Kritik terhadap Kesepakatan Dagang Indonesia dan Amerika Serikat
Seorang pakar ekonomi dari Universitas Andalas, Prof Syafruddin Karimi, menyampaikan kritik terhadap pembelian 50 pesawat Boeing yang menjadi bagian dari kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat. Menurutnya, langkah ini justru merugikan kepentingan nasional dan tidak mencerminkan hubungan dagang yang seimbang.
Menurut Karimi, pembelian pesawat tersebut menimbulkan banyak pertanyaan. Apakah ini benar-benar bagian dari strategi modernisasi transportasi atau justru akan memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Badan Usaha Milik Negara (BUMN) penerbangan? Hal ini dikhawatirkan karena kondisi efisiensi dan daya beli masyarakat masih belum pulih sepenuhnya.
Ia menilai bahwa komitmen pembelian dalam jumlah besar ini tidak berada dalam kerangka perdagangan timbal balik. Justru, Indonesia dianggap berada dalam posisi yang timpang karena harus membuka pasarnya secara penuh untuk produk-produk Amerika Serikat, sementara ekspornya ke AS tetap dikenai tarif tinggi.
“Kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat sejatinya menempatkan Indonesia dalam posisi yang timpang. Amerika Serikat memperoleh akses penuh ke pasar domestik Indonesia tanpa hambatan tarif, sementara ekspor Indonesia ke AS tetap dikenai tarif sebesar 19 persen,” ujar Karimi.
Menurutnya, skema pembelian tersebut lebih menyerupai kewajiban sepihak daripada transaksi dagang saling menguntungkan. Ia menegaskan bahwa kesepakatan ini bukan sekadar perjanjian dagang, melainkan paket pembelian sepihak yang dapat melemahkan fondasi kemandirian ekonomi nasional.
Dalam unggahan resminya, Presiden AS Donald Trump menyebut bahwa Indonesia setuju untuk membeli energi dari AS senilai 15 miliar dolar AS, produk pertanian sebesar 4,5 miliar dolar AS, dan 50 pesawat Boeing, termasuk tipe 777. Sebagai imbal balik, ekspor AS ke Indonesia dibebaskan dari tarif dan hambatan non-tarif, sementara ekspor Indonesia tetap dikenai tarif tetap sebesar 19 persen.
Pemerintah Indonesia hingga saat ini belum merilis isi resmi kesepakatan tersebut. Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menyatakan bahwa perundingan masih berjalan dan belum final. “Kami sedang menyiapkan pernyataan bersama antara AS dan Indonesia yang akan menjelaskan besarannya, termasuk tarif, non-tarif, dan pengaturan komersial. Kami akan informasikan segera,” kata Susiwijono.
Karimi mengingatkan agar pemerintah tidak tergesa-gesa menyetujui skema yang hanya menguntungkan satu pihak. Ia menekankan pentingnya membuat keputusan strategis ekonomi berdasarkan kepentingan jangka panjang bangsa, bukan hanya karena tekanan geopolitik.
Berdasarkan data TradeMap ITC, ekspor utama Indonesia ke AS antara lain minyak sawit, elektronik, alas kaki, karet, dan udang beku. Tahun 2024, nilai perdagangan RI-AS mencapai hampir 40 miliar dolar AS, dengan surplus di pihak Indonesia sekitar 18 miliar dolar AS. Dengan situasi ini, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa kesepakatan dagang yang dijalin tidak hanya menguntungkan satu pihak, tetapi juga berdampak positif bagi rakyat Indonesia secara keseluruhan.