenuhi tanggung jawabnya,” tegas Putra.
Walhi dan Lapar menegaskan, air adalah hak dasar yang dijamin dalam Pasal 33 UUD 1945 dan UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM. Negara wajib memenuhi hak itu tanpa syarat.
Beberapa dorongan solusi yang muncul dari warga dan pendamping advokasi antara lain:
1. Menghentikan praktik komersialisasi air bersih oleh depot-depot swasta yang
mengambil suplai langsung PDAM.
2. Memastikan distribusi air PDAM adil dan tidak hanya mengalir lancar ke
Kawasan Makassar bagian timur.
3. Menjalin kerja sama lintas daerah dengan Kabupaten Maros dan Gowa untuk menjaga sumber air baku.***