– Kontroversi mengenai Jembatan Haji Endang menjadi sorotan di platform-media sosial.
Telah diketahui bahwa jembatan yang letaknya di Desa Anggadita, Kecamatan Klari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat ini menghadapi ancaman pembongkaran dari Badan Wilayah Sungai (BWRS) Citarum.
Pasalnya,
jembatan Haji Endang
Yang telah disahkan mulai tahun 2025, dianggap sebagai tidak memiliki izin.
Penduduk juga menentangrencana penghancuran jembatan Haji Endang.
Ternyata, jembatan Haji Endang telah menghubungkan kehidupan penduduk selama 15 tahun terakhir.
Rencana penghancuran jembatan yang terkait dengan Haji Endang ini menimbulkan kembali ingatan tentang pernyataan pihak berwenang beberapa saat lalu, di mana mereka menyebutkan bahwa kurang lebih
3,7 juta hektar area perkebunan kelapa sawit
di nyatakan sebagai area hutan — walaupun sudah terbentuk ribuan kebun masyarakat yang beroperasi diatasnya.
Beberapa di antaranya sudah mempunyai dokumen resmi seperti Hak Guna Usaha (HGU), Sertifikat Hak Milik (SHM), atau surat pengakuan dari pihak pemerintahan setempat.
Letak perkebunan kelapa sawit ini tersebar di berbagai wilayah, termasuk Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan juga Sumatera Utara.
Cerita ini mengandung kisah panjang tentang sebuah komunitas yang merintis kehidupan mereka dalam situasi tanpa adanya pemerintahan negara.
Akan tetapi, pada kenyataannya, beberapa dari tempat tersebut malah terancam penggusuran karena dianggap tak sesuai dengan zonasi yang ada.
Dua masalah tersebut saling terkait, bagaimana aturan yang dikeluarkan kemudian dipakai untuk menilai kontribusi serta peran masyarakat, ketika pemerintah belum berada di tempat itu?
Menurut laporan Kompas.com pada hari Minggu, tanggal 18 Mei 2025, alasan mengenai hutan memang tidak bisa dipungkiri bahwa melindungi area hutan sangatlah vital.
Tetapi, tidak seluruh area sebesar 3,7 juta hektar itu bisa dianggap sebagai akibat pembalakan liar yang melawan hukum.
Di berbagai kesempatan, tanah itu sudah menghasilkan produksi yang baik selama bertahun-tahun lamanya.
Kehidupan yang berkembang di atas lahan itu tidak hanya menghasilkan penghidupan untuk keluarga petani, melainkan juga berkontribusi pada ekonomi setempat.
Saat ini, setelah tanah mulai menghasilkan buahan dan kehidupan menjadi lebih stabil, negara muncul dengan pesan tunggal: “Ini adalah area hutan.”
Insiden jembatan Haji Endang yang menjadi perbincangan umum turut berperan dalam meringankan hubungan antara kedua kampung tersebut serta mempermudah aktivitas sejumlah besar buruh pabrik untuk menyeberangi Sungai.
Jembatan itu sudah digunakan selama 15 tahun, dipbangun tanpa bantuan anggaran pemerintah atau APBD. Ini merupakan jawaban konkret atas permasalahan, muncul melalui kerja sama kolektif dan kesepakatan bersama yang kuat.
Saat ini, struktur jembatan itu menghadapi risiko penghancuran lantaran dinyatakan sebagai bangunan tanpa persetujuan resmi atau ‘jembatan illegal’, serta terletak di area batas aliran sungai.
Pertanyaan utama yang timbul di sini bukan hanya masalah keabsahan administratif, tetapi apakah ini sungguh-sungguh cara negara merespons ketika mereka tak dapat melakukan apa pun?
Phenomenon ini mengindikasikan ketidakmampuan pemerintahan untuk memahami sejarah sosial komunitas setempatkannya. Struktur infrastruktur yang terbentuk melalui kerja sama bersama dan kemandirian lokal saat ini harus berurusan dengan hukuman administrasi yang baru diberlakukan bertahun-tahun kemudian.
Alasan untuk peraturan penghapusan kemacetan sering kali melupakan fakta bahwa peta wilayah yang disahkan oleh pemerintah belum tentu mencerminkan keadaan sosial sebenarnya.
Warna hijau pada peta spasial mungkin mengindikasikan rumah, sawah, sekolah, serta dapur tradisional keluarga. Meskipun peta boleh ditaruh kembali atau direvisi, bekas-bekas keberadaan waduk sosial yang sudah terlampau mapan di tanah dan daerah itu takkan sirna dengan mudahnya.
