.CO.ID, JAKARTA — Pertumbuhan mobil listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) di Indonesia terus menunjukkan perkembangan yang positif. Pangsa pasar BEV pada 2024 sekitar 5 persen, namun meningkat menjadi 9,7 persen pada Juli 2025. Di sisi lain, kendaraan berbahan bakar bensin atau mesin pembakaran dalam (ICE) mengalami penurunan dari 88,46 persen pada 2024 menjadi 82,20 persen.
Peningkatan penjualan ini terutama didorong oleh impor mobil listrik dalam bentuk utuh (completely built up/CBU) yang saat ini menguasai pasar. Hingga pertengahan 2025, sekitar 63 persen dari total 35 ribu unit BEV yang berada di Indonesia berasal dari sistem impor CBU yang dilengkapi insentif pajak.
Berdasarkan pendapat peneliti LPEM UI, Prof Riyanto, kebijakan insentif tersebut sebenarnya dirancang untuk mendorong berkembangnya industri kendaraan listrik di dalam negeri. Namun, dalam penerapannya justru memberatkan produsen yang telah melakukan investasi membangun pabrik.
Tolong support kita ya,
Cukup klik ini aja: https://indonesiacrowd.com/support-bonus/
“Bayangkan, perusahaan telah membangun kapasitas produksi di Indonesia, namun pasar justru dipenuhi produk impor. Jika insentif ini diperpanjang, target produksi sebanyak 400 ribu unit pada 2025 akan semakin sulit tercapai,” katanya dalam Diskusi Forwin: Polemik Insentif BEV Impor di Jakarta, Senin (25/8/2025).
Riyanto menekankan bahwa dampak ekonomi dari industri otomotif jauh lebih luas dibandingkan hanya sekadar perdagangan kendaraan. Setiap satu pekerja di sektor mobil mampu menciptakan empat pekerja tambahan di bidang lain, sementara perdagangan mobil hanya menghasilkan rasio 1:1. “Jika kita terus mengimpor, bagaimana Indonesia bisa menjadi pusat industri? Ini justru akan menghambat,” katanya.
Dari sudut pandang fiskal, Riyanto menganggap insentif CBU impor juga menjadi beban besar bagi negara. Pemerintah kehilangan kesempatan penerimaan pajak karena tidak mengenakan PPnBM dan mengurangi PPN. “Jika dihitung per gram emisi CO₂, biaya yang dikeluarkan cukup besar. Padahal sejak 2021, penurunan emisi justru lebih banyak didukung oleh kendaraan hybrid dan plug-in hybrid,” ujarnya.
Sekretaris Umum Gaikindo, Kukuh Kumara, mengakui bahwa kebijakan insentif untuk BEV impor berhasil mendorong penerimaan kendaraan listrik. Namun, dampaknya justru memberatkan industri otomotif lokal, khususnya pada segmen mobil dengan harga di bawah Rp 400 juta yang memiliki tingkat kandungan dalam negeri tinggi.
“Industri yang kita bangun selama 50 tahun kini mulai tergerus. Yang paling terpuruk justru kendaraan dengan TKDN tinggi, sementara mobil listrik impor yang memiliki TKDN rendah mengalami peningkatan penjualan. Teman-teman pengusaha komponen mulai merasa khawatir, karena jika volume terus rendah akan sangat sulit,” ujar Kukuh.
Ia menuturkan, sektor otomotif Indonesia masih mampu bertahan berkat dukungan ekspor terhadap kinerja industri komponen. Namun, tanpa kebijakan yang lebih seimbang, ketergantungan terhadap pasar ekspor dapat menjadi ancaman jangka panjang.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengatakan, hingga saat ini belum ada pembahasan antar kementerian terkait perpanjangan insentif BEV impor. Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan (ILMATAP) Kemenperin, Mahardi Tunggul Wicaksono, menegaskan bahwa kebijakan tersebut kemungkinan besar akan berakhir sesuai aturan, yaitu pada 31 Desember 2025.
“Secara umum kita masih mematuhi regulasi yang berlaku. Artinya, insentif BEV impor akan berakhir pada akhir 2025,” katanya.
Berakhirnya insentif membuat para pengamat berharap pemerintah kembali menegaskan arah roadmap industri otomotif yang berbasis energi baru. “Rencana adopsi kendaraan listrik di Indonesia telah mencapai keberhasilan. Yang sekarang menjadi pertanyaan adalah sampai kapan? Transisi harus dilakukan secara bertahap agar industri yang sudah ada tidak tergantikan,” ujar Kukuh.