Refleksi 50 Tahun Perjalanan Apel Hendrawan: Dari Kegelapan ke Pembebasan Melalui Seni di Bali


, DENPASAR

Di masa ketika aliran seni mulai diatur oleh permintaan pasaran dan trend sebentar saja, Apel Hendrawan muncul sebagai figur asli yang menghadirkan sentuhan segar bagi industri seni di Bali.

Dengan menghadirkan pameran retrospektif berjudul “50 Tahun, Suatu Petualangan”, yang bakal dimulai pada tanggal 21 Mei 2025 di Titik Dua, Ubud, masyarakat diajak untuk memasuki jejak hidup serta alur pemikiran artistik seorang pelaku seni lintas disiplin yang sudah melaluinya dengan banyak rintang, mulai dari kesunyian menuju terang bimbing rohani.

Pada acara tersebut dipajang sekitar 30 karya yang nantinya disesuaikan dengan keadaan ruangan galeri.

Di samping itu, di pameran tersebut juga diperkenalkan buku biografi berjudul 50 Years, A Journey Apel Hendrawan.

Buku ini adalah catatan visual serta cerita hidup dan kreativitas dari sang artis.

Buku bilingual yang memiliki ketebalan sekitar 220 halaman ini dikarang oleh Arif Bagus Prasetyo, Wayan Westa, Richard Horstman, serta Dian Dewi Reich.

Pameran kali ini merupakan kerjasama antara Apel dan Sawidji Studio & Gallery yang dikuratori oleh Dian Dewi Reich. Acara tersebut akan diselenggarakan pada tanggal 21 Mei 2025 jam 17.30 WITA di lokasi Titik Dua Ubud.

Seorang penulis bernama Wayan Westa pada saat jumpa pers di Sanur, Sabtu 17 Mei 2025, menyatakan bahwa perbincangannya dengan Apel Hendrawan tidak semudah sekedar suatu wawancara biasa.

Dia menghadapkannya sebagai suatu proses empatis, dengan cara mendengarkan, memahami, serta berusaha menyusun kembali bagian-bagian dari kehidupan yang sempat terjatuh ke dalam kedalaman jurang paling gelap.

Untuk Westa, cerita Apel mengingatkannya bahwa tidak semua seniman lahir dari lingkungan akademik.

Menurutnya, apel merupakan bukti bahwa jalannya belajar mandiri, walaupun dipenuhi dengan luka dan ujian, dapat menghasilkan kekayaan seni yang tak ternilai dan tidak bisa diperoleh dari pengajaran formal mana pun.

“Setiap kali sunyi, Apel menyadari adanya ketidaktenangan yang amat mendalam. Dia menentang kekacauan dalam dirinya lewat perbuatan kreatif,” terangkan Westa.

Dia menjelaskan cara Apel merepresentasikan “hantu” internalnya sebagai pendekatan pengobatan lewat media seni.

Tiap karya seni berusaha melenyapkan rasa sakit, membawa kedamaian dari kerusuhan, serta secara bertahap merangkul sebuah hidup yang lebih terang dan bermakna rohani.

Dia percaya bahwa dokumen seperti ini bisa jadi sebuah refleksi serta pewaris untuk para seniman saat ini dan yang akan datang. Dia mengemukakan bahwa seni tak hanya berkaitan dengan keindahan belaka, tetapi juga merupakan bagian dari upaya bertahan hidup, penyembuhan diri, dan penerangan kembali api dalam jiwa seseorang.

Pada saat yang sama, Arif Bagus Prasetyo menghampiri kisah Apel Hendrawan berdasarkan latar belakang sejarah dan aspek sosial-kulturinya.

Untuk Arif, cerita Apel tidak dapat terlepaskan dari tempat asalnya yaitu Sanur.

Dia memandang Sanur tidak sekadar sebagai tempat geografis, tetapi juga sebagai elemen spiritual dan budaya yang menciptakan jiwa serta kreasi Apel.

Dalam hal ini, Apel menjadi elemen dalam jaringan yang luas itu, di mana artis berperan ganda sebagai kurator serta turisme melalui studionya.

“Saya mengawali cerita dengan perspektif Sanur. Ciri khas Sanur mencakup sisi spiritual, seni, serta pariwisata,” jelasnya.

Dalam pemaparannya tentang karya-karya Apel, Arif mengidentifikasi tiga topik utama yang secara konsisten hadir sejak permulaan sampai tahun 2024 yaitu alam, kehidupan manusia, serta aspek rohani.

Semua ketiga elemen tersebut sering kali dinyatakan dalam wujud visual seperti dewa-dewi, rerajahan, serta dampak besar dari seni tatuase. Hal ini pun turut menjadi komponen dari ekspresi spiritual dan identitas diri Apel.

Dia juga menggarisbawahi cara Apel menggunakan abu Gunung Semeru di berbagai karya seninya, sebagai ungkapan ekologis dan spiritual yang mendalam.

Arif pun memperhatikan peran Apel sebagaiaktivis yang dengan berani menghadiri demonstrasi guna mendukung hak-hak lingkungan serta budaya di Bali.

Sementara Apel Hendrawan mengatakan, pernah menjadi pengedar hingga masuk RSJ Bangli.

Di rumah sakit jiwa itu dia didera oleh kebisingan, namun dia tetap percaya pada kemampuannya sendiri dan menuntut untuk mendapatkan sebuah ruangan khusus.

“Saat itu, saya menentang kondisi tersebut lewat karya seni atau lukisan. Saya menggambar figuran untuk membantah keraguan yang ada,” jelasnya.

Sebagai seorang seniman serba bisa, pelukis, seniman tato,aktivis lingkungan, serta pemangku agama Hindu di Bali, kehidupan Apel Hendrawan mengungguli batasan-batasan dari sekadar kesenian aliran terbaru.

Terlahir dalam sebuah budaya yang saat ini terkucilkan akibat dampak pariwisata dan integrasi global, kreasi Apel mengantarkan kita kepada hal-hal yang kekal serta masih aktual. Karyanya mencerminkan seni yang tumbuh melalui proses, pengorbanan, dan petualangan rohani. (*)

Kumpulan Artikel
Bali

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com