Saat aturan dibawa dalam nama “pengaturan” untuk menata sistem yang sudah menjadi bagian dari struktur masyarakat tetapi tidak melewati tahap konsultasi atau menyelami latar belakang sosio-sejarahnya, hasilnya tak akan jadi penerapan keadilan hukum, tapi malah pendekatan seremonial yang mencampuri perjalanan waktu.
Negara yang telat menentukan batas wilayah tidak harus terburu-buru menganggap garis peta sebagai satu-satunya standar kebenaran. Justru seringkali, garis-garis tersebutlah yang malah memecah belah hubungan antara komunitas dan lingkungan tempat mereka hidup.
Penerapan hukum seolah lepas dari kenyataan masyarakat yang sudah mengandalkan infrastrukturnya. Aturan hukum yang tak berasal dari kondisi sosial nyata cenderung terdengar aneh—bukan sebagai alat keadilan, tetapi lebih seperti echo otoritas yang menjauh dari situasi di lapangan.
Sebelum pemerintah mengumumkan suatu area sebagai wilayah tersangkut penyerobosan, pertanyaannya utamanya ialah: siapakah yang datang terlebih dahulu? Siapa yang telah lama melaksanakan pembayaran pajak, merancangi infrastruktur seperti jalan, serta mendidik generasi berikutnya menggunakan hasil bumi tersebut yang sekarang dijuluki tidak sah?
Lon Fuller menekankan kebutuhan akan etika dalam perundang-undangan: untuk memastikan bahwa undang-undang bekerja dengan baik, mereka harus dikenali, dimengerti, serta diamalkan oleh publik secara umum.
Tetapi, bagaimana bisa publik mengerti tentang peta area hutan yang sebelumnya tak pernah jelas, belum pernah dipaparkan kepada masyarakat, serta kerapkali berganti akibat persaingan kepentingan para elit?
Apa yang diperlukan saat ini tidak hanya formalitas administratif, tetapi juga pengakuan.
Axel Honneth berpendapat bahwa manusia menjadi manusia sepenuhnya hanya ketika keberadaannya diakui.
Maka, bagi masyarakat adat, petani kecil, atau warga yang membangun infrastruktur lokal, tuntutan mereka bukanlah ampunan, melainkan pengakuan atas apa yang telah mereka ciptakan di tengah ketidakhadiran negara.
Melihat konteks Jembatan Haji Endang, pengakuan itu belum tiba.
Jembatan itu bukan hanya sebuah konstruksi fisik di atas Sungai, melainkan simbol dari kedaulatan masyarakat saat pihak berwenang mengabaikan mereka.
Kehidupan penduduk berkibar setiap harinya di atas jembatan itu. Akan tetapi, ancaman penghancuran sepertinya mau meniadakan peranan masyarakat yang sudah memberikan jawaban riil untuk memenuhi keperluan kesehariannya.
Rawls menekankan bahwa keadilan sesungguhnya harus mendukung mereka yang paling lemah.
Dalam perselisihan antara petunjuk dari GPS dan bekas lalu lintas di area terbuka, serta aturan versus struktur seperti jembatan buatan tangan, negeri harus mendukung penduduk lokal yang sudah ada dan aktif bekerja di sana.
Hukum tidak seharusnya didirikan dengan mengabaikan sejarah lokal yang sudah ada.
Sebenarnya, banyak lahan yang diklaim sebagai area hutan sudah mempunyai surat-surat legal.
Terdapat SHM, HGU, dan hingga surat dari pihak pemerintah daerah yang biasanya digunakan sebagai landasan untuk pengembangan ekonomi lokal.
Akan tetapi, semua dokumen tersebut telah digantikan oleh pernyataan tunggal: “kawasan hutan”.
Tanpa dialog, tanpa pemberitahuan, masyarakat diminta tunduk pada garis peta baru yang disusun dari ruang rapat, bukan dari realitas lapangan.
Jembatan Haji Endang menjadi cerminan paradoks antara regulasi dan realitas. Ketika negara lamban menyediakan akses jalan, warga membangun sendiri jembatan.
Saat negeri sedang memformulasikan peraturan, rakyat terus melanjutkan kehidupannya.
Akan tetapi, proyek tersebut saat ini menghadapi ancaman penghapusan, seperti keberadaannya merupakan suatu ketidaksesuaian birokrasi yang perlu dibetulkan.
Fuller mengulangi pentingnya adanya etika dalam undang-undang yang berfungsi dengan baik. Pada situasi terkait tanah kelapa sawit milik masyarakat, peta zona tersebut tidak pernah diinformasikan kepada publik.
Pada situasi mengenai Jembatan Haji Endang, tak ada izin yang pernah dikeluarkan, namun jembatan tersebut sudah terhubung dengan kehidupan masyarakat selama 15 tahun. Sekarang, pemerintah membawa tagihan baru beserta ancaman baru.
Apa yang diperlukan bukannya hanya alat pembersihan, melainkan keputusan yang bisa mengenali perbedaan antara pemakaian lahan oleh penjajah dan komunitas lokal yang bertarung untuk kelangsungan hidup mereka. Tidak ada lagi penghakiman paksa, tapi justru mendengarkan suara rakyat._audit sosial harus dilakukan, tidak cukup dengan audit fisik semata.
Apabila suatu negara berharap mendapat penghargaan, maka langkah pertama adalah dengan menghargai orang-orang yang telah datang sebelumnya.
Sebagaimana dijelaskan oleh Hannah Arendt, kekuasaan tanpa dasar etika sebenarnya tidak berfungsi sebagai pemerintahan. Ini hanyalah penindasan. Masyarakat memiliki kemampuan untuk mengenali perbedaan antara keduanya.
Apabila undang-undang diterapkan tanpa rasa kemanusiaan, masyarakat akan mengenali hal itu hanya sebatas alat kekuasaan. Akan tetapi, jika undang-undang dibawa bersama pemahaman terhadap kondisi sosial yang nyata, maka fungsinya menjadi perlindungan, tidak lagi sebagai ancaman.
Warga Menolak Rencana Pembongkaran
Jembatan Haji Endang dikenal sebagai tautan yang menghubungkan antara Desa Anggadita di Kecamatan Klari dengan Desa Parungmulya dari Kecamatan Ciampel.
Sejak pembangunan jembatan itu, berbagai kios kecil mulai menjulur di seluruh area yang mengarah ke jembatan tersebut.
“Apabila jembatan ini ditutup oleh BBWS, hal itu setara dengan menghentikan aktivitas ekonomi para pedagang di area ini,” ungkap Yanti, salah satu penduduk yang menjual barang dagangan di dekat jembatan tersebut pada hari Selasa (6/5/2025). Petunjuk diperoleh dari laporan Kompas.com.
Dia menginginkan pemerintah mencermati pengaruh sosial dan ekonomi terhadap masyarakat bila jembatan tersebut sebenarnya dirobohkan.
“Semoga harapan saya jalan tersebut tidak ditutup,” katanya.
Di luar membangkitkan kegiatan ekonomi penduduk setempat, jembatan ini pun sering dimanfaatkan oleh para pekerja untuk pergi dan datang dari area industrial.
Jembatan Haji Endang adalah rute paling cepat untuk mencapai Kawasan Industri Mitra Karawang (KIM).
“Apalagi jika ketinggalan jemputan, lewat sini lebih cepat. Karena kalau nggak naik jemputan, telat bisa dipotong (gaji),” ujar Sani, pekerja di salah satu pabrik kawasan industri Ciampel.
BBWS Citarum sebelumnya mengultimatum pemilik jembatan yang melintasi Sungai Citarum untuk segera mengurus perizinan.
Sebaliknya, jembatan-jembatan itu akan dirobohkan.
Kepala BBWS Citarum, Dian Al Ma’ruf, mengatakan bahwa jembatan Haji Endang tidak mematuhi Standar Keselamatan.
Merespons terhadap pernyataan tersebut, pengelola jembatan berkomitmen untuk menaati regulasi dan langsung mendapatkan persetujuan dari BBWS Citarum.
“Sebagai seorang warganegara yang bertanggung jawab, Haji Endang berkomitmen untuk mentaati peraturan pemerintah, terutama mengenai aktivitas penyeberangan,” jelas kuasa hukum Haji Endang, Irman Jupari.
Irman mengatakan bahwa saat ini mereka sedang menyempurnakan berkas Administrasi yang dibutuhkan.
“Bila telah selesai, izin tersebut akan langsung diserahkan kepada BBWS. Memang sudah lama izin ini tersedia, tetapi baru belum dicairkan oleh pihak BBWS. Yang dimaksud dengan izin adalah persetujuan untuk menyeberangi sungai,” jelasnya.
Artikel ini sudah dipublikasikan di
Kompas.com
Berita Jatim
dan
Berita Viral
lainnya