Perlu Belajar dari Negara Lain dalam Pengaturan Kecerdasan Buatan
Di tengah perkembangan pesat teknologi kecerdasan buatan (AI), Indonesia masih belum memiliki peraturan hukum yang mengikat terkait penggunaannya. Hal ini disampaikan oleh mantan Kepala Institut Manufaktur di University of Cambridge, Mike Gregory, yang menyarankan pemerintah Indonesia untuk belajar dari negara-negara lain yang telah menerapkan kebijakan AI secara lebih matang.
Mike menyatakan bahwa Indonesia sebaiknya mempelajari praktik serupa di negara-negara ASEAN dan mengembangkan pendekatan yang baik dari berbagai wilayah. Ia menilai bahwa pengalaman negara-negara lain dapat menjadi acuan dalam merancang kebijakan yang lebih efektif dan inklusif.
Salah satu contoh yang bisa menjadi referensi adalah Cile. Negara di benua Amerika Selatan ini telah meluncurkan “Kebijakan AI Cile 2021-2030” pada tahun 2020. Kebijakan tersebut memiliki tiga pilar utama, yaitu faktor-faktor yang mendukung implementasi AI, pengembangan dan adopsi AI, serta etika penggunaan dan dampak sosial-ekonomi. Menurut Mike, strategi dalam kebijakan tersebut menciptakan keseimbangan antara kendali dan inovasi. Pemerintah Cile juga berinvestasi dalam fasilitas pusat cloud bersama Microsoft dan Amazon.
Selain Cile, beberapa negara lain seperti Prancis, Kanada, Norwegia, Yordania, dan Uni Emirat Arab juga bisa menjadi contoh dalam penyusunan kebijakan AI. Misalnya, Uni Emirat Arab memiliki strategi yang bertujuan menarik talenta AI, mempromosikan startup, memberikan pendanaan untuk AI, hingga membuka pusat inovasi dengan keterampilan khusus.
Di Indonesia sendiri, telah ada Strategi Nasional untuk Kebijakan Artifisial (Stranas KA) 2020-2045 yang diluncurkan pada tahun 2020. Stranas KA ini mencakup berbagai sektor prioritas seperti kesehatan, layanan pemerintahan, pendidikan, ketahanan pangan, dan mobilitas. Selain itu, ada Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial.
Marco Kamiya, representasi UNIDO untuk Sub-Regional Office Indonesia, Filipina, dan Timor Leste, menjelaskan bahwa Stranas KA mengidentifikasi sektor-sektor penting yang harus diperhatikan. Meskipun demikian, ia menilai bahwa surat edaran tersebut belum cukup untuk menjadi instrumen hukum yang menyeluruh. Menurutnya, diperlukan peraturan presiden atau peraturan pemerintah yang lebih kuat untuk mengatur penggunaan AI secara lebih efektif.
Meski begitu, Marco menekankan bahwa strategi nasional dan panduan etika tetap penting sebagai dasar dalam menyusun aturan yang lebih lengkap. Aspek data pribadi dan privasi juga menjadi isu penting yang perlu dilindungi oleh hukum dan infrastruktur teknologi informasi yang memadai.
Dengan mempertimbangkan pengalaman negara-negara lain dan memperkuat regulasi internal, Indonesia dapat membangun kerangka kebijakan AI yang lebih kokoh dan berkelanjutan. Ini akan membantu menjaga keseimbangan antara inovasi teknologi dan perlindungan hak masyarakat serta data pribadi.