Masalah Banjir Rob di Pesisir Utara Jawa
Banjir rob di wilayah pesisir utara Jawa telah menjadi masalah yang berlangsung sejak lama dan semakin memburuk setiap tahunnya. Kondisi ini tidak hanya mengganggu kehidupan masyarakat, tetapi juga mengancam tenggelamnya wilayah pesisir utara Jawa. Menurut data dari Kementerian ESDM, penurunan tanah di daerah tersebut mencapai 10 cm per tahun, terutama di pesisir utara Jawa Tengah. Hal ini memperparah risiko banjir dan ancaman terhadap kawasan pesisir.
Support kami, ada hadiah spesial untuk anda.
Klik di sini: https://indonesiacrowd.com/support-bonus/
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah merencanakan proyek besar bernama Giant Sea Wall atau Tanggul Laut Raksasa. Proyek ini dirancang sebagai upaya untuk melindungi wilayah pesisir dari ancaman banjir dan penurunan tanah. Sejarah proyek ini bermula pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto pada tahun 1995. Namun, rencana tersebut belum terealisasi hingga saat ini.
Pada tahun 2009, Gubernur DKI Jakarta saat itu, Fauzi Bowo, mengusulkan proyek Giant Sea Wall sebagai bagian dari sistem pertahanan laut di Jakarta. Sayangnya, proyek ini tidak bisa diwujudkan karena berbagai kendala. Kini, proyek ini kembali digagas oleh Presiden Prabowo dan akan dibangun sepanjang Pulau Jawa, mulai dari Banten hingga Jawa Timur.
Dalam acara International Conference on Infrastructure 2025 di Kuala Lumpur, Malaysia, Presiden Prabowo mengajak investor asing untuk berpartisipasi dalam pembangunan proyek ini. Diharapkan, proyek ini dapat memberikan solusi jangka panjang terhadap masalah banjir dan penurunan tanah di wilayah pesisir.
Support us — there's a special gift for you.
Click here: https://indonesiacrowd.com/support-bonus/
Pandangan Para Ahli dan Organisasi Lingkungan
Meski proyek ini dianggap penting, banyak ahli dan organisasi lingkungan menilai bahwa proyek Giant Sea Wall memiliki dampak lingkungan dan sosial yang signifikan. Mereka menyoroti bahwa pembangunan di garis pantai harus didasarkan pada kajian mendalam agar tidak menyebabkan kerusakan ekosistem.
Menurut Prof. Dr. Kuswaji Dwi Priyono, ahli Geomorfologi Kebencanaan dari Universitas Muhammadiyah Surakarta, diperlukan studi yang lebih luas sebelum membangun struktur seperti tanggul laut. Ia menyarankan bahwa melestarikan hutan mangrove bisa menjadi alternatif yang lebih efektif dan murah. Hutan mangrove tidak hanya melindungi daratan dari abrasi, tetapi juga menjadi habitat alami bagi berbagai spesies.
Sebelumnya, Prof. Ir. Muslim Muin dari ITB pernah menyatakan bahwa pembangunan tanggul laut bukanlah solusi jangka panjang. Ia menilai bahwa struktur seperti ini justru akan menimbulkan masalah baru, termasuk kerugian finansial. Di Jakarta, misalnya, tidak semua wilayah mengalami penurunan tanah. Oleh karena itu, solusi yang lebih fleksibel dan adaptif bisa menjadi pilihan.
Selain itu, Prof. Muslim Muin juga mengkhawatirkan dampak lingkungan dari proyek ini. Ia menunjukkan bahwa polutan akan terperangkap di dalam tanggul laut, sehingga membutuhkan biaya besar untuk pembersihan. Selain itu, pembangunan tanggul laut bisa mengancam ekosistem pesisir dan keanekaragaman hayati.
Penilaian dari Walhi
Organisasi lingkungan ternama di Indonesia, Walhi, menilai bahwa rencana pemerintah untuk membangun tanggul laut melalui reklamasi laut adalah kesalahan dalam konsep pembangunan. Mereka menilai bahwa penurunan muka tanah yang terjadi di pesisir utara Jawa disebabkan oleh pemberian izin industri skala besar. Oleh karena itu, evaluasi dan pencabutan izin industri tersebut dinilai sebagai langkah yang lebih tepat untuk mengatasi masalah penurunan tanah.
Walhi juga menyatakan bahwa proyek Giant Sea Wall bisa mengancam keberlanjutan ekosistem pesisir. Pembangunan tanggul laut dapat menghancurkan habitat alami dan mengurangi keanekaragaman hayati. Akibatnya, stok sumber daya ikan dan ekosistem laut bisa terganggu, yang berdampak pada kehidupan masyarakat pesisir